Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Ada Jalan Keluar

30 April 2024   18:31 Diperbarui: 30 April 2024   18:34 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh dari Pixabay

"Buat apa besi rajam yang merah menyala? Tidak perlu sama sekali. Neraka adalah orang lain." (Pintu Tertutup (1944) karya Jean-Paul Sartre).

Tiga jiwa terkutuk dipertemukan dalam ruangan misterius. Sebuah kamar duduk tanpa cermin, tanpa jendela, lampu yang terus menyala, dan hanya terdapat tiga sofa yang dilengkapi dengan perabot gaya Kerajaan Kedua. Kamar itu menurut pelayan akhirat bernama Valet adalah salah satu kamar dari sekian jumlah kamar di lorong tak berujung. Singkat cerita, kamar ini adalah neraka, tempat Joseph Garcin, Inz Serrano, dan Estelle Rigault akan ditempatkan abadi bersama-sama. Tentu saja tak ada jalan keluar dari tempat itu.

Sama seperti pembaca, di awal-awal Garcin bertanya-tanya di mana alat-alat penyiksa yang akan disiapkan untuknya. Ia pikir neraka pasti memiliki bangku penyiksa, besi rajam yang merah api, dan berbagai alat perajam kejam untuk pendosa sepertinya. Tetapi anehnya ia malah disatukan dan dikunci dalam satu ruangan dengan jiwa lainnya.

Awalnya mereka saling mencurigai jikalau satu di antara mereka pastilah algojo neraka yang menyamar. Akan tetapi, segera mereka saling mengenal satu sama lain, mereka sadar jika mereka sama-sama jiwa terhukum. Ketiganya pun membeberkan kisah pribadi mereka, namun beberapa masih tetap merahasiakan perbuatan buruk mereka semasa hidup di dunia.

Garcin mengaku pernah bekerja sebagai sastrawan dan wartawan. Ia berbohong kalau ia dihukum mati karena menjadi pasifis yang frontal. Estelle bersikeras bahwa hanya terjadi kesalahan kecil dan ia meninggal sebab pneumonia. Hanya Inez yang jujur. Ia tak segan mengungkapkan terang-terangan pendapatnya tentang alasan mengapa mereka bisa tergabung dalam satu ruangan. Menurutnya, mereka sama-sama pembunuh dan dipilih untuk menjadi algojo yang akan menyiksa satu sama lain.

"Ada orang jadi korban untuk kepentingan kita--dan kita tidak peduli. Sekarang kita harus membayar hutang." (Hal 21)

Lalu bagaimana nasib mereka bertiga? Seperti apakah penyiksaan yang akan mereka alami nantinya?

Naskah drama di atas berjudul Huis Clos karya filsuf kenamaan Prancis, Jean-Paul Sartre. Huis Clos memiliki arti "pintu tertutup". Sebutan lain dalam bahasa Prancis untuk istilah hukum "in camera", suatu lawan dari persidangan terbuka. Dalam terbitan edisi bahasa Inggris Huis Clos selanjutnya diterjemahkan menjadi berbagai variasi judul, antara lain, In Camera, No Way Out, Vicious Circle, No Exit, dan Dead End.

Huis Clos pertama kali dimainkan di Thatre du Vieux-Colombier pada Mei 1944. Diperankan dengan baik oleh Michel Vitold, Gaby Sylvia, Tania Balachova, dan Chauffard. Sartre bahkan menyebut-nyebut penampilan pertama drama itu "sebagai kebahagiaan yang sangat langka" dalam wawancaranya dengan Moshe Naim (1964).

Naskah drama ini telah diterjemahkan berbagai negara dan diadaptasi dalam berbagai wahana seperti film, drama radio, teater, serial televisi, dan opera. Di Indonesia sendiri Huis Clos oleh Asrul Sani dialihbahasakan dengan judul Pintu Tertutup (1971) dan diterbitkan Penerbit Pustaka Jaya yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta.

Membaca Pintu Tertutup (selanjutnya saya akan sebut HC, singkatan dari Huis Clos) menjadi pengalaman menyenangkan dibandingkan membaca debat kusir yang ramai di media sosial perkara film horor religi yang tengah ramai di bioskop. Saya tak sengaja menemukan kembali HC yang sempat saya tinggalkan selama empat tahun dalam tumpukan list bacaan.

Empat tahun lalu rasanya saya sudah mencicip beberapa halaman buku ini, tapi entah kenapa saya enggan menamatkannya sehingga baru kesampaian sekarang. Mungkin karena bentuknya yang berupa "naskah drama" alih-alih novel, makanya saya bisa sampai hati melewatkan karya sebagus ini.

HC tentu saja bukanlah kisah religi. Dan, meskipun di dalamnya terdapat elemen neraka, ruh, dan segala hal berbau kematian, Sartre tidak sedang berniat mengkhotbahkan pembaca mengenai kitab suci, apalagi menakut-nakuti manusia dengan agama. Sartre sendiri adalah seorang filsuf eksistensialis ateis. Sama halnya dengan Camus yang memperkenalkan absurdisme, ia juga kerap memperkenalkan perihal eksistensialisme ateisnya melalui karya fiksi.

Dalam HC, kita dapat menyelami hubungan antarmanusia. Bagaimana sebagai individu sebenarnya kita khawatir atau ketakutan terhadap pandangan buruk yang bersembunyi di dalam kepala orang lain. Kita sering mencemaskan apa pendapat mereka terhadap pilihan hidup yang kita jalani.

Ketiga roh dalam HC memiliki penilaian akan diri mereka masing-masing. Garcin dan Estelle gemar menipu diri, cenderung berputar-putar mencari pembenaran akan tindakan yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Meski mereka tahu benar soal kejahatan mereka, keduanya tetap berusaha mendapatkan cerminan positif dari orang lain. 

Sedangkan Inez berkebalikan dengan mereka, lantaran menerima kenyataan ia sudah mati dan kehidupannya tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, ia lebih memilih mengakui fakta kalau ia penjahat, pembunuh, dan berperilaku keji dan tidak sopan. Kejujurannya itu membuat ia dengan mudah 'menyiksa' dua penghuni kamar neraka lainnya melalui penghakimannya. 

Baik Garcin maupun Estelle terus-menerus khawatir dan ketakutan dihakimi. Garcin takut jika ia dianggap sebagai penjahat dan pengecut, meskipun menurut pemikirannya tahu benar bahwa ia seorang pengecut seperti yang dikatakan Inez.

Sebelumnya Garcin sempat memohon pintu dibukakan 'pemilik neraka' agar ia dapat kabur dari tempat itu. Namun begitu pintu dibuka, ia ternyata tidak mampu meninggalkan kamar selagi belum bisa meyakinkan Inez bila tindakannya semasa hidup bukanlah seorang pengecut. 

Ia bersusah-payah meyakinkan Inez yang membuatnya makin menderita, sakit hati, dan tersiksa batin sukmanya lantaran dihantui perasaan buruk akibat penilaian negatif orang lain. Ia tak mau dianggap pengecut, tapi sebesar apa pun pembuktikannya, Inez selalu punya jawaban untuk mematahkan pendapatnya.

"Hanya perbuatan yang menunjukkan siapa orang itu sebetulnya." (Hal. 53)

Pada akhirnya Garcin frustasi menghadapi penghakiman dari Inez. Ia mencari cara ingin menghentikan segala yang terus muncul dari mulut Inez. Bersama Estelle, ia membalas dendam dengan berusaha mempertontonkan ketidaksenonohan yang merupakan 'apa yang paling Inez benci'. Tetapi itu pun tidak cukup membuatnya lepas dari neraka di mata perempuan jahat itu.

Sebagai manusia, kita dilahirkan dengan kebebasan, tetapi kebebasan kita kerap direduksi oleh kebebasan orang-orang yang berada di sekeliling kita. Sartre melalui HC menyadarkan kita bahwa sebenarnya kita tak pernah bisa melepaskan hubungan dengan orang lain. Terkadang kita keliru mengira bahwasanya sepenuhnya cerminan mengenai diri kita itu sumbernya berasal dari hasil penilaian kita sendiri, padahal yang terjadi sesungguhnya kita sering menyertakan pandangan orang lain juga sebagai refleksi yang menentukan kita ini siapa dan seperti apa.

Tetapi HC tidak bermaksud menerangkan bahwa hubungan dengan orang lain itu sudah pasti akan membawa 'neraka' bagi kita. Justru menurut Sartre sebenarnya orang lain bagian terpenting untuk mendapatkan pemahaman tentang diri kita sendiri. 

Dipublikasikan ulang dari blog pribadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun