Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Misoginis dan Anti Feminis di Korea Selatan

19 November 2023   00:39 Diperbarui: 21 November 2023   08:35 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik dari kontroversi program Pinggyego dalam channel Youtube “Ddeun Ddeun” yang dipandu oleh Yoo Jae Suk beberapa waktu lalu. Dimana pada acara tersebut mendatangkan bintang tamu artis cantik Park Bo-young. 

Bagi penikmat hiburan Korea, dua nama tersebut bukanlah sesuatu yang asing. Ingatan tentang sosok Yoo Jae Suk tak lepas dari reality show Korea Running Man yang masih populer di tanah air. Sementara itu, Park Bo-young salah satu artis yang membintangi beberapa drama populer dan yang terbaru Daily Dose of Sunshine tayang di Netflix.

Program acara yang disiarkan 3 November yang lalu tersebut berhasil mendapat perhatian hingga mencapai 1,7 juta penonton. Namun, sayangnya juga mendatangkan tombol dislike yang disinyalir berasal dari mereka anti feminis.

Hal ini diduga karena penggunaan ungkapan “yu-ah-cha” (diterjemahkan sebagai baby stroller). Berawal dari pertengahan siaran, ketika Park Bo-young dan Yoo Jae Suk membicarakan tentang stroller dengan sebutan Yu-mo-cha (mommy stroller) . Namun, tim produksi acara membuat caption teks menggunakan istilah Yu-ah-cha

Istilah Yu-mo-cha merujuk pada penggunaan kereta dorong bayi dimaknai sebagai tanggung jawab pada ibu atau perempuan. Sedangkan penggunaan Yu-ah-cha dipilih tim produksi dinilai sebagai sebuah suara feminis bahwa ibu bukan satu-satunya berperan dalam memegang stroller tapi sosok ayah juga berperan.

Feminisme Masih Sulit Diperjuangkan di Korea 

Persoalan kesetaraan gender dan feminis bukanlah perdebatan yang baru di Korea Selatan. Korea menduduki peringkat rendah dalam indeks kesetaraan gender global. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh kultur patriarki masyarakat Korea yang dipengaruhi oleh ajaran Konfusius, terutama terkait pengaturan hubungan.

Namun, meskipun demikian, Korea telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kemajuan sosial dalam beberapa dekade terakhir yang juga berdampak terhadap kesadaran akan isu feminisme serta kesetaraan gender.

Korea | foto :ekahei
Korea | foto :ekahei

Popularitas Korea sebagai negara juga diiringi dengan keberhasilan invasi budaya pop mereka melalui Hallyu atau Korean wave yang diartikan sebagai gelombang Korea. 

Drama Korea (drakor), salah satu produk budaya, merupakan pioner yang membuat mata dunia tertuju ke negeri ginseng tersebut. Kemudian dari drakor merambah ke K-Pop, K-Beauty, K-Fashion, hingga K-Food

Ketenaran produk budaya pop Korea dimanfaatkan sebagai media dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Meskipun dalam drama Korea masih mempresentasikan nilai-nilai budaya patriarki, namun oase feminisme tetap terasa pada produk budaya tersebut mengingat dominasi penulis perempuan di dalam naskah drakor. 

Paham feminisme belum sepenuhnya bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Korea, namun beberapa tahun terakhir ini kesenjangan gender yang terjadi mulai menurun. 

Berdasarkan data Kementerian Gender dan Keluarga Republik Korea pada 2021, tingkat partisipasi tenaga kerja tengah berada di angka 52% dan dalam hal kesetaraan upah gender (gender wage gap) menunjukkan bahwa kesenjangan upah antara pria dan wanita telah mengalami penurunan.

Tetap saja feminisme di Korea masih menjadi musuh dan ancaman bagi sebagian pemuda berusia 20-an tahun. Mereka menganggap kehadiran feminisme memperkeruh bias antara laki-laki dan perempuan yang justru mendiskriminasikan laki-laki sehingga berkembang gerakan anti feminisme.

Misoginis dan Berkembangnya Gerakan Anti Feminis 

Ketika kesadaran feminisme di Korea meningkat di tengah perjuangan melawan misoginis dan seksisme belakangan ini, di Korea muncul gerakan anti feminisme yang juga mulai berkembang. Sebagian dari mereka adalah laki-laki muda Korea yang mengadvokasi hak-hak laki Korea sebagai respon terhadap gerakan radikal feminisme di Korea. 

Selain itu, sebagian dari mereka juga menjadi pendorong utama ujaran kebencian terhadap perempuan di dunia maya bahkan dalam realitas kehidupan masyarakat. Pada 2019 lalu, sebuah peristiwa pembunuhan seorang perempuan muda oleh seorang laki-laki tidak dikenal di dekat stasiun Gangnam, Seoul, Korea. 

Pembunuh pada saat itu memberi alasan ia tidak sanggup menahan sikap diabaikan oleh perempuan dan untuk itu melakukan kejahatan : membunuh perempuan. 

Sikap misoginis dan seksisme masih mengakar kuat di masyarakat Korea. Perempuan Korea masih berjuang dalam menghadapi persoalan ujaran kebencian dan berjuang melawan seksisme. 

Dilansir dari bbc.co.uk dalam artikel berjudul South Korean Man Attacks shop clerk he thought was a feminist, Baru-baru ini seorang pria di Korea Selatan melakukan serangan terhadap wanita pekerjaan toko swalayan. Rekamanan CCTV menunjukkan pria berusia 20-an memasuki toko daerah Jinju dan memukul wanita tersebut hanya karena memiliki rambut pendek dan dianggap feminis. 

Dan, begitu yang terjadi pada penggunaan kata “Yu-ah-cha” oleh tim produksi saat obrolan Park Bo young dan Yoo Jae Suk. Mereka yang anti feminis menilai kata tersebut sebagai unsur dari suara feminis sehingga tombol dislike banyak dilakukan. 

Makin banyaknya perempuan di Korea menyadari bahwa pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dalam rumah tangga sangat tidak setara dan merugikan perempuan. Hal tersebut menjadi perhatian bagi feminis untuk melakukan perubahan terhadap peran perempuan yang bisa dihargai dengan baik dari ketimpangan gender. 

Pembagian pekerjaan domestik membuat lebih banyak perempuan terbebani. Bahwa ranah domestik bukanlah menjadi tanggung jawab kaum ibu semata, tapi juga bapak ikut berperan dalam hal tersebut.

Sementara itu anti feminis menilai paham feminis yang dipahami oleh masyarakat Korea terlalu berlebihan sehingga kesannya membenci laki-laki. Sentimen terhadap feminis masih menjadi ancaman bagi kelompok anti feminisme di Korea Selatan. 

Isu inilah yang dijadikan presiden Korea Selatan, Yoon Seok-yeol dalam kampanyenya pada 2022 lalu yang mengatakan feminisme sebagai penyebab rendahnya angka kelahiran di Korea Selatan. Ia berhasil memperoleh suara terbanyak dari pemilih laki-laki muda anti-feminis. 

Situasi ini tentu menjadi tantangan terbesar bagi feminis di Korea untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan tentu saja berjuang melawan misoginis.

ekaheiekahei

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun