Adalah cinta tak bertepi...
Saat diri tak lagi menggapai sepi.
Mencintai tanpa ingin menghakimi.
Tulus dan indah seperti air mengalir.
Adalah cinta yang tak bertepi...
Saat materi bukanlah hal yang dicari.
Karena kebahagiaan yang hakiki.
Adalah tulus kasih.
Pagi ini, kutelusuri jalan setapak yang entah akan membawaku kemana. Pepohonan nan rindang di pagi hari ini sejenak melupakan kepenatan dalam pikiranku. Aku terjebak di salah satu perkampungan karena mobil yang kukendarai mogok. Semalam aku telah berusaha mencari bengkel tapi yang kudapati hanya dua montir muda lulusan SMK. Dengan terpaksa, kupercayakan mobilku pada mereka. Namun hingga saat  ini  dua montir muda tersebut belum juga selesai memperbaiki mobilku.
Alhasil aku bermalam di salahsatu rumah warga sekitar. Rumah seorang Pak Tua yang hidup sebatang kara. Kupikir hidupnya jauh lebih menderita dariku. Aku, yang baru saja kehilangan kedua mertuaku beberapa bulan yang lalu karena kecelakaan pesawat.
Parman, nama lelaki tua tersebut. Dia seorang tua yang juga buta. Kemana-mana hanya ditemani tongkat yang ukuran panjangnya hampir sama dengan tinggi lelaki tua tersebut. Parman, tidak memiliki keluarga, bahkan dirinya tidak tahu siapa kedua orangtuanya yang menitipkan dirinya di panti asuhan.
Tak berapa jauh kakiku melangkah, aku melihat Pak Tua tersebut duduk di depan sebuah sekolahan Dasar, menjajakan gorengan. Ya, selama ini dirinya bekerja sebagai tukang penjual gorengan. Mengambilnya di salah satu warung lalu menjualnya kembali di depan Sekolah Dasar tersebut.
"Siapa namamu Nak?" tanya si Pak Tua ketika ada anak berserahgam putih merah membeli gorengannya.
"Mochamad Ali" kata anak kecil tersebut seraya meletakkan uang seribuan di tangan Pak Tua.
"Wah, namamu seperti nama petinju dunia, kalau boleh Kakek tahu apa cita-citamu?"
"Polisi"
"Semoga Tuhan memudahkanmu mencapai cita-citamu Nak" kata Pak Tua tulus.
Bocah lelaki kecil tersebut mengamini seraya berlari kembali ke kelasnya membawa gorengan pisang untuk sarapannya.
Tak berapa lama muncul seorang anak perempuan kepang dua yang membeli gorengannya. Hal yang sama ditanyakan oleh Pak Tua, si anak perempuan menjawab dengan senyum termanis bahwa dirinya ingin menjadi bidan seperti bibinya. Lalu anak perempuan itu membawa dua buah gorengan ke dalam kelasnya.
===
Hari telah menjelang siang, terik sang matahari masih belum mampu mengusirku dari pandangan Pak Tua itu. Setelah istrirahat sekolah, seluruh gorengannya habis terjual. Dengan menggunakan tongkatnya Pak Tua tersebut membawa nampan jualannya menuju ke salah satu warteg yang tak jauh dari tempatnya berjualan. Seorang wanita paruh baya tersenyum menatapnya. Seraya mempersilakan Pak Tua tersebut duduk, wanita paruh baya tersebut menyiapkan segelas teh manis dan sepiring nasi hangat lauk tahu dan tempe dengan sedikit sambal. Kuikuti langkah Pak Tua yang berakhir di sebuah warung makan.
"Kok tadi pagi Pak Parman tidak mampir sarapan?" tanya wanita paruh baya itu.
"Semalam ada orang kota yang menginap di rumah. Katanya mobilnya mogok dan dia belum bisa menemukan bengkel. Dia bawa banyak roti, jadilah aku sarapan roti tadi pagi"
"Wah mirip orang bule ya sarapan roti" goda wanita paruh baya itu, "Lagipula mana ada bengkel di desa seperti ini. Tapi anak Pak Kosim sepertinya bisa memperbaiki mobilnya. Kan anak Pak Kosim pernah bekerja di kota sebagai montir"
"Ya, tadi pagi kedua anak Pak Kosim sudah bertemu orang kota itu" kata Pak tua yang buta, "Oh ya ini uang hasil jualanku hari ini. Alhamdulillah dagangannya laris. Ambil sendiri ya setorannya, jangan lupa uang makan siang ini"
Wanita paruh baya tersebut mengambil semua uang yang di ulurkan Pak Tua, menghitungnya. Lalu menggantinya dengan selembar uang lima puluh ribu rupiah dan dua lembar uang dua puluh ribu rupiah.
"Berapa sisanya Yu Darmi?" tanya Pak Tua.
"Tiga puluh ribu rupiah. Itu uangnya sepuluh ribuan ya Pak" kata wanita itu menyerahkan uang sejumlah sembilan puluh ribu rupiah ke tangan Pak Tua.
Dengan senyum sumringah Pak Tua mengantongi uang tersebut dan melanjutkan makan siangnya.
Aku yang berada tak jauh dari tempat duduk Pak Tua dibuat terbengong dengan sikap Ibu penjaga warteg itu.
"Bu, bukankah tadi ibu memberikan uang sembilan puluh ribu rupiah. Mengapa ibu mengatakan uang tersebut hanya tiga puluh ribu rupiah?" tanyaku dengan suara pelan saat ibu tersebut menyajikan sepiring nasi dan ikan bakar di mejaku.
"Anda orang kota yang diceritakan Pak Parman?" selidiknya. Aku mengangguk.
"Sebentar lagi Pak Parman akan menuju tempat yang paling dia sukai"
"Di rumah?" tanyaku, bukankah di hari nan panas ini memang lebih enak berada di rumah. Apalagi rumah Pak Parman memang dingin karena banyaknya pohon rindang yang menaungi rumahnya.
Wanita paruh baya tadi menggeleng pelan.
===
Aku mengikuti Pak Parman melangkah. Mungkin memang tindakanku terkesan lancang. Namun rasa penasaranku membuatku tetap mengikuti langkah  lelaki tua buta tersebut. Kubaca sebuah plang tua bertuliskan 'Panti Asuhan Rasa Asih'. Dari luar rumah tersebut tampak asri dan dikelilingi kebun yang hijau.
"Assalamualaikum..."Suara getar Pak Parmin membuat wanita paruh baya dari dalam rumah panti tersebut bergegas keluar.
"Waalaikumsalam" jawab wanita paruh baya itu, kuduga dia adalah pemilik dan pengasuh panti.
"Bagaimana kabar anak-anak?"
"Baik, semuanya sehat. Bagaimana kabar Kang Parman?"
"Ya, bisa kaulihat, aku masih segar bugar" kudengar suara tawa pelan meluncur dari bibir Pak Parman. Tawa bahagia yang tak pernah kulihat sejak pertama kali bertemu dengannya.
"Panti ini...ah rasanya baru kemarin saja aku meninggalkannya" kenang Pak Parman.
"Ya, kau dan aku dibesarka di panti yang indah ini"
Kulihat rumah panti tersebut tidak terlalu besar dan  namun masih terawat dengan baik. Cat dindingnya berwarna kuning memudar. Entah berapa lama rumah panti tersebut tidak dicat ulang. Namun halamannya bersih dan terkesan menenangkan.
"Ini ada uang buat anak-anak. Tidak banyak hanya tiga puluh ribu rupiah" kata Pak Tua.
"Ini sembilan puluh ribu Kang" kata wanita itu tersenyum girang.
"Kau selalu melebih-lebihkan, kata Yu Darmi itu tiga puluh ribu kok" suara lelaki tua tertawa terkekeh.
Wanita paruh baya sejenak mengernyitkan dahi. Pak Parman selalu mengatakan uang yang dibawanya sedikit, padahal uang yang diberikannya selalu lebih dari cukup untuk menghidupi dua puluh lima anak panti asuhan yang yatim piatu.
"Makasih ya Kang" katanya akhirnya tak peduli lagi. Percuma juga berdebat dengan Pak Tua itu.
"Ya...aku pamit dulu ya, salam buat anak-anak" kata Pak Parman.
"Ya..."
Pak Parman melangkahkan kakinya dibantu tongkat setianya. Melangkah mantap menuju rumahnya. Dengan paras yang berseri-seri. Sungguh aku tidak pernah menjumpai orang yang memberikan semua uangnya untuk membantu orang lain. Ketulusan hati Pak Parman dan Ibu warteg yang kutahu namanya Darmi itu membuatku meneteskan airmata.
Kutuliskan pesan singkat ke ponsel  istriku.
'Ma, aku sudah menemukan orang yang akan kita ajak haji plus tahun depan'
End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H