Siang hari yang terik, berjalanlah tanpa pelindung kepala dan pakaian agak terbuka. Dipastikan kamu merasakan panas yang teramat sangat tidak wajar, kepala pusing, bahkan kulitmu memerah.Â
Kamu mungkin bertanya-tanya, waktu kecil bermain layang-layang di siang bolong bukanlah hal baru lagi dilakukan, kenapa sekarang malah menantang?
Di wilayah lain (atau mungkin tempatmu) hujan turun berkepanjangan yang kerap menimbulkan banjir. Rumah-rumah terendam air, panen gagal, dan tanah longsor mengubur perkampungan dalam semalam. Peristiwa yang belakangan tak asing lagi kamu temui di berita-berita harian online atau televisi.
Sadar atau tidak sadar, dunia kita tidak sedang baik-baik saja. Tiga lembaga telah mengamini sekiranya lima tahun terakhir adalah kondisi terpanas dalam 170 tahun terakhir.Â
Menurut data NASA, Noaa, dan UK Met, tahun 2019 merupakan keadaan terpanas kedua sejak tahun terpanas pertama pada 1850.
Jadi, pertanyaan kita tentang panas matahari belakangan yang teriknya sungguh membakar itu bukan asumsi atau pernyataan subjektif belaka. Ada perubahan iklim yang sebetulnya pengalaman yang sama-sama kita rasakan, tetapi sangat jarang sekali dibicarakan.
Sebelum kamu membaca lebih jauh artikel ini, siapkan diri dengan kabar tak bagus yang mungkin membuatmu panik.
Bencana Alam dan Perubahan Iklim di Indonesia
Tahun lalu, menurut data BNPB (2020), Indonesia mengalami tren tertinggi terjadinya bencana alam sejak 10 tahun terakhir. Ada 9.391 kasus bencana alam yang didominasi oleh kebakaran hutan hutan dan lahan (3274), kekeringan (1529), puting beliung (1700), dan tanah longsor (1483), serta banjir (1276).
Masih menurut data BNPB. Di bulan April 2020, negara kita setidaknya telah mengalami 1.426 kasus bencana alam yang dua rangking teratasnya adalah banjir dan tanah longsor.
Kita baru saja bicara angka bencana alam. Tidak akan dijabarkan dalam artikel ini mengenai berapa banyak besar kerugian, jumlah korban, dan dampak-dampak bagi banyak sektor di Indonesia.
Yang pasti kita sadar akan fakta bahwasanya terjadi perubahan pada gejala alam yang signifikan dan berdampak pada besarnya kasus bencana alam di Indonesia. Apalagi didukung dengan aktivitas perusakan hutan (deforestasi) untuk kepentingan lahan tambang dan sawit milik elit.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di tengah-tengah kita sekarang?
Inilah yang disebut perubahan iklim (climate change). Iklim berbeda dengan cuaca, butuh waktu tidak sebentar (tahunan) untuk kita menyadari adanya perubahan pada iklim. Bahasa gampangnya, iklim adalah kondisi rata-rata cuaca yang terjadi selama beberapa tahun di suatu wilayah.
Tentu saja, cakupannya lebih luas dibandingkan dengan cuaca. Kalau bicara cuaca, pikiran kita terarah pada cerah, berawan, berangin, atau hujan di suatu tempat. Sedangkan iklim, maka negara kita beriklim tropis.
Perubahan iklim identik dengan pemanasan global (global warming). Kondisi di mana suhu rata-rata permukaan bumi mengalami peningkatan akibat gas rumah kaca yang berlebih.Â
Gas rumah kaca meliputi Karbon dioksida (CO2), Nitrogen oksida, Metana, sulfurheksaflorida, perflorokarbon , dan hidroflorokarbon. Gas-gas tersebut sebagian besar berasal dari aktivitas manusia.
Negara kita menurut situs Indonesia Climate Watch di tahun 2014, adalah penyumbang emisi gas rumah kaca nomor enam di dunia. Sebagai negara dengan angka penduduk keempat tertinggi di dunia sekaligus anggota negara-negara industri maju G20, maka kita punya andil dan tanggung jawab besar untuk menyelamatkan anak-cucu kita dari bencana global kelak di masa depan.
Sebagian dari kita menyangkal keberadaan fakta-fakta ini. Mengingat munculnya kelompok skeptis yang mengganggap ini bagian dari permainan kelompok kepentingan untuk menguasai ekonomi.Â
Tapi suatu penyangkalan yang naif jika kita membohongi diri sendiri terkait hubungan antara bencana alam dan aktivitas manusia yang selalu terjadi.
Beberapa bulan terakhir, semenjak corona mewabah di berbagai belahan dunia. Banyak sektor industri berhenti sementara waktu, orang-orang dipaksa berdiam diri di rumah, dan intensitas di jalan raya berkurang.
Virus korona dibalik sisi buruk, rupanya dari kacamata lain memiliki beberapa sisi baik. Dengan berkurangnya aktivitas di luar rumah, berarti makin kecil pemakaian kendaraan pribadi yang juga penyumbang emisi.
Tapi tak serta merta membantu sepenuhnya, karena industri-industri besar yang tak sadar akan lingkungan masih tetap beroperasi.
Oleh karena itu, di momen Ramadan yang amat kita nantikan ini, maka perlu kita isi dengan solusi terbaik dalam mengatasi perubahan iklim. Caranya? dengan berpuasa jejak karbon.
Apa itu jejak karbon?
Setiap aktivitas yang dilakukan manusia sejatinya menyumbang jejak karbon (carbon footprint). Misalnya, baju yang sedang kamu pakai sekarang.Â
Dalam prosesnya, dari awal produksi sampai tiba di tanganmu telah melewat perjalanan yang panjang dan jauh. Ada banyak energi, konsumsi bahan bakar, tenaga manusia, dan lahan yang dipakai untuk mencukupi satu kebutuhanmu.
Proses industri umumnya menghasilkan gas rumah kaca. Ambil contoh saja misalnya pemakaian bahan bakar, baik untuk keperluan produksi maupun kendaraan (distribusi) jelas menyumbang gas buang (CO2) dan sampah industri.
Contoh lainnya yaitu hidangan di meja makanmu. Mulai dari beras, daging, sayur-mayur juga turut menyumbang emisi gas metana. Fakta baru-baru ini mengungkapkan, jika peternakan sapi dianggap menyumbang gas metan tertinggi, sedangkan yang terendah yaitu perkebunan sayur.
Itu baru sampai ke mejamu. Belum kita hitung berapa sampah yang bisa dihasilkan setiap harinya dari jutaan manusia di seluruh Indonesia. Kira-kira solusi paling mudah apakah bagi kita untuk berkontribusi mengurangi fenomena ini?
Puasa Karbon, Solusi?
Bulan Ramadan adalah waktu yang ditunggu oleh para umat muslim dunia. Berpuasa sepanjang hari selama sebulan penuh tentu berdampak besar bagi kelangsungan dunia jika dilakukan dengan benar.
Karena dengan berpuasa, berarti menahan hawa dan nafsu, termasuk dari sifat berlebih-lebihan atau boros. Hal ini sejalan dengan prinsip puasa karbon yaitu "mengurangi permintaan akan kebutuhan yang tidak terlalu penting".
Apa saja? Banyak, mulai dari berhemat dalam belanja pakaian, makanan, kertas, dan produk-produk industri lainnya. Mengurangi aktivitas yang banyak membuang bahan bakar, listrik, dan berbagai energi.
Supaya kesehatan tubuh tetap terjaga. Kita juga sama-sama menjaga pola makan baik dari segi intensitas maupun kadarnya. Membeli makanan untuk kebutuhan sahur dan berbuka secukupnya saja, ialah peran kecil yang mampu dilakukan kita untuk membantu keselamatan dunia.
Tahun lalu, Menurut Petugas di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang bahwa volume sampah di hari pertama Ramadan bertambah signifikan (864 ton). Jumlahnya lebih besar dibandingkan hari-hari normal. Yang berarti, selama bulan puasa orang-orang makin boros.
Kebiasaan 'membalas dendam' sewaktu berbuka puasa turut andil menyumbang sampah besar tersebut. Kita sering kali membeli jajanan berbuka hingga memenuhi meja makan, yang ujung-ujungnya berakhir menjadi timbunan sampah makanan dan menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA). Ironisnya, masyarakat miskin dan tuna wisma justru kesulitan pangan.
Padahal sifat berlebih-lebihan seperti ini jauh dari esensi berpuasa. Yang seharusnya bukan cuma menahan lapar dan dahaga, melainkan nafsu dari memborong makanan dan pakaian habis-habisan.Â
Jadi, usaha kita melindungi alam dari perubahan iklim yang kian menakutkan tidak cukup menentang keberadaan industri yang merusak lingkungan. Melainkan di mulai dari kita sendiri, yuk kita ubah hal-hal kecil dan kebiasaan buruk selama bulan Ramadan lewat puasa karbon!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H