Mohon tunggu...
Eka Irawan F Saragih
Eka Irawan F Saragih Mohon Tunggu... Petani - Petani Muda

Once is not enough, it's just as high as we can count

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Reforma Agraria, Pemindahan Ibu Kota, dan RUU Pertanahan

18 Oktober 2019   17:11 Diperbarui: 18 Oktober 2019   18:05 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses ini disebut sebagai The Process of Creative Destruction (Schumpeter, 1976). Masyarakat adat, adalah subjek yang akan tergusur dan dihukum mati oleh sistem kapitalis. 

Mereka adalah masyarakat yang tidak efisien bila dibandingkan dengan masyarakat modern dalam kaitan dinamika ekonomi, lalu bukan tidak mungkin lambatlaun masyarakat adat akan hilang dari tanahnya sendiri. 

Perampasan hak tanah masyarakat adat merupakan suatu keniscayaan yang coba dilegalkan oleh pemerintah, hak masyarakat adat yang dijamin dalam UUPA dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang hak tanah sudah tidak diperhatikan lagi. Agenda reforma agraria hanya menjadi janji-janji politik untuk mendulang elektabilitas dan popularitas.

Lahan basah elektabilitas tersebut tentu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para politisi untuk terus melanggengkan kekuasaan dengan tidak melaksanakan dan merealisasikan janji-janjinya agar terus bisa dijadikan jualan elektabilitas dan popularitas. 

Dengan sedikit manipulasi, janji-janji tentang reforma agraria yang tidak dapat direalisasikan tersebut akhirnya coba digantikan dengan dalih "pembangunan" dan "peningkatan ekonomi" karena ketiga hal tersebut sering bertolak belakang dalam pelaksanaannya. 

RUU Pertanahan yang saat ini sedang dibahas oleh DPR sebagai lex specilias dari UUPA harus dikawal dengan terus dikritisi. RUU Pertanahan seperti berada di persimpangan jalan antara mendukung atau malah menghambat reforma agraria.

Hal tersebut dibuktikan dengan konsideran yang memperhatikan UUPA, TAP MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal lain yang mendukung agenda reforma agraria.

Namun diiringi dengan batang tubuh yang dapat menghambat reforma agraria dengan beberapa pasal seperti, pendaftaran tanah yang hanya dimaknai tertib administrasi atau dalam hal ini sertipikasi, hak atas tanah yang lebih menguntungkan korporasi besar dengan pengeluaran izin HGU hingga 90 tahun lamanya.

Tidak dikuatkannya nilai-nilai kearifan masyarakat adat yang mengatur relasi antar manusia dengan alam (tanah) yang kerap tergusur oleh ekspansi perusahaan, serta proses penyelesaian konflik agraria yang masih sangat legalistik dengan membentuk pengadilan pertanahan tanpa mengedepankan proses pendekatan sosial dan hanya mementingkan legal formal dengan hukum positif semata.

Penggunaan pengadilan pertanahan, bukan tidak mungkin malah menjadi senjata bagi pemerintah dalam mengambil Hak Tanah yang dimiliki masyarakat. Proses pengadilan dengan mengedepankan tafsir hukum positif, akan sangat memudahkan pemerintah dalam mengambil tanahnya kembali dengan dalih "pembangunan" dan "kepentingan bersama". 

Perampasan Hak Tanah yang dimiliki masyarakat adat, TORA serta masyarakat umum pemegang sertipikat yang coba dilegalkan melalui RUU Pertanahan malah melencengkan prinsip demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat yang akhirnya berganti menjadi dari, oleh dan untuk pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun