Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamu, dan Cerita yang Belum Usai

6 Desember 2023   00:58 Diperbarui: 18 Desember 2023   20:56 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dokumen pribadi

Bagaimana bisa selesai, kalau memulainya saja aku tidak berani?

"Kamu memiliki mimpi, Ra?"

Aku terdiam mendengar kalimat tersebut. Kedua tanganku berhenti dari kesibukan memberes kertas kertas di meja kami. Ujung mataku menangkap sepasang mata teduh tertuju padaku. Aku menghela nafas seraya memperbaiki posisi duduk dengan benar. 

Memandang sejenak kepada lelaki di depanku yang baru kutemui sekitar 50 menitan lalu -- Tidak. bukan sekitar 50 menit lalu, tapi aku sudah melewati hampir satu dekade memikirkan sosoknya dan merangkai kisah di kepalaku tentangnya --. Maksudku, hari ini kami sudah menghabiskan waktu hampir 50 menit bersama.

"Aku harus pergi!"

Alih - alih mendengar responku terhadap pertanyaannya, ia lebih memilih segera beranjak dan menyandang tas. Rei, begitu aku memanggil lelaki dengan mata teduh tersebut, melambaikan tangan seraya membalikkan badan dan berjalan menjauhiku.

Aku menghela napas. Menaruh kertas yang sudah tersusun rapi disisiku sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. ku raih ponsel pintar yang tergeletak di meja dan memasukinya ke dalam tas. Tak ada alasan untuk berlama - lama di kedai kopi tersebut, kala Rei sudah menghilang dari hadapanku.

****

Aku mengenal Rei lebih dari satu dekade dengan perkenalan tidak sengaja melalui laman blog-nya. Aku jatuh cinta bagaimana ia menggambarkan sebuah persahabatan lewat kata - kata yang tertuang di blognya.

Sahabat adalah orang yang namanya selalu muncul di ingatanmu saat kau membuka mata di pagi hari,

menghiasi siangmu dengan canda tawa, dan meninabobokkan dengan senandung kepercayaan.

Orang yang kau percayakan setiap harimu dengan jejak bersamanya, yang suatu hari nanti akan menyambutmu dengan pelukan kesuksesan.

Sahabat adalah cerita terindah yang pernah dititipkan Tuhan dalam hidupmu, yang harus kau jaga untuk selamanya. Mengaliri waktu bersama,

yang harus kau rawat dengan pupuk kepercayaan, kau siram dengan air kasih sayang.

Untuk selamanya bersama ... kau dan aku.

Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta pada tulisan tersebut seolah-olah aku adalah yang dimaksud. Rangkaian tulisan yang pada akhirnya membuat kami bersua satu sama lain. Aku seperti berada dalam sebuah adegan film yang mengikuti skenario yang ia tulis. Aku adalah bintang utama yang mendampingi langkahnya dalam menjalankan hari-hari.

Dan, aku lupa bahwa di dunia ini, aku bukan penghuni satu-satunya yang bermain peran di dalam kehidupannya.  Ia mencubitku dengan keras lewat tulisannya tentang sepasang mata yang tidak menemuiku. Aku adalah rombongan lalu lalang orang - orang di halte kampus. Tidak lebih.

Sesuatu yang menyakitkan saat khayalan tidak sesuai realitas tapi terabaikan saat mata teduhnya menghampiri seiring senyumnya yang menyapa. Aku tidak mungkin lupa selama satu dekade melewati hari bersamanya. Duduk di teras sebuah toko buku dan bermain dalam diam.

Rei tidak banyak berbagi cerita tentang kehidupan pribadi. Kami memiliki jenis bacaan yang berbeda yang sulit untuk berdiskusi banyak hal. Tapi, ia berbagi tentang rangkaian keinginannya terhadap suatu hal.

" Aku mau belajar bahasa Thailand," ujarnya suatu siang. Saat itu, aku memintanya untuk menghampiriku. Aku merindukannya. tentu saja tidak kukatakan maksudnya. Hanya berkata, bahwa aku ingin bertemu dengannya karena aku butuh bantuan untuk mengoreksi tugas Bahasa Inggrisku.

Aku tidak menanggapi kalimatnya. Seperti biasa kami terpaku pada kesibukan masing - masing. Aku yang sibuk dengan tugas, dan ... ia yang bersenandung pelan. Begitulah hari-hari yang terlewatkan saat bersamanya. 

****

Pertanyaan tentang mimpi membawaku pada perenungan panjang tentang perjalanan bersama Rei. Lima tahun belakangan ini, aku berusaha menurunkan intensitas pertemuan kami. Ketika aku menyadari bahwa hatinya seperti emas di puncak Monas yang tidak bisa ku raih. 

Kami memang kerap bermain dalam keheningan, tapi terkadang rangkaian cerita yang terjadi menyisakan kesan yang mendalam bagiku. Pernah suatu sore ia mengeluh kenapa aku tidak lagi menghubunginya. 

