****
Pertanyaan tentang mimpi membawaku pada perenungan panjang tentang perjalanan bersama Rei. Lima tahun belakangan ini, aku berusaha menurunkan intensitas pertemuan kami. Ketika aku menyadari bahwa hatinya seperti emas di puncak Monas yang tidak bisa ku raih.Â
Kami memang kerap bermain dalam keheningan, tapi terkadang rangkaian cerita yang terjadi menyisakan kesan yang mendalam bagiku. Pernah suatu sore ia mengeluh kenapa aku tidak lagi menghubunginya.Â
"Aku ingin melemparmu dengan sepatu. Biar kamu tahu rasanya sakit merindukanmu,"Â
Rei menulis kalimat tersebut di akun twitter seraya menyebut nama akunku. Aku tahu hanya candaan Rei semata untuk mengisi 'kegabutan' di timeline-nya. Tapi, kalimat tersebut membeku dalam ingatanku. Membuatku memiliki keyakinan untuk bisa meraih hatinya.
Aku menatap langit kamar seraya mengenang pertemuan dengan Rei di pengujung sore yang menyisakan pertanyaan. Ia menghampiriku di sebuah warung kopi di lingkungan rumahnya. Sementara menunggu, aku menggambar beberapa storyboard terkait pekerjaan yang ku lakoni saat ini.
Rei datang membantu untuk memeriksa tulisan bahasa inggris yang terdapat pada kertas-kertasku. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan Bahasa Inggris, ia bisa dikatakan sebagai editor pribadiku.Â
Tidak seperti biasanya, Rei tidak memintaku untuk membelikannya secangkir coklat panas sebagai imbalan bantuannya. Ia justru membawakan sebuah roti kukus untuk kami nikmati bersama. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama sepuluh tahun pertemanan ini terjalin. Tapi, lagi-lagi Rei masih menyisakan keheningan walaupun sesekali ia berisik dengan kritikan pedasnya terhadap storyboard yang aku buat.
" Kamu memiliki mimpi, Ra?"
Aku memejamkan mata mengingat tatapan mata teduhnya seiring suara adzan yang bergema saat itu. Di sebuah kedai kopi dan semburat senja nan sendu. Pemandangan romansa nan indah untuk sebuah kisah yang masih terombang - ambing.
****