Sebelum depresi hari itu terjadi, kecemasan-kecemasan yang sudah pernah berhasil kamu atasi, memang terkadang pernah muncul ke permukaan. Â
Kini, ia kembali padamu dengan wujud yang lebih kuat, keras, dan kasar daripada sebelumnya. Dia tidak kenal ampun. Dia waspada sekecil pada apa pun gerak-gerik manusia di sekitarnya. Dia menghafal tiap-tiap kalimat yang orang lain lontarkan. Lalu ia ubah kata-kata itu menjadi senjata untuk menyerangmu hingga tak berkutik.
Jika kamu diibaratkan guci, masalah dan masa lalu yang menumpuk selama bertahun-tahun itu anggap saja pasir yang ditaruh di dalamnya. Depresi dan kecemasan umpama angin kencang yang mendorong guci itu hingga bergeser ke tepian meja.Â
Lalu masalah lebih besar lagi datang tidak lagi dalam bentuk pasir, tetapi kucing jingga. Si kucing polos dengan sengaja menyenggol guci berisi pasir. Brukk! Lebur dan terserak semuanya di lantai. Tidak berlebihan jika pecahnya guci itu setara dengan ledakan supernova. Kamu hancur.
Ada hari ketika kamu pecah dan berhamburan di lantai. Pecahan-pecahan itu sungguh tidak dapat lagi diselamatkan. Bagaimana mungkin guci yang pecah harus disatukan kembali? Saat momen itu terjadi pilihanmu mungkin menerima keadaan menjadi kepingan-kepingan tak berguna. Kepingan yang seharusnya dibuang selama-selamanya ke dalam tong sampah dan lubang pembuangan.
Itu artinya hidupmu berakhir. Entah terjun ke jurang depresi yang kian akut (fisik masih hidup, tapi jiwa sepenuhnya mati rasa) atau nekat memilih jalan ekstrem, yakni dengan mengakhiri hidup. Pikiranmu buntu.
Tapi bagaimana seandainya kamu bertekad menyatukan lagi pecahan-pecahan keramik itu dengan emas? Bagaimana jika pasir yang kamu tampung sebelumnyalah yang justru kamu buang ke tong sampah? Guci yang tadinya berat dan bercorak polos saja, kini jadi terlihat cantik setelah punya bekas pecahan yang dilem. Guci itu jadi menarik.
Atau sewaktu kepalamu nyaris tenggelam di lumpur pengisap, di detik-detik tanganmu berusaha menggapai keluar, tiba-tiba kamu menemukan tali yang dilemparkan ke tanganmu. Tali itu menarikmu keluar pelan-pelan sampai akhirnya kamu selamat meski tubuhmu kotor dan berlumuran tanah.
Tali itu harapan. Dan ide menyatukan guci yang pecah juga harapan. Harapan itu muncul padamu di detik-detik terakhir. Saat kamu berpikir bahwa kamu sebetulnya butuh bantuan.
Saat kamu menyadari bahwa kamu memang tidak baik-baik saja.
Tidak baik-baik saja tak berarti kamu benar-benar kehilangan harapan.