Hal tersebut akhirnya menimbulkan "counter movements" di berbagai daerah Indonesia oleh seluruh elemen masyarakat dari mulai kaum terpelajar, buruh tani, hingga masyarakat umum sampai akhirnya meledak pada tahun 1998 dalam agenda "reformasi".
Setelahnya, demokrasi baru mulai diterapkan di Indonesia pada setiap lini kehidupan, termasuk dengan mengeluarkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam (PA-SDA) yang diharapkan akan kembali menguatkan kedudukan UUPA dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia setelah lama dipeti-eskannya UUPA pada era orde baru.
Bagai pungguk merindukan sang bulan, hingga detik ini prinsip reforma agraria tidak pernah dilaksanakan dengan baik. Land reform dan access reform yang seharusnya dihadirkan pemerintah kepada masyarakat untuk menghasilkan reforma agraria tidak pernah diwujudkan.Â
Penerapan UU PLP2B (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) yang dalam hal ini RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) sebagai penunjang reforma agraria juga tidak mampu dijalankan dengan baik.
Berdasarkan catatan Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hanya sekitar 51% provinsi yang sudah memiliki Perda RTRW. Tentu saja angka tersebut sangat jauh dari harapan.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan untuk lahan-lahan pertanian yang sewaktu-waktu dapat digusur dengan dalih "pembangunan" dan "kepentingan bersama untuk meningkatkan rente ekonomi", akan lebih berbahaya lagi ketika baru-baru ini pemerintah mengumumkan untuk melakukan pemindahan ibu kota negara.
Pemindahan ibu kota negara tentu akan memakan banyak lahan guna kepentingan pembangunan kantor-kantor lembaga negara serta perumahannya. Diperkirakan ibu kota baru akan memakan lahan sekitar 180.000 -- 225.000 ha untuk pembangunan secara bertahap, 40.000 ha akan diambil dari lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dipegang oleh Sukanto Tanoto melalui PT ITCI Hutani Manunggal (IHM).
Sisanya diambil dari kawasan hutan yang akan sesegera mungkin diubah statusnya oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Lambat laun masyarakat adat akan mulai tersingkirkan akibat pemindahan ibu kota negara, mengingat sebagian besar mereka bergantung pada lahan-lahan hutan yang selama ini dijadikan sumber penghidupan untuk bercocok tanam, mencari kayu dan sumber penghidupan lainnya.
Pemindahan ibu kota baru, digadang-gadang mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,6%. Bappenas memproyeksikan bahwa akan terjadi peningkatan lapangan kerja secara nasional sebesar 1% dan nilai investasi riil nasional akan meningkat 4,7% karena ibu kota baru bukan berfokus pada manufaktur, melainkan properti.Â
Hal itu terjadi karena pembiayaan pemindahan ibu kota dilakukan melalui 4 sumber, APBN untuk infrastruktur seperti kantor pemerintahan dan parlemen, BUMN untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk infrastruktur lain dan Swasta untuk pembiayaan properti seperti perumahan dan fasilitas komersil.
Lain hal dengan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyatakan bahwa pemindahan ibu kota negara tidak memiliki dampak kenaikan PDB riil sama sekali untuk Indonesia.Â