"Aku kuliah jurusan Mesin"
"Mesin jahit?" godaku
"Tuh kan..."
"Memangnya serius?"
"Iya"
Aku menatapnya, selalu menyenangkan berbocara dengan perempuan satu ini. Pemikirannya unik, parasnya menawan dibalut dengan busana sederhana. Dirinya selalu ceria. Aku seolah melihat cahaya matahari pagi di tatapannya, hangat.
Sejak perkenalan kami di sebuah lembaga bimbingan belajar itu aku selalu mengikuti langkahnya. Hingga langkah kami tertuju di ibukota Indonesia, Jakarta. Di hiruk pikuk suasana Jakarta kulihat dirinya menikmatinya. Bahkan dirinya selalu menyempatkan diri menyapaku lewat pesan singkat yang dikirimnya.
Suatu ketika satu pesan singkat membuatku terdiam seribu bahasa. Undangan pernikahannya dengan lelaki yang merupakan senior di kantornya. Mungkin memang terkesan terlambat kuungkapkan rasa sukaku padanya. Tapi menerima begitu saja tentang pernikahannya adalah suatu hal yang mustahil bagiku. Aku masih mengharapkannya.
Bulan itu, Desember kelabu ketika hujan mengguyur deras ibukota Jakarta. Kembali kudengar kabar tentangnya. Tentang bayi kecil yang dia sebut malaikat. Iya, mata bayi itu mirip dengan matanya, terasa hangat. Dia mengatakan bahwa betapa dirinya bahagia memiliki malaikat kecil itu meskipun dia --tidak mencintai suaminya.
Ingin sekali aku menemuinya namun setelah pesan singkat tersebut tidak lagi kujumpai pesan-pesan lagi dan nomer ponselnya pun sudah tidak aktif. Aku bingung harus mencarinya kemana, aku putus ada. Setiap kali kulihat nama Ganesha di mesin pencari Google aku berharap itu adalah dirinya. Aku berharap itu adalah Ganesha yang kucintai, yang kurindukan. Namun semua pencarianku nihil.
Tujuh tahun berlalu, musim hujan berganti dari tahun ke tahun. Desember yang ketujuh akupun belum menemukannya. Entah di belahan bumi manakah dirinya berteduh. Aku rindu.
Rinai hujan ini selalu mengingatkanku akan cintaku yang hilang...