Naskah drama ini telah diterjemahkan berbagai negara dan diadaptasi dalam berbagai wahana seperti film, drama radio, teater, serial televisi, dan opera. Di Indonesia sendiri Huis Clos oleh Asrul Sani dialihbahasakan dengan judul Pintu Tertutup (1971) dan diterbitkan Penerbit Pustaka Jaya yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta.
Membaca Pintu Tertutup (selanjutnya saya akan sebut HC, singkatan dari Huis Clos) menjadi pengalaman menyenangkan dibandingkan membaca debat kusir yang ramai di media sosial perkara film horor religi yang tengah ramai di bioskop. Saya tak sengaja menemukan kembali HC yang sempat saya tinggalkan selama empat tahun dalam tumpukan list bacaan.
Empat tahun lalu rasanya saya sudah mencicip beberapa halaman buku ini, tapi entah kenapa saya enggan menamatkannya sehingga baru kesampaian sekarang. Mungkin karena bentuknya yang berupa "naskah drama" alih-alih novel, makanya saya bisa sampai hati melewatkan karya sebagus ini.
HC tentu saja bukanlah kisah religi. Dan, meskipun di dalamnya terdapat elemen neraka, ruh, dan segala hal berbau kematian, Sartre tidak sedang berniat mengkhotbahkan pembaca mengenai kitab suci, apalagi menakut-nakuti manusia dengan agama. Sartre sendiri adalah seorang filsuf eksistensialis ateis. Sama halnya dengan Camus yang memperkenalkan absurdisme, ia juga kerap memperkenalkan perihal eksistensialisme ateisnya melalui karya fiksi.
Dalam HC, kita dapat menyelami hubungan antarmanusia. Bagaimana sebagai individu sebenarnya kita khawatir atau ketakutan terhadap pandangan buruk yang bersembunyi di dalam kepala orang lain. Kita sering mencemaskan apa pendapat mereka terhadap pilihan hidup yang kita jalani.
Ketiga roh dalam HC memiliki penilaian akan diri mereka masing-masing. Garcin dan Estelle gemar menipu diri, cenderung berputar-putar mencari pembenaran akan tindakan yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Meski mereka tahu benar soal kejahatan mereka, keduanya tetap berusaha mendapatkan cerminan positif dari orang lain.Â
Sedangkan Inez berkebalikan dengan mereka, lantaran menerima kenyataan ia sudah mati dan kehidupannya tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, ia lebih memilih mengakui fakta kalau ia penjahat, pembunuh, dan berperilaku keji dan tidak sopan. Kejujurannya itu membuat ia dengan mudah 'menyiksa' dua penghuni kamar neraka lainnya melalui penghakimannya.Â
Baik Garcin maupun Estelle terus-menerus khawatir dan ketakutan dihakimi. Garcin takut jika ia dianggap sebagai penjahat dan pengecut, meskipun menurut pemikirannya tahu benar bahwa ia seorang pengecut seperti yang dikatakan Inez.
Sebelumnya Garcin sempat memohon pintu dibukakan 'pemilik neraka' agar ia dapat kabur dari tempat itu. Namun begitu pintu dibuka, ia ternyata tidak mampu meninggalkan kamar selagi belum bisa meyakinkan Inez bila tindakannya semasa hidup bukanlah seorang pengecut.Â
Ia bersusah-payah meyakinkan Inez yang membuatnya makin menderita, sakit hati, dan tersiksa batin sukmanya lantaran dihantui perasaan buruk akibat penilaian negatif orang lain. Ia tak mau dianggap pengecut, tapi sebesar apa pun pembuktikannya, Inez selalu punya jawaban untuk mematahkan pendapatnya.
"Hanya perbuatan yang menunjukkan siapa orang itu sebetulnya." (Hal. 53)