Iya. Gumanku dalam hati. Sungguh sebuah jawaban yang tak kuharapkan.
 Aku membayangkan kamu ada di sisiku seolah-olah kata itu keluar dari mulutmu dengan suara lirih. Kemudian bermain dalam diam dan menikmati suara deru kendaraan yang melintasi jalan raya ketika berada di teras toko buku. Seperti yang kerap kita lakukan dahulu kala itu.
Sementara tak ada tanda-tanda kelanjutan obrolan dunia maya tersebut, aku menarik napas kemudian mengembuskan perlahan - lahan seraya memejamkan mata.Â
Dan... aku masih saja terpuruk dalam perasaan rindu yang mengebu-ngebu. Logikaku berteriak,"Jangan dulu!". Ya, jangan dulu menerormu dengan pesan penuh kerinduan.
***
Seminggu berlalu sejak sapaan setelah sembilan tahun tak lagi saling bercerita. Pada asa akan sapaanmu kembali muncul di pagiku nan sendu seperti dahulu kala.Â
Aku masih menunggu dan belum ada kebosanan terhadapan hal tersebut. Menantimu dengan cerita manis yang menjadi impianku selama ini. Sejatinya cinta yang digambarkan ; manis.
Jemariku kembali menelusuri tweet gombalan yang pernah kamu tujukan kepadaku sembilan tahun silam. Kalimat rindu yang kamu rangkai membuatku tersenyum membacanya kembali. Barangkali, kenangan juga dapat menjelma sebagai obat yang meredakan perasaan sesak terperosok pada rindu.
Kalau ada batu bata, ingin ku ukir kalimat 'I Miss You' dan akan kulempar ke kamu @Gitaamira. Biar tahu rasa sakitnya menahan rindu
Sembilan tahun lalu, kamu me-mention-ku dengan kalimat gombalan yang tak pernah kamu ucapkan setiapkali kita menghabiskan waktu bersama.Â
Aku ingat masa - masa itu adalah ketika kesibukan merampas waktu kebersamaan kita. Pada mimpi realitis yang harus dicapai kala itu sebagai makhluk sosial. Kita memilih jalan yang berbeda dalam melangkah.