Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dikatakan atau Tidak, Tetap Saja Ku Sebut (Kamu) Cinta

28 September 2024   12:59 Diperbarui: 28 September 2024   13:11 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan terakhir kita bertemu?"

Aku mengeja pertanyaanmu yang muncul di direct message Instagram kala suatu siang memutuskan untuk menyapamu setelah sembilan tahun tidak bersua atau pun berbagi cerita mengenai banyak hal. Bersyukur hidup di era teknologi memberi kemudahan bagiku menemuimu kembali lewat akun sosial media yang dulu kita tak saling terhubung 

-- tapi diam-diam aku mengukir nama sosial media milikmu dalam ingatanku. Menelusuri postingan ketika namamu kerap terlintas di benakku. Barangkali postinganmu adalah jawaban atas keresahanku untuk memberitahu bahwa kau baik-baik saja.

Aku yang tidak baik-baik saja. Rasa sepiku menghadirkan sesak dalam kesunyian malam-malamku mengingat namamu kembali. Pada akhirnya membawaku memberanikan diri menyapamu, memastikan masih adakah sisa kenangan di benakmu tentangku ; tentang kita.

Jemariku gamang mengetik huruf -huruf di keypad ponsel  di antara pikiran yang membeku dan mulut yang kelu. Terpaku cukup lama pada layar ponsel. Ingatanku kembali pada hari-hari yang pernah kita lewati bersama. Sial. Kenangan terkadang adalah senjata yang menyakitkan, menjelma menjadi duri yang tak terlihat. Perih terperosok pada rindu yang tak ada bosannya.

"Entahlah. Seingatkanku kala menghadiri festival film di TIM. 2012 lalu,"

Butuh waktu hitungan menit untuk memutuskan menanggapi pertanyaanmu. Memilih kata yang tepat. Berharap menerima kalimat panjangmu tentang ingatan pertemuan terakhir tersebut.

" Lama juga."

Iya. Gumanku dalam hati. Sungguh sebuah jawaban yang tak kuharapkan.

 Aku membayangkan kamu ada di sisiku seolah-olah kata itu keluar dari mulutmu dengan suara lirih. Kemudian bermain dalam diam dan menikmati suara deru kendaraan yang melintasi jalan raya ketika berada di teras toko buku. Seperti yang kerap kita lakukan dahulu kala itu.

Sementara tak ada tanda-tanda kelanjutan obrolan dunia maya tersebut, aku menarik napas kemudian mengembuskan perlahan - lahan seraya memejamkan mata. 

Dan... aku masih saja terpuruk dalam perasaan rindu yang mengebu-ngebu. Logikaku berteriak,"Jangan dulu!". Ya, jangan dulu menerormu dengan pesan penuh kerinduan.

****

Seminggu berlalu sejak sapaan setelah sembilan tahun tak lagi saling bercerita. Pada asa akan sapaanmu kembali muncul di pagiku nan sendu seperti dahulu kala. Aku masih menunggu dan belum ada kebosanan terhadapan hal tersebut. Menantimu dengan cerita manis yang menjadi impianku selama ini. Sejatinya cinta yang digambarkan ; manis.

Jemariku kembali menelusuri tweet gombalan yang pernah kamu tujukan kepadaku sembilan tahun silam. Kalimat rindu yang kamu rangkai membuatku tersenyum membacanya kembali. Barangkali, kenangan juga dapat menjelma sebagai obat yang meredakan perasaan sesak terperosok pada rindu.

Kalau ada batu bata, ingin ku ukir kalimat 'I Miss You' dan akan kulempar ke kamu @Gitaamira. Biar tahu rasa sakitnya menahan rindu

Sembilan tahun lalu, kamu me-mention-ku dengan kalimat gombalan yang tak pernah kamu ucapkan setiapkali kita menghabiskan waktu bersama. Aku ingat masa - masa itu adalah ketika kesibukan merampas waktu kebersamaan kita. Pada mimpi realitis yang harus dicapai kala itu sebagai makhluk sosial. Kita memilih jalan yang berbeda dalam melangkah.

****

Salah satu alasan seseorang menjauh adalah mungkin perasaan cinta yang mengikat terlalu dalam. Aku bagian dari mereka yang memilih jalan tersebut. Berjalan menjauh dari duniamu dengan kesadaran penuh akan cinta sepihak.

Kita tak pernah berbicara cinta dalam setiap kesempatan bersua. Obrolanmu tak lepas segala hal tentang hal -hal yang populer saat itu dan diskusi pencapaian yang ingin diraih. Tentang film yang ingin kamu nikmati, tentang buku yang ingin kamu miliki dan kesuksesan yang kamu ukir suatu hari bisa merasakan kehidupan global di negara orang.

Kamu tak pernah berbicara mengenai cinta. Ingatanku kembali pada suatu senja kala itu. Di sisiku kamu diam membisu. Menikmati suara kereta di pengujung senja, menit-menit melepas kepergianmu . Dua hari sebelumnya, aku sempat menulis surat cinta tentang perasaanku kepadamu yang ku kirim ke email-mu. Sesuatu yang tak mungkin kamu abaikan. Sebab setiap hari kamu selalu memeriksa email masuk. Tak mungkin berlabuh ke spam, karena terkadang kita kerap berkomunikasi lewat email.

Kamu tak pernah membahasnya meskipun aku membanjirimu dengan kata-kata tentang perasaan buncah akan romantisme cinta. Kamu tetap bermain dalam diam setiap kali kita berjumpa. Tak sekalipun menyinggung dan tetap menghadir kenyamanan mengiringi langkahku menikmati debu jalanan ibukota.

Barangkali bukan kesibukan yang membuat waktu bersua denganmu menguap begitu saja, tapi keputusanku untuk beranjak pergi darimu ketika cinta ini mencengkeram erat di hati. Aku tak ingin terluka sendirian. Memahami fakta bahwa tak ada aku di dua bola matamu saja sudah cukup mengecewakan, apalagi penolakan cinta sepihak yang kubayangkan akan menyisakan kesedihan.

****

Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat ketika kenangan itu kembali hadir di benakku. Dalam sembilan tahun memutuskan tak lagi terhubung dengan duniamu. Sialnya kamu pernah menyapaku dalam tidur nyenyakku.

"Jika kamu berpenampilan mengunakan rok, aku akan mempertimbangkanmu," ujar kamu dalam mimpi tersebut.

Aku terdiam tatkala terbangun. Memikirkan kalimatmu. Selama masa pertemuan kita, kamu tak pernah protes dengan penampilanku yang memang nyaman mengenakan celana panjang. Terkesan tomboi namun tak mengurangi sisi lembutku sebagai perempuan yang manja. 

Kemunculanmu dalam mimpiku akhirnya membawaku menelusuri jejak digital dirimu di sosial media. Membangkitkan kembali ingatan kala menghabiskan hari-hari bersamamu --yang seharusnya terlupakan. Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu lewat pesan pribadi di sosial mediamu namun membeku dalam pikiran; pernahkah aku menyisakan kesan yang berarti di hatimu selama kita bersama? 

Oh Tidak. Maksudku pernahkah kamu merindukanku selama sembilan tahun ini?

Bibirku kelu tatkala membaca balasan darimu. Cara kamu menulis pesan masih saja meninggalkan kesan yang sama. Kamu memperhatikan penempatan huruf penggunaan kapital dan imbuhan dengan baik. 

Kesan yang sama namun tidak sehangat dulu membuatku ragu untuk bersiap membanjirkanmu dengan ungkapan kerinduan menghabiskan waktu bersamamu. Menyampaikan keinginan untuk melangkah bersama kembali, namun logikaku kembali menahan. 

"Jangan dulu!"

****

Kamu pernah mengajakku bersama mempelajari bahasa asing yang kuabaikan begitu saja. Kala itu masa dimana aku memutuskan benar-benar tak ingin terlibat dalam duniamu ketika menyadari bahwa tak ada aku dalam prioritasmu. Merasakan cinta sepihak sungguh tidak mengenakan. 

Membaca tulisan di blog-mu usai pertemuan kita di Taman Ismail Marzuki (TIM), kamu bercerita mengenai perempuan lain. Itu sudah cukup bagiku untuk pergi sejauh mungkin dari duniamu. Aku tak ingin terluka terlalu dalam jika suatu waktu kamu berbicara tentang perempuan lain dari mulut mungilmu.

Barangkali aku yang belum siap melewati fase perasaan mengebu-ngebu tentang cinta kala itu. Terjerat pada romantisme yang manis yang diagungkan banyak orang. Aku lupa bahwa cinta seharusnya diperjuangkan, bukan menyerah dalam diam dan pergi begitu saja. Sementara kamu menempatkan aku pada posisi seseorang yang kamu jaga dengan baik selama waktu bersama.

Sahabat adalah ...

Cerita terindah yang dititipkan Tuhan dalam hidupmu

Yang harus kau jaga untuk selamanya

Mengaliri waktu bersama

Yang harus kau rawat dengan pupuk kepercayaan 

Pengujung malam di sebuah kamar kosan yang tidak terlalu luas, aku masih terpuruk saja dalam kenangan akan puisimu. Puisi tersebut menjadi alasan kenapa aku masih bertahan di sisimu pada saat itu. Pada sebuah harapan aku adalah orang yang kamu ceritakan pada puisi yang kamu publish di blog-mu. Meskipun pada suatu kesempatan kamu pernah menulis di facebook-ku.

"Aku membuka mata, namum di antara keramaian mataku tak menemuimu."

Membaca komentarmu kala itu, membuatku akhirnya memilih untuk memutuskan pertemanan di dunia maya denganmu. Antara kecewa dan entahlah ... namun, aku tak bisa mengabaikan keinginan menghabiskan akhir pekan bersamamu. Saat itu kamu tidak mempermasalahkan terputusnya hubungan pertemanan di sosial media. Kamu tetap menghadirkan senyum yang menyenangkan setiap kali kita berjumpa.   

****

Berlalunya sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk terus berubah memahami makna cinta. Cinta tak lagi soal dramaqueen, tak lagi romantisme semanis gula dan hal - hal indah ala drama Korea. Pemaknaan cinta bagimu mungkin sudah berubah seiring kedewasaan diri. 

Membawa langkahmu pada sebuah kehidupan yang menyenangkan seperti tergambarkan dalam upload Instagram-mu ; bahagia. Bahwa sejatinya hidup bagimu bukan terpaku pada satu titik perasaan, tapi bagaimana berbenah diri pada realitas kehidupan yang membanggakan.

Semetara, aku sendiri masih terjebak soal hal-hal indah tentang cinta.

Kehangatan yang tak lagi sama dalam setiap kata pada isi pesanmu, membuatku tersadar pada rasa lelah bermain dengan kenangan. Seharusnya sudah terkubur tanpa perlu diingatkan kembali. Aku terpuruk pada penantian akan balasan rindu darimu yang tak ada ujungnya. Sebab bertemu denganmu kembali hanyalah sebatas angan belaka. 

Jarak kita tak sekedar soal posisi keberadaan, tapi juga komunikasi yang telah hilang selama ini. Menjauh. Tak lagi berada di kota sama. Tak lagi ada keakraban hangat seperti dulu.  

Pada akhirnya pemaknaan cintaku kembali kepada Tuhan dan hanya bisa meminta untuk terlepas dari kegelisahan hati pada rindu yang tak tersampaikan dan cinta yang tak terkatakan.

Dikatakan atau tidak, tetap saja ku sebut (kamu) cinta.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun