Raja terakhir penentu kelulusan perkuliahan kini mesti turun tahta. Hal ini sejalan dengan kebijakan baru yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, bahwa skripsi tidak wajib. Skirpsi tidak lagi menjadi syarat kelulusan.
Sontak, kabar ini menjadi kabar gembira bagi mahasiswa. Pasalnya, ada ragam dan pilihan cara untuk meraih gelar sarjana tanpa adanya lika-liku drama perskripsian.
Sayangnya, kebijakan ini tidak bersifat mutlak dan dikembalikan lagi pada pihak kampus. Tiap jurusan dan kepala program studi berhak untuk menentukan tugas akhir yang lebih relevan dengan program studinya.Â
Kebijakan ini pun akhirnya menimbulkan pro-dan kontra bagi mahasiswa, dosen, universitas, hingga masyarakat.Â
Lantas, bagaimana sih esensinya skripsi dalam 4 lini kehidupan ini?
Mengapa Sulit Menuntaskan Skripsi? Tidak Wajib, Akankah Lebih Mudah Jadi Sarjana?
Bahkan, banyak yang rela drop out karena tidak mampu menuntaskan skripsi. Fenomena ini, mungkin yang jadi pertimbangan mengapa skripsi kini tidak lagi menjadi penentu kelulusan.Â
Ada beberapa faktor yang menyebabkan skripsi sulit sekali dituntaskan. Pertama, mulai dari mahasiswa yang tidak memahami apa yang seharusnya diteliti, sulitnya berdiskusi dengan dosen pembimbing, hingga masalah internal dalam kehidupannya.
Alhasil, skirpsinya terbengkalai dan mahasiswa itu menjadi mahasiswa veteran bahkan drop out. Selain itu, meskipun berkuliah di universitas negeri biayanya jauh lebih terjangkau biaya seperti print draft skripsi dan lain-lain mesti ditanggung mandiri.
Beberapa curhatan teman beberapa waktu lalu saat menuntaskan skripsi, banyak yang kehabisan uang jajan. Bahkan, uang jajannya lebih banyak dialokasikan untuk penuntasan skripsi.Â
Oleh karena itu, mencari pendapatan tambahan mesti dilakukan. Mulai dari menjadi tutor privat hingga bekerja secara freelance.Â
Kebijakan skripsi tidak lagi jadi syarat diharapkan mampu memberikan fleksibilitas yang menguntungkan bagi banyak pihak.Â
Program studi diharapkan mampu menyusun tugas akhir yang relevan, bermanfaat, dan sesuai dengan karakteristik ataupun visi/misi jurusannya.Â
Joki Skripsi hingga Manfaat Menulis Skripsi Bagi Mahasiswa
Mulai dari joki, meskipun harganya mahal nyantanya ramai peminat. Di beberapa layanan penyedia joki yang tersebar di sosial media misalnya, joki skripsi dari BAB 1-5 dibanderol hingga harga 5 juta rupiah.
Bukan angka yang murah dan sedikit untuk ukuran mahasiswa. Namun, jikalau sudah kepepet harga 5 juta rupiah bukan jadi peroalan. Demi memiliki gelar sarjana, Begitupun dengan akusisi tugas akhir mahasiswa menjadi karya/hak milik dosen.Â
Hal ini jadi bukti bahwa skripsi bukan hanya sekadar menulis ilmiah. Melainkan bagaimana membentuk suatu kerangka berpikir logis yang utuh.Â
Kini, kebijakan skripsi tidak wajib menjadi syarat kelulusan. Khususnya bagi mahasiswa S1, begitupun dengan mahasiswa S2 dan S3 yang kini tidak lagi wajib menerbitkan jurnal ilmiah.Â
Sayangnya, meskipun skripsi tidak lagi jadi syarat kelulusan bukan berarti kecurangan dalam dunia pendidikan akan hilang. Joki tugas akhir akan tetap bermunculan. Mereka hanya sekadar berganti nama.Â
Ini jadi bukti bahwa begitu sulitnya dan butuh perjuangan dalam penuntasan skripsi. Skirpsi juga menyimpan begitu banyak manfaat. Baik bagi mahasiswa, kampus, hingga lingkungan sekitar.
Bagi mahasiswa, meskipun amat menjengkelkan bukan rahasia umum lagi bahwa dengan skripsi ia telah terlatih cara dan pola pikirnya. Bagaimana menyusun sebuah laporan secara sistematis yang dapat diakui kredibilitasnya.Â
Skripsi juga menjadi rujukkan keilmuwan baru bagi universitas. Selain itu, bagi mahasiswa yang menjalankan skripsinya dengan metode pengembangan dampaknya dapat terasa langsung oleh masyarakat.Â
Tugas Akhir Dilimpahkan Pada Prodi, Bagaimana Menjamin Mutu dan Kualitasnya?
Kini penentuan kelulusan dilimpahkan pada keputusan program studi. Apakah tetap akan menggunakan sistematika seperti menulis skripsi kemudian disidangkan atau menggunakan mekanisme lain.
Sejatinya, menggunakan mekanisme lain pun tidak masalah. Asalkan mutu dan kualitasnya harus mampu bersaing. Terutama pada daerah-daerah tertentu yang memiliki perbedaan karakteristik yang cukup jauh.
Hal ini, perlu diperhatikan agar tidak digampangkan oleh mahasiswa dan menjamin kualitas lulus tetap mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan industri dunia kerja.Â
Oleh karena itu, tetap diperlukan sebuah tolak ukur jenis tugas akhir apa yang layak dijadikan sebagai syarat kelulusan. Sebab menyusun PPT saja pun bisa dijadikan syarat kelulusan.Â
Harapannya dengan adanya kebijakan ini bukannya menciptakan lulusan yang timpang secara skill. Namun, merdeka belajar, intelektual, dan tentunya tetap berkualitas.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI