Mohon tunggu...
Eka Irawan F Saragih
Eka Irawan F Saragih Mohon Tunggu... Petani - Petani Muda

Once is not enough, it's just as high as we can count

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Reforma Agraria, Pemindahan Ibu Kota, dan RUU Pertanahan

18 Oktober 2019   17:11 Diperbarui: 18 Oktober 2019   18:05 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2020 mendatang, genap Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) akan berumur 60 tahun, tapi perselisihan negara dengan masyarakat tentang pertanahan masih saja dan terus terjadi hingga detik ini. 

UUPA hadir atas gerakan yang diciptakan secara berkelompok, kolektif dan radikal oleh aktivis lingkungan yang mengusung cita-cita keadilan lingkungan dan bekerja di akar rumput bersama aliansi kelompok pejuang keadilan agraria (Tsing; Lowe 2006).

Diawali dari gerakan masyarakat tani yang akhirnya memunculkan beberapa organisasi legal seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Persatuan Tani Nasional Indonesia (Pertani) dan Persatuan Tani Nahdlatul Ulama (Pertanu) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Partai Nahdlatul Ulama) mereka bersama-sama hadir untuk mendukung program "Reforma Agraria".

Hingga akhirnya perjuangan tersebut menghasilkan sebuah produk bernama Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960 di bawah presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. UUPA dibuat untuk menghapuskan "dualisme hukum agraria" yang didasari pengaturan yang berbeda atas kategori warga negara berdasarkan pembagian ras sebagai rujukan pelaksanaan "Reforma Agraria".

Prinsip UUPA yang mengakui bahwa ada pembatasan luas maksimum penguasaan tanah pertanian, properti, pertambangan dan lain sebagainya mulai diabaikan oleh Soeharto setelah resmi menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. 

Semenjak tahun 1967, kebijakan dan perundang-undangan "sektoral" yang mengatur kehutanan, petambangan dan pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan, berhasil memusatkan kewenangan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam serta membuatnya menjadi kawasan hutan negara dan perkebunan. 

Semua itu diatur oleh pemerintah dengan beragam pengaturan pajak, pungutan dan aturan keuangan lain.

Selain itu, undang-undang sektoral pengelolaan sumberdaya alam ini tidak mengakui UUPA sebagai undang-undang payung yang telah disusun terlebih dahulu. 

Sebagai gantinya, semua pemusatan itu dibenarkan dengan mengedepankan tafsir yang berlebihan atas Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 di mana negara memiliki kedaulatan atas wilayah nasional dan seluruh tanah dan sumberdaya di dalamnya (Moniaga 1997; Zerner, 1992).

Lebih jauh lagi, Soeharto juga mengeluarkan UU PMA (Penanaman Modal Asing) yang akhirnya menciptakan beberapa konsensus pertambangan, perkebunan dan konsensus lainnya yang disepakati antara investor dan negara.

Tentu saja hal tersebut sangat berdampak buruk bagi masyarakat umum, masyarakat adat dan para petani yang memiliki hak atas tanah. Pemerintah memaksakan kehendaknya dan menggunakan kekuasaannya untuk memberikan tanah-tanah kepada para investor dan beberapa perusahaan nasional. 

Hal tersebut akhirnya menimbulkan "counter movements" di berbagai daerah Indonesia oleh seluruh elemen masyarakat dari mulai kaum terpelajar, buruh tani, hingga masyarakat umum sampai akhirnya meledak pada tahun 1998 dalam agenda "reformasi".

Setelahnya, demokrasi baru mulai diterapkan di Indonesia pada setiap lini kehidupan, termasuk dengan mengeluarkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam (PA-SDA) yang diharapkan akan kembali menguatkan kedudukan UUPA dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia setelah lama dipeti-eskannya UUPA pada era orde baru.

Bagai pungguk merindukan sang bulan, hingga detik ini prinsip reforma agraria tidak pernah dilaksanakan dengan baik. Land reform dan access reform yang seharusnya dihadirkan pemerintah kepada masyarakat untuk menghasilkan reforma agraria tidak pernah diwujudkan. 

Penerapan UU PLP2B (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) yang dalam hal ini RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) sebagai penunjang reforma agraria juga tidak mampu dijalankan dengan baik.

Berdasarkan catatan Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hanya sekitar 51% provinsi yang sudah memiliki Perda RTRW. Tentu saja angka tersebut sangat jauh dari harapan.

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan untuk lahan-lahan pertanian yang sewaktu-waktu dapat digusur dengan dalih "pembangunan" dan "kepentingan bersama untuk meningkatkan rente ekonomi", akan lebih berbahaya lagi ketika baru-baru ini pemerintah mengumumkan untuk melakukan pemindahan ibu kota negara.

Pemindahan ibu kota negara tentu akan memakan banyak lahan guna kepentingan pembangunan kantor-kantor lembaga negara serta perumahannya. Diperkirakan ibu kota baru akan memakan lahan sekitar 180.000 -- 225.000 ha untuk pembangunan secara bertahap, 40.000 ha akan diambil dari lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dipegang oleh Sukanto Tanoto melalui PT ITCI Hutani Manunggal (IHM).

Sisanya diambil dari kawasan hutan yang akan sesegera mungkin diubah statusnya oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Lambat laun masyarakat adat akan mulai tersingkirkan akibat pemindahan ibu kota negara, mengingat sebagian besar mereka bergantung pada lahan-lahan hutan yang selama ini dijadikan sumber penghidupan untuk bercocok tanam, mencari kayu dan sumber penghidupan lainnya.

Pemindahan ibu kota baru, digadang-gadang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,6%. Bappenas memproyeksikan bahwa akan terjadi peningkatan lapangan kerja secara nasional sebesar 1% dan nilai investasi riil nasional akan meningkat 4,7% karena ibu kota baru bukan berfokus pada manufaktur, melainkan properti. 

Hal itu terjadi karena pembiayaan pemindahan ibu kota dilakukan melalui 4 sumber, APBN untuk infrastruktur seperti kantor pemerintahan dan parlemen, BUMN untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk infrastruktur lain dan Swasta untuk pembiayaan properti seperti perumahan dan fasilitas komersil.

Lain hal dengan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyatakan bahwa pemindahan ibu kota negara tidak memiliki dampak kenaikan PDB riil sama sekali untuk Indonesia. 

Walaupun terjadi peningkatan lapangan kerja nasional sebesar 1%, 217.638 rumah tangga usaha pertanian di kalimantan timur akan terancam statusnya, mengingat lahan-lahan mereka bisa saja merupakan lahan yang masuk dalam perencanaan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur guna kebutuhan ibu kota baru.

Jumlah rumah tangga usaha pertanian yang mencapai 217.638 tersebut, merupakan rumah tangga usaha pertanian yang mengusahakan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan , kehutanan dan jasa penunjang pertanian. Rincian untuk tanaman pangan dibagi menjadi 2, yaitu padi dan palawija.

Begitu pula untuk perikanan dan kehutanan yang dibagi menjadi budidaya ikan dan penangkapan ikan, lalu kehutanan dibagi menjadi budidaya tanaman kehutanan dan kehutanan lainnya. 

Angka tersebut didominasi oleh perkebunan dengan total 55.995 dan disusul oleh tanaman pangan padi dengan total 28.988 dengan nilai rata-rata luas lahan yang dikuasai oleh masing-masing rumah tangga usaha pertanian yang hanya mencapai 19.877 m2 atau berbanding jauh dengan lahan yang dikuasai Sukanto Tanoto.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Polanyi, disebutkan bahwa tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditas. Polanyi mengistilahkannya sebagai fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). 

Menurut Polanyi, memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat dan kemudian akan memunculkan gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. 

Gerakan tandingan (counter movement) yang dimaksud adalah gerakan untuk menghadang ekspansi pasar dari dinamika masyarakat modern yang diatur oleh gerakan ganda (double movement).

Evolusi sistem pasar yang terjadi selama bertahun-tahun dikemukakan oleh Polanyi dengan membalikkan prinsip resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar kapitalis, "bukanlah ekonomi yang melekat dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosiallah yang melekat dalam sistem ekonomi kapitalis itu". 

Pasar kapitalis memiliki kekuatan yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri, tetapi sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negaralah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis itu dapat bekerja.

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. 

Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah, dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan.

Proses ini disebut sebagai The Process of Creative Destruction (Schumpeter, 1976). Masyarakat adat, adalah subjek yang akan tergusur dan dihukum mati oleh sistem kapitalis. 

Mereka adalah masyarakat yang tidak efisien bila dibandingkan dengan masyarakat modern dalam kaitan dinamika ekonomi, lalu bukan tidak mungkin lambatlaun masyarakat adat akan hilang dari tanahnya sendiri. 

Perampasan hak tanah masyarakat adat merupakan suatu keniscayaan yang coba dilegalkan oleh pemerintah, hak masyarakat adat yang dijamin dalam UUPA dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang hak tanah sudah tidak diperhatikan lagi. Agenda reforma agraria hanya menjadi janji-janji politik untuk mendulang elektabilitas dan popularitas.

Lahan basah elektabilitas tersebut tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para politisi untuk terus melanggengkan kekuasaan dengan tidak melaksanakan dan merealisasikan janji-janjinya agar terus bisa dijadikan jualan elektabilitas dan popularitas. 

Dengan sedikit manipulasi, janji-janji tentang reforma agraria yang tidak dapat direalisasikan tersebut akhirnya coba digantikan dengan dalih "pembangunan" dan "peningkatan ekonomi" karena ketiga hal tersebut sering bertolak belakang dalam pelaksanaannya. 

RUU Pertanahan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR sebagai lex specilias dari UUPA harus dikawal dengan terus dikritisi. RUU Pertanahan seperti berada di persimpangan jalan antara mendukung atau malah menghambat reforma agraria.

Hal tersebut dibuktikan dengan konsideran yang memperhatikan UUPA, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal lain yang mendukung agenda reforma agraria.

Namun diiringi dengan batang tubuh yang dapat menghambat reforma agraria dengan beberapa pasal seperti, pendaftaran tanah yang hanya dimaknai tertib administrasi atau dalam hal ini sertipikasi, hak atas tanah yang lebih menguntungkan korporasi besar dengan pengeluaran izin HGU hingga 90 tahun lamanya.

Tidak dikuatkannya nilai-nilai kearifan masyarakat adat yang mengatur relasi antar manusia dengan alam (tanah) yang kerap tergusur oleh ekspansi perusahaan, serta proses penyelesaian konflik agraria yang masih sangat legalistik dengan membentuk pengadilan pertanahan tanpa mengedepankan proses pendekatan sosial dan hanya mementingkan legal formal dengan hukum positif semata.

Penggunaan pengadilan pertanahan, bukan tidak mungkin malah menjadi senjata bagi pemerintah dalam mengambil Hak Tanah yang dimiliki masyarakat. Proses pengadilan dengan mengedepankan tafsir hukum positif, akan sangat memudahkan pemerintah dalam mengambil tanahnya kembali dengan dalih "pembangunan" dan "kepentingan bersama". 

Perampasan Hak Tanah yang dimiliki masyarakat adat, TORA serta masyarakat umum pemegang sertipikat yang coba dilegalkan melalui RUU Pertanahan malah melencengkan prinsip demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat yang akhirnya berganti menjadi dari, oleh dan untuk pemerintah.

Manusia memang tidak pernah puas dan cenderung mementingkan dirinya sendiri, sayangnya kebutuhan manusia itu tidak pernah habis dan sarana pemenuhannya terbatas. Hal tersebut justru hanya menjadikan masyarakat kecil semakin tertindas, lalu akan tiba giliran anda tergusur dan mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun