"Kok tadi pagi Pak Parman tidak mampir sarapan?" tanya wanita paruh baya itu.
"Semalam ada orang kota yang menginap di rumah. Katanya mobilnya mogok dan dia belum bisa menemukan bengkel. Dia bawa banyak roti, jadilah aku sarapan roti tadi pagi"
"Wah mirip orang bule ya sarapan roti" goda wanita paruh baya itu, "Lagipula mana ada bengkel di desa seperti ini. Tapi anak Pak Kosim sepertinya bisa memperbaiki mobilnya. Kan anak Pak Kosim pernah bekerja di kota sebagai montir"
"Ya, tadi pagi kedua anak Pak Kosim sudah bertemu orang kota itu" kata Pak tua yang buta, "Oh ya ini uang hasil jualanku hari ini. Alhamdulillah dagangannya laris. Ambil sendiri ya setorannya, jangan lupa uang makan siang ini"
Wanita paruh baya tersebut mengambil semua uang yang di ulurkan Pak Tua, menghitungnya. Lalu menggantinya dengan selembar uang lima puluh ribu rupiah dan dua lembar uang dua puluh ribu rupiah.
"Berapa sisanya Yu Darmi?" tanya Pak Tua.
"Tiga puluh ribu rupiah. Itu uangnya sepuluh ribuan ya Pak" kata wanita itu menyerahkan uang sejumlah sembilan puluh ribu rupiah ke tangan Pak Tua.
Dengan senyum sumringah Pak Tua mengantongi uang tersebut dan melanjutkan makan siangnya.
Aku yang berada tak jauh dari tempat duduk Pak Tua dibuat terbengong dengan sikap Ibu penjaga warteg itu.
"Bu, bukankah tadi ibu memberikan uang sembilan puluh ribu rupiah. Mengapa ibu mengatakan uang tersebut hanya tiga puluh ribu rupiah?" tanyaku dengan suara pelan saat ibu tersebut menyajikan sepiring nasi dan ikan bakar di mejaku.
"Anda orang kota yang diceritakan Pak Parman?" selidiknya. Aku mengangguk.