"Aku ingin melemparmu dengan sepatu. Biar kamu tahu rasanya sakit merindukanmu," 

Rei menulis kalimat tersebut di akun twitter seraya menyebut nama akunku. Aku tahu hanya candaan Rei semata untuk mengisi 'kegabutan' di timeline-nya. Tapi, kalimat tersebut membeku dalam ingatanku. Membuatku memiliki keyakinan untuk bisa meraih hatinya.

Aku menatap langit kamar seraya mengenang pertemuan dengan Rei di pengujung sore yang menyisakan pertanyaan. Ia menghampiriku di sebuah warung kopi di lingkungan rumahnya. Sementara menunggu, aku menggambar beberapa storyboard terkait pekerjaan yang ku lakoni saat ini.

Rei datang membantu untuk memeriksa tulisan bahasa inggris yang terdapat pada kertas-kertasku. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan Bahasa Inggris, ia bisa dikatakan sebagai editor pribadiku. 

Tidak seperti biasanya, Rei tidak memintaku untuk membelikannya secangkir coklat panas sebagai imbalan bantuannya. Ia justru membawakan sebuah roti kukus untuk kami nikmati bersama. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama sepuluh tahun pertemanan ini terjalin. Tapi, lagi-lagi Rei masih menyisakan keheningan walaupun sesekali ia berisik dengan kritikan pedasnya terhadap storyboard yang aku buat.

" Kamu memiliki mimpi, Ra?"

Aku memejamkan mata mengingat tatapan mata teduhnya seiring suara adzan yang bergema saat itu. Di sebuah kedai kopi dan semburat senja nan sendu. Pemandangan romansa nan indah untuk sebuah kisah yang masih terombang - ambing.

****

Satu bulan sejak kalimat pertanyaan Rei menemani keresahan dalam hari - hariku, kami belum ada bertemu. Pun dengan komunikasi yang terjalin. Aku tidak berani untuk menyapanya selama aku masih bisa menikmati setiap update sosial media Rei.

Hari ini ditengah gempuran pekerjaan yang melelahkan, aku melarikan diri sejenak ke toko buku. menemui sebuah dunia kebebasan tanpa ada gangguan ocehan yang menyebalkan. Sayangnya, pandanganku cukup terganggu saat Rei melintas di sisiku dari arah berlawan. 

Tak ada sapaan. Ia tetap melaju bersama seorang teman yang tidak pernah ku kenal. Bahkan tidak pernah ku lihat dalam story update-an sosial media milik Rei.

Tanpa senyum dan tatapan mata teduhnya. Aku terpaku sejenak menyakinkan apakah aku salah orang. Tidak. Aku tidak mungkin salah, aku tidak mungkin lupa dengan jam tangan yang ia kenakan. Aku tidak mungkin abai dengan wajahnya yang tersimpan di memoriku. 

Rei mengacuhkan senyumku, seolah kita adalah dua orang asing layaknya seperti pengunjung lain yang lalu lalang begitu saja. 

Aku menggigit bibir bawah. Pada sebuah tanya yang mulai menghampiri tentang sikapnya. Dan, tersadar selama ini Rei tidak pernah mengajakku memasuki ruangan pribadi hidup ; ia tidak pernah bicara soal temannya, tidak pernah menghujani dengan cerita keluarganya hingga pekerjaan yang sedang ia lakukan, bahkan ketika kami sama -- sama berstatus mahasiswa.

****

Aku melihatmu tadi di toko buku. 

Sebuah pesan whatsapp kukirim saat aku sampai di kosan dengan kepenatan raga dan pikiran tentang Rei.  

 Tak ada balasannya hingga pagi datang. Terkirim dan tersisa teracuhkan begitu saja. Pagi berganti ke pagi selanjutnya. Begitu berjalan seterusnya sampai aku melihat update story nya ia tidak lagi berada di langit yang sama. Ia bekerja di tempat dimana taklagi bisa di capai dengan Trans Jakarta. Saat malam tiba, di tempatnya pagi baru beranjak. Jarak yang bisa ku raih jika aku tidak lagi memikirkan uang.

Usiaku tidak lagi berada di awal 20 saat pertama kalinya berjumpa dengan Rei. Jika dulu aku kerap menerornya jika tidak membalas isi pesan atau menghujani dengan rengekan untuk segera mengangkat telponku. 

Usiaku beranjak 30 -an untuk bisa memahami sebuah realitas hubunganku dengan Rei. Meskipun tetap ku sebut ia adalah cinta, tapi baginya aku sekedar satu di antara puluhan orang yang lalu lalang yang melintas di jalanan. Tidak lebih.  

Aku lelah bermain dengan rindu sendiri. Pada akhirnya membuatku (memaksa) melepaskan kisah bersamamu.

Bukan untuk melupakan. Bukan pula untuk mengenang. Tapi merangkai menjadi cerita yang tetap hidup di hati ini.

Sebuah jejak kegundahan ku tulis di story sosial media. Entah Rei menyadari atau tidak ... tetap saja ia adalah pusat dari harapan untuk tetap terus melangkah bersama. Dan, mimpiku adalah berbagi kisah bersamamu, Rei. Tidak lebih.

.

.

Biodata Singkat Penulis 

Nama : Eka Herlina

Profesi : Penulis Lepas

Saat ini tinggal di Padang 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun