Mohon tunggu...
Eka Widya Ningrum
Eka Widya Ningrum Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi dalam olahraga terutama pada olahraga badminton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetesan Keringat Ayah

24 November 2024   16:59 Diperbarui: 24 November 2024   17:00 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang menjelang sore disaat aku terbangun karena mendapat mimpi yang kurang mengenakkan bagiku, kemudian aku melihat kearah pintu kamar ku yang terbuka dan mendapati sesosok cepat yang sedang lalu lalang, membuat ku yang baru saja bangun dari mimpi tidak mengenakkan menjadi kaget didalam hati lalu aku memberanikan diri turun dari kasur untuk menuju pintu kamarku, aku pun melihat sosok yang berlalu lalang itu, rupanya sosok tersebut adalah ayahku yang sepertinya selesai melakukan pekerjaan di ladangnya,aku memandangi Ayah yang sedang duduk di bangku bambu depan rumah. Wajahnya terlihat lelah, dengan peluh yang masih menetes dari dahinya. Tangannya memegang secangkir kopi hitam yang baru saja dibuat oleh Ibu. Sesekali ia menyeruputnya pelan-pelan, mungkin untuk menghilangkan penat setelah seharian bekerja di ladang.

Ayahku bukanlah seorang pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Dia hanyalah seorang petani sederhana di desa kecil kami. Namun, aku selalu merasa, tidak ada orang yang lebih keren dari pada Ayah.Setiap hari, dia bangun sebelum matahari terbit dan kembali ke rumah saat senja mulai merayap. Ladang jagung di pinggir desa adalah saksi perjuangan ayah disana.

Aku melihat ibu yang sedang bersantai di depan televisi sambil melihat aku yang sedang berdiri,lalu ibu menaikan satu alisnya seolah berkata kenapa kamu berdiri terus melamun seperti itu?, aku yang paham tentang kode yang diberikan ibu pun berkata " aku mau keluar ke ayah sebentar bu."

Ibu pun mengangguk sambil melanjutkan menonton televisi.

Akupun melangkah keluar, lalu duduk di samping Ayah.

“Kamu baru bangun nak?" Tanya ayah.

“Iya yah baru saja tadi" jawabku.

"Pantesan bau, mandi sana" kata ayah sambil mengejek.

"Ih iya nanti dulu baru ngumpulin nyawa" jawabku.

Ayah mengangguk pelan, lalu menyeruput kopinya lagi. Hening sejenak menyelimuti kami. Hanya suara jangkrik dan sesekali hembusan angin yang menemani.

“Ayah capek ya?” tanyaku.

Ayah menoleh padaku, tersenyum kecil. “Capek itu biasa, nak. Yang penting, kita tetap berusaha. Kalau tidak capek, ya tidak bakal ada hasil.”

Aku menatap wajahnya yang penuh kerutan. Dalam kerutan itu, aku mengingat saat ayah bercerita tentangnya saat masih kecil. Ayah tidak pernah bersekolah tinggi. Selepas SD, dia harus membantu kakek di ladang. Namun, dia selalu berkata bahwa pendidikan adalah kunci masa depan. Itu sebabnya, Ayah bekerja keras agar aku bisa sekolah setinggi mungkin.

“Ayah, kenapa harus kerja sekeras itu?” tanyaku, masih penasaran.

“Karena Ayah ingin kamu punya pilihan. Ayah dulu tidak punya pilihan, nak. Tapi kalau kamu rajin dalam melakukan sesuatu pasti akan ada ganjarannya nanti. Ayah ingin kamu tidak perlu kerja sekeras Ayah.”

Jawabannya sederhana, tapi menusuk hati. Aku yang mendengar perkataannya pun terdiam.

Keesokan harinya, seperti biasa, Ayah sudah berangkat ke ladang sebelum matahari terbit. Aku melihatnya dari jendela, membawa cangkul dan topi caping kesayangannya, itu adalah topi terakhir yang ayah dapat dari kakek.Di punggungnya, ada keranjang bambu berisi bekal sederhana yang disiapkan Ibu. Aku yang memandanginya dari jauh hanya bisa menghela napas panjang.

Hari itu adalah hari libur sekolah. Aku memutuskan untuk pergi ke ladang membantu Ayah. Sesampainya di sana, aku melihatnya sedang mencangkul tanah dengan tenaga yang seolah tak pernah habis. Tubuhnya basah oleh keringat, tapi dia terus bekerja tanpa mengeluh atau memang aku jarang mendengar ayah mengeluh pada ibu ataupun padaku.

“Ayah, biar aku bantu,” ujarku sambil mengambil cangkul dari tangannya.

Dia terkejut, dan tak memperbolehkan ku mencangkul. 

“Hati-hati, nak,kamu ini jarang memakai cangkul jadi jangan sampai cangkulnya kena kakimu.”

"Gapapa ayah aku bantu dikit dikit walau aku terlihat seperti tidak bisa memakai cangkul, setidaknya aku sudah melihat tutor dari youtube, hahaha" jawabku sambil bercanda ria.

"Yaampun ada ada saja , masak sampai liat youtube segala si hahaha tapi hati-hati ya" saut ayah sambil tertawa kecil.

Akupun mulai mencangkul tanah. Awalnya, aku merasa kuat dan mampu. Namun, baru beberapa menit saja, aku sudah merasa lelah. Napasku tersengal, dan tanganku mulai terasa pegal. Sementara itu, Ayah hanya tertawa kecil.

“Capek, kan?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil menyeka keringat di dahi. “Ternyata berat juga ya, Yah.”

“Makanya, Ayah bilang, kamu teh gausa bantu mending bantu ibu di rumah, kan kamu anak cewek jadi kurang pantes kalo ikut ayah ke ladang seperti ini"

" Tadi aku dipesani ibu buat jaga rumah ,karena ibu sedang keluar dan tidak mengajak aku jadinya aku bosan di rumah, mending aku bantu ayah aja di sini" jawab ku.

"Eeee begitu, yaudah kita istirahat dulu disana" ayah menunjuk ke arah gubuk kecil di sana.

Aku mengangguk, meski napasku masih tersengal. Hari itu, aku belajar banyak tentang arti kerja keras dan pengorbanan.

Tahun demi tahun berlalu. Aku berhasil masuk ke universitas terbaik di kota. Setiap kali pulang ke rumah, aku selalu melihat Ayah masih sama seperti dulu—setia dengan ladangnya, topi caping kesayangan, dan cangkulnya. Namun, ada yang berbeda. Tubuhnya kini lebih kurus, dan langkahnya mulai melambat.

Suatu malam, aku duduk bersamanya di depan rumah. Kali ini, giliran aku yang membawa kopi untuk Ayah.

“Ayah, kenapa tidak istirahat saja? Aku sudah hampir lulus. Nanti aku yang gantian kerja untuk keluarga.”

Dia menggeleng pelan sambil tersenyum. “Selama Ayah masih bisa berdiri, Ayah akan terus bekerja. Itu tugas Ayah sebagai orang tua. Lagipula, kalau Ayah berhenti, siapa yang akan menjaga ladang kita?”

Aku tak bisa membantah. Ayah memang keras kepala. Namun, aku tahu, keras kepalanya itu lahir dari cinta yang begitu besar.

Beberapa tahun kemudian, aku akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan di kota. Gajiku cukup besar, lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga. Aku segera pulang ke desa untuk memberi kabar baik ini pada Ayah dan Ibu.Sesampainya dirumah aku mengetuk pintu kemudian masuk.

"Ayah, ibu , adikk!" Aku berteriak.

"Loh anakku kamu sudah pulang??" Jawab ayah

"Yaampun ngagetin aja" kata ibu

"Kakakkk!" Teriak adikku dengan wajah gembira

"Ayah , ibu tahu tidak kenapa aku pulang tidak kasih kabar?" Aku berharap dengan jawaban yang pasti

"Apatuh?" Tanya ibu

"Akuuuuu, gaji kerja kuu Bu ,Yah " aku berharap dengan senang

"Kenapa? , gaji kamu naik? " Tanya ayah.

"BENERRRR, YEAHHHH, Seneng banget aku setelah diberi pemberitahuan ini dari kantor " aku berbicara dengan hati berbunga bunga.

“ Dan Ayah, sekarang giliran aku yang bekerja karena gajiku cukup untuk keluarga kita. Ayah tidak perlu ke ladang lagi,” kataku dengan penuh semangat.

"Kakak , kamu bawa martabak telor tidak? "Sela adik dengan wajah cemberut karena tidak di perhatikan.

"Ohhhhh iya aku lupa " jawab ku

" Haa lupa tidak beli?" Adik ku sambil membuat wajah sedih

"Hahaha tidak mana ada Kakak lupa beliin kamu martabak setiap kesini" jawab ku

Adikku dengan wajah sedih nya tadi menjadi semangat kembali mendengar aku membawa martabak kesukaannya.

"YEAYYYY, Dimana martabak nya?" Tanya adik

"Di luar , di sepeda kakak ambil saja sana sama jajan lain dibawa juga ,aku beliin ayah sama ibu jajan juga hehe" jawab ku 

"Yaampun repot repot saja kakak ini" kata ibu sambil memperlihatkan wajah senang.

"Yaudah kita makan bareng bareng aja" kata ayah sambil mengelus kepala ku

"Hehe iya ayah" jawab ku dengan hati gembira, tiba tiba ayah memanggil ku untuk berbicara empat mata rupanya melanjutkan pembahasan yang tadi 

"Nak , ayah masih bisa kok berkerja" Kata ayah dengan nada pelan

" Kenapa emang ayah? Apa gajiku kurang banyak?" Tanyaku kepada ayah

"Tidak bukan begitu sayangku"jawab ayah sambil mengelus kepalaku.

Namun, lagi-lagi, Ayah hanya tersenyum. “Kerja keras itu bukan soal uang, Nak, tapi soal tanggung jawab. Ayah masih punya tanggung jawab di sini. Kalau kamu mau bantu, ya bantu jaga keluarga ini. Jangan biarkan Ibumu atau adik-adikmu kekurangan kasih sayang, meski kamu jauh. Uang Masi bisa di cari nak walau harga nya tidak sebesar yang kamu punya sekarang, kita juga tidak tahu gimana keluarga kita kedepannya, jadi ayah tidak ingin mengandalkan kamu. Karna ayah sebagai orang tua disini masih bisa kok diandalkan jadi tidak usah khawatir dan kamu harus kerja dengan giat ya, bukti kan kalau kamu bisa!” jawab Ayah.

Kata-kata Ayah itu selalu terngiang di kepalaku. Dari situ, aku sadar bahwa tanggung jawab bukan hanya soal memenuhi kebutuhan materi, tapi juga soal menjaga cinta dan kebersamaan.

Suatu pagi, ketika aku sedang bekerja di kota, aku mendapat kabar bahwa Ayah jatuh sakit. Tanpa pikir panjang, aku langsung pulang. Sesampainya di rumah, aku melihat Ayah terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap memancarkan semangat yang sama.

"Ayah..."sambil menghampiri ayah di kasur.

"Nak kamu kesini rupanya"menjawab dengan nada yang terdengar sangat lemas.

"Iya ayah...." Aku sambil menatap ayah dengan sayu

“Maaf, Ayah nggak bisa bantu kamu lagi, Nak" katanya pelan.

Aku menahan air mata. “Ayah sudah melakukan lebih dari cukup. Sekarang giliran aku yang menjaga keluarga ini.”

Dia tersenyum tipis, lalu menggenggam tanganku erat. 

“Ingat, Nak, di balik setiap tetes keringat Ayah, ada harapan untuk masa depanmu. Jangan sia-siakan itu.”

Hari itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga apa yang Ayah perjuangkan selama ini.

Beberapa minggu kemudian, Ayah akhirnya pergi untuk selamanya. Ladang jagungnya kini hanya menjadi kenangan. Namun, pelajaran dari tetesan keringatnya akan selalu hidup dalam hatiku.

Setiap kali aku merasa lelah atau ingin menyerah, aku selalu mengingat wajah Ayah—wajah penuh kerutan yang menyimpan begitu banyak cinta dan pengorbanan.

Di balik setiap tetesan keringatnya, ada kisah yang tak pernah selesai kutulis. Kisah tentang seorang ayah yang berjuang tanpa pamrih, demi masa depan anak-anaknya.

Di balik setiap tetesan keringatnya, ada cinta yang tak pernah habis dan semangat yang tak pernah padam. Ayah mengajarkan bahwa hidup adalah tentang perjuangan dan tanggung jawab. Meskipun kini Ayah sudah tiada, setiap kenangan dan pelajaran darinya akan selalu menjadi penyemangatku. Aku berjanji akan terus menjaga keluarga ini, seperti yang selalu Ayah lakukan dengan sepenuh hati. Selamanya, aku akan bangga menjadi anak seorang petani sederhana yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun