Laras hanya mengulas senyum. 'Mbok Nah, selalu begitu.'
Sejak pagi, seperti biasa, Mbok Nah menjajakan kerupuk dengan sepeda onthel yang setia menemani. Menempuh jarak puluhan kilometer hingga sampai ke tempat Laras tinggal. Setiap hari, ia menjajakan kerupuk di tempat-tempat yang berbeda.
Hari ini ke Sukoharjo, besok ke Bandung Baru, esoknya lagi ke Banyumas. Semua ditempuh dengan jarak yang sangat jauh. Usia senja tak membuatnya malas. Sebab kata Mbok Nah, makin jauh jarak yang harus di tempuh, ia bisa bersilaturahim dengan banyak orang serta merasa jauh lebih sehat.
Terbukti, meski usianya hampir mendekati satu abad, wajahnya masih tampak segar dan kencang. Garis-garis kecantikannya tak pudar. Â Selain karena setiap hari ia bersepada menjajakan kerupuk, Mbok Nah memang seorang pribadi yang ceria. Ia selalu berfikir positif, bagaimanapun garis kehidupan yang harus ia jalani.
Mbok Nah menikah ketika usianya 15 tahun. Tahun pertama pernikahan, ia dikaruniai seorang bayi laki-laki lucu yang sehat. Dua tahun kemudian, anak keduanya lahir, juga seorang laki-laki. Tahun kelima pernikahan, ia kembali melahirkan seorang bayi perempuan. Tahun ke tujuh membina biduk rumahtangga, sang suami meninggalkannya demi wanita lain. Padahal ketika itu, ia baru saja melahirkan anak keempat.
Sedih, kecewa, dan terluka berkumpul menjadi satu rasa. Ia ingin marah, tapi tak tahu dengan siapa. Sang suami telah pergi meninggalkan ia dan keempat anak yang masih kecil.
Berhari-hari Mbok Nah terpuruk. Anak-anak yang sangat aktif membuatnya sering sakit. Sementara bayi yang terus tumbuh, juga terus saja menangis.
Mbok Nah prustasi. Di tengah himpitan masalah keluarga dan juga ekonomi, ia berniat mengakhiri hidup bersama keempat anaknya. Namun, saat rencana hendak ia lancarkan, sebuah bisikan lembut mengingatkan. Tentang anak-anak lucu yang menjadi harapan banyak orang. Tentang dosa yang akan ia tanggung tak hanya di dunia, tapi juga kelak, di alam sana. Tentang senyum anak-anak tak berdosa di hadapannya.
Mbok Nah menangis, meraung-raung menyadari nasib pedih yang harus ia jalani. Namun, ia segera mengusap bulir bening di wajahnya dengan kasar.
Mbok Nah berdiri, memandang keempat anaknya yang telah terlelap. Ia memutuskan untuk membasuh wajah dengan air wudu, lalu salat dan mengadukan semua pada ilahi. Ia yakin, tak ada ujian yang melebihi batas kemampuan.
Di atas sajadah, Mbok Nah berjanji, untuk bangkit dan membesarkan anak-anaknya sendiri. Tak ada sedih, atau kecewa. Â Ia hanya ingin mengukir masa depan gemilang.
Tentu, dengan memohon pertolongan Ilahi Rabbi.