Aku ingin mendengarmu mengatakan cinta
Paling tidak sekali saja
Sepanjang usia pernikahan kita
Biarkan telingaku mendengarnya
===
Aku lelaki, bagiku semua kata cinta adalah picisan belaka. Yang terkadang digunakan untuk menutupi sebuah dusta. Entah mengapa perempuan selalu ingin mendengarnya. Kata cinta padahal bisa jadi akan menusuk hatinya lalu meremukkannya hingga remahan kecil tak berhingga.
Lihatlah di luaran sana, sudah berapa banyak perempuan yang terbius kata cinta, lalu memberikan segalanya demi lelaki yang suka mengobral cinta. Perempuan itu lalu terluka oleh kepercayaan yang telah dibuatnya sendiri. Lelaki itu meninggalkannya, meninggalkan luka menganga di hatinya. Luka yang sebenarnya disebabkan oleh kata cinta.
Aku lelaki, bagiku semua kata cinta adalah omong kosong yang tiada habisnya. Cinta itu bukan sekedar kata, melainkan suatu tindakan. Jika kita mencintainya itu berarti membuatnya senantiasa bahagia.
Jika kita mencintainya, itu berarti memberikan kebebasan baginya, bukan mengekangnya. JIka kita mencintainya, tentunya tak usah menuntut berbagai macam darinya. Jika kita mencintainya, pastinya kita akan memberikan apapun yang kita punya. Jika kita mencintainya, itu berarti kita menjaganya dari segala perbuatan yang dilarang agama. Jika kita mencintainya, itu berarti menikahinya.
"Jadi apakah Mas Farhan mencintaiku?" tanyamu ketika itu.
"Aku akan menikahimu" kataku
"Tapi aku butuh kepastian"
"Kepastian apa dinda?"
Perempuan yang bernama Adinda tampak menatapku dengan mata bulatnya yang mempesona.
"Bagaimana Dinda yakin kalau Mas Farhan mencintai Dinda"
"Apakah lamaranku saja belum cukup untuk membuktikannya?"
Perempuan berkulit putih bersih di hadapanku tampak mengernyitkan dahi, "Aku baru tiga bulan mengenal Mas Farhan. Bahkan Mas Farhan pun tidak pernah mengajakku pergi sekedar makan berdua, atau menggandeng tanganku ketika kita berjalan bersama"
Kini giliran aku yang bimbang. Entah apa yang ada di pikiran perempuan di hadapanku ini. Bukankah dengan menikahinya adalah suatu bentuk cinta yang nyata.
Mengapa dirinya malah menantangku untuk menjalani cinta yang semu. Cinta layaknya remaja masa kini yang kemana-mana berdua. Yang asyik menghabiskan waktu dengan ketawa ketiwi tidak jelas. Atau bergandengan tangan dengan sosok yang bukan muhrimnya.
"Adinda meragukanku?" tanyaku hati-hati.
Perempuan itu mengangguk pelan.
"Haruskah kubuatkan puisi cinta untuk Adinda?"
"Seperti Dilan" sahutnya.
Aku menggelengkan kepala. Bagaimana aku bisa membuat puisi. Nilai bahasa Indonesiaku selalu buruk. Dan aku bahkan tidak bisa membedakan antara majas metafora, paradoks, hiperbola atau apapun itu.
Aku bahkan tidak mengerti perbedaan antara syair atau pantun. Bagiku semua itu hanyalah omong kosong belaka. Apalagi untuk merayu perempuan. Jelas bahwa aku tidak pernah punya pacar, jadi mana bisa merayu.
"Maaf Mas Farhan...aku tidak bisa menerimamu" kata Adinda.
Aku terluka, namun kucoba untuk memahami apa yang ada di pikiran gadis berusia dua puluh tahun itu. Aku memahaminya dan aku pun meninggalkannya.
===
Sepuluh tahun berlalu.
Kini aku telah memiliki seorang anak yang tampan dan seorang istri yang baik. Menurut orang lain, mungkin istriku adalah orang udik, orang kampungan, orang yang tidak mengikuti perkembangan zaman, orang yang tidak tren, orang yang tidak perduli dengan penampilan. Jauh berbeda dengan Adinda, sosok yang dulu sempat hinggap di hatiku.
Tapi bagiku istriku adalah seorang malaikat yang selama ini selalu menemaniku. Membuatku tersenyum ketika peluh keringat membasahi dahiku usai bekerja seharian menjadi tukang ojek di jalanan. Istriku senantiasa menghidangkan masakan sederhana dari tangan mungilnya. Istriku yang senantiasa membuatku merindukan rumah.
Suatu ketika aku membaca secarik kertas yang terselip diantara tumpukan bajuku.
Aku ingin mendengarmu mengatakan cinta
Paling tidak sekali saja
Sepanjang usia pernikahan kita
Biarkan telingaku mendengarnya
Entah kesurupan apa istriku bisa menulis kata-kata semanis itu. Padahal selama ini dalam diamnya dia selalu bisa membahagiakanku.
Sejenak pipi istriku merona ketika melihatku membaca tulisannya itu. Aku menghampirinya, kubisikkan di telinganya.
"Aku mencintaimu, meski tanpa kata"
Matanya membelalak seolah mengerti apa yang aku ucapkan.
Asal kau tahu, istriku adalah sosok yang tuli dan bisu. Namun aku percaya dia lebih bisa memahami cinta dariku, cinta yang sesungguhnya, bukan hanya sekedar kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H