Saya masih ingat momen pulang kampung karena libur kuliah. Setiap bapak mengajak ibu menghadiri acara tertentu selalu saja berusaha menolak. Bahkan untuk kegiatan yang semestinya dihadiri sendiri, bapak harus turut mendampingi. Kata bapak, ibu hanya mampu berbicara 3-5 menit di depan orang-orang. Itu pun hanya ucapan terima kasih.
Sepengetahuan saya, sikap tidak percaya diri itu tidak berlangsung lama. Momen-momen selanjutnya yang saya ingat, ibu mulai belajar. Dia belajar tentang dunia kesehatan dan pendidikan anak. Bahkan yang paling mengejutkan saya, dia belajar pembukuan/akuntasi sederhana. Dia rajin bertanya pada adikku yang paling bungsu. Si bungsu sering mengomel karena ibu memang terkadang sulit memahami.
Terakhir, ibu sudah mampu berbicara 5-10 di depan audiensnya. Berangkat sendiri untuk kegiatan yang pada dasarnya harus dihadirinya sendiri. Saya bahkan masih ingat momen dimana, dimana ibu mengajakku membersihkan taman milik kecamatan. Bunga-bunga yang kurang terurus digantinya dengan tanaman obat dan bumbu. Ada juga momen dimana ibu membawa tim kecamatan juara lomba kuliner tingkat kabupaten. Paten! Pikirku.
Bagi saya, ini salah satu yang fenomenal. Sekaligus pesan kepada anak-anak muda. Belajar itu tidak mengenal batas usia. Ibuku membuktikan, dia bisa karena belajar hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkannya. Hebatnya dia berhasil!
Masa-Masa Sulit Yang Menguji
Pada saat itu, Pilkada terjadi di Tapanuli Utara. PNS memang netral. Tapi, sudah dapat dipastikan pejabat-pejabat akan disapu tsunami kepemimpinan baru. Ayah menjadi lebih emosional dan sering marah. Pusing soal pekerjaan dan tanggungan anak yang sekolah dan kuliah.
 Hal-hal kecil saja bisa memicu kemarahan meski hanya meninggikan nada suara. Ibu setahuku lebih banyak diam. Meski saya sadar dia juga pasti ingin memarahi balik. Tapi, sepertinya perempuan lulusan sekolah menengah pertama itu jauh lebih matang secara emosional dari seorang insinyur pertanian.
Ibu tahu bahwa karir bapak sudah tamat di Tapanuli Utara. Selanjutnya, dia mendukung bapak untuk mutasi ke Humbang Hasundutan. Seiring berjalannya waktu bapak mendapat promosi menjadi kepala dinas. Mungkin ini menjadi momen yang indah.
Sekitar 3-4 tahun kemudian, tepat setahun sebelum masa pensiun, bapak divonis menderita kanker lambung. Ibu, abang dan adik-adikku harus bolak-balik harus bolak-balik ke Malasya. Terakhir mereka tertahan di Malasya karena lock down karena pandemi Covid-19. Setelah kembali ke Indonesia, bapak tidak bisa lagi dibawa berobat. Kondisi semakin kritis lalu berpulang.
Ibu kembali menunjukkan perjuangannya selama bapak sakit. Satu hal yang pasti, dia tidak pernah menunjukkan sikap lemah. Tidak pernah dia terang-terangan menangis dan mengeluh. Sikap itu pula yang menguatkan anak-anaknya untuk tetap teguh menjalani semuanya. Jika saja, dia bukan seorang perempuan yang kuat, dia mungkin akan larut dalam kesedihan lalu jatuh sakit. Tangisnya baru benar-benar pecah ketika ayah berpulang.
Babak Baru Kehidupan