Ayah menoleh padaku, tersenyum kecil. “Capek itu biasa, nak. Yang penting, kita tetap berusaha. Kalau tidak capek, ya tidak bakal ada hasil.”
Aku menatap wajahnya yang penuh kerutan. Dalam kerutan itu, aku mengingat saat ayah bercerita tentangnya saat masih kecil. Ayah tidak pernah bersekolah tinggi. Selepas SD, dia harus membantu kakek di ladang. Namun, dia selalu berkata bahwa pendidikan adalah kunci masa depan. Itu sebabnya, Ayah bekerja keras agar aku bisa sekolah setinggi mungkin.
“Ayah, kenapa harus kerja sekeras itu?” tanyaku, masih penasaran.
“Karena Ayah ingin kamu punya pilihan. Ayah dulu tidak punya pilihan, nak. Tapi kalau kamu rajin dalam melakukan sesuatu pasti akan ada ganjarannya nanti. Ayah ingin kamu tidak perlu kerja sekeras Ayah.”
Jawabannya sederhana, tapi menusuk hati. Aku yang mendengar perkataannya pun terdiam.
Keesokan harinya, seperti biasa, Ayah sudah berangkat ke ladang sebelum matahari terbit. Aku melihatnya dari jendela, membawa cangkul dan topi caping kesayangannya, itu adalah topi terakhir yang ayah dapat dari kakek.Di punggungnya, ada keranjang bambu berisi bekal sederhana yang disiapkan Ibu. Aku yang memandanginya dari jauh hanya bisa menghela napas panjang.
Hari itu adalah hari libur sekolah. Aku memutuskan untuk pergi ke ladang membantu Ayah. Sesampainya di sana, aku melihatnya sedang mencangkul tanah dengan tenaga yang seolah tak pernah habis. Tubuhnya basah oleh keringat, tapi dia terus bekerja tanpa mengeluh atau memang aku jarang mendengar ayah mengeluh pada ibu ataupun padaku.
“Ayah, biar aku bantu,” ujarku sambil mengambil cangkul dari tangannya.
Dia terkejut, dan tak memperbolehkan ku mencangkul.
“Hati-hati, nak,kamu ini jarang memakai cangkul jadi jangan sampai cangkulnya kena kakimu.”
"Gapapa ayah aku bantu dikit dikit walau aku terlihat seperti tidak bisa memakai cangkul, setidaknya aku sudah melihat tutor dari youtube, hahaha" jawabku sambil bercanda ria.