Mohon tunggu...
Pendidikan

Pemahaman Adanya Sejarah, Tokoh, serta Pemikiran tentang Madzhab Mainstream

2 Maret 2019   11:25 Diperbarui: 2 Maret 2019   11:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mainstream
Untuk mendapat gambaran tentang adanya latar belakang pembentukan Bank Muamalat Indonesia, setidaknya ada lima asumsi dasar yang penting untuk dicermati oleh kita. Pertama, Madzhab pemikiran Posmodernisme. Kedua, perjuangan panjang umat Islam Indonesia. Ketiga, kontinuitas sejarah Bank Islam. Keempat,politik akomodasi Sooeharto. Kelima, refleksi sifat diri, lembaga, dan situasi. Tetapi dalam pembahasan kali ini saya akan menjelaskan tentang bagaimana Sejarah Madzhab Mainstream, Tokoh Madzhab Mainstream, dan Pemikiran Madzhab Mainstream.

1. Sejarah Madzhab Mainstream Pemikiran Posmodernisme.
Sebagai sebuah era dan metodologi berpikir, posmodernisme merupakan gerak simultan dari era sebelumnya, yaitu tradisionalisme dan modernisme, terutama, setelah tradisionalisme dan modernisme tidak memberikan jaminan kepastian bagi kehidupan manusia. Pergeseran paradigma dari tradisionalisme ke modernisme, dari modernisme ke posmodernisme, dan loncatan-loncatan paradigm yang berjalan secara terus menerus, dalam(M. Nur Yasin, 2009:125) perspektif sosiologi memunculkan suatu kajian yang oleh Emest Gellner disebut a pendulum swing theory. 

Seperti yang diungkap Hadiwinata, modernisme tidak sekedar mencakup hegemonisasi peradaban Barat atas peradaban Timur, industrialisasi, teknologi, dan konsumerisme, namun juga memunculkan rasialisme, diskriminasi, stagnasi, dan marginalisasi. Posmodernisme memberikan ruang bagi manusia yang aktif, mencari politik posmodernisme baru, dan memberikan peran yang besar bagi agam, sehingga berimplikasi kepada dua hal. 

Pertama, dijadikannya oleh masyarakat global sebagai landasan dan ciri penting kehidupan. Tidak heran jika nuansa keagamaan(religiusitas atau spiritualitas) semakin menguat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kedua, dijadikannya agama untuk menyemangati dan menjiwai kajianlintas disiplin.

Posmodernisme mengakui eksistensi agama-agama dan hal-hal yang dimarginalkan oleh modernisme. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi posmodernisme untuk menolak metodologi agama, termasuk di sini adalah metodologi Islam. Posmodernisme memberikan dasar-dasar ((M Nur Yasin, 2009:126) justifikasi dan legitimasi yang mendasar dalam mengantarkan umat Islam menuju kepada paradigma syariah di bidang ilmu ekonomi. 

Dalam konteks paradigma syari'ah, diskursus Perbankan Syariah, terkhusus Bank Muamalat Indonesia, menemukan jati dirinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kerangka fundamental dari kontruksi BMI tak lain adalah menggunakan paradigma syariah.

Karakter fundamental yang khas dari paradigma syari'ah, seperti diungkap Muhammad Arif, adalah khalifah fi al-ardl. Individu tidak sebatas hanya diperhambahakan kepada kolektivitas dengan tanpa menghargai kemaslahatan individu itu sendiri sebagaimana dicirikan paradigm marxin dengan dialektika matrealismenya. 

Tidak pula, individu sekadar bermakna individualisme utilitarian di mana individu hanya diperhambakan untuk kepentingan individu sebagaimana dicirikan ekonomi pasar (Kapitalisme)dengan laissesz faire-nya. Tetapi, yang dimaksudkan dengan khalifatullah fi al-ardl setidaknya ada dua hal. Pertama, individu yang bermakna representasi dan untuk kemaslahatan kolektif. Kedua, kolektivitas yang menghargai dan memberi perhatian yang besar pada kemaslahatan individu di tengah kemaslahatan kolektif.

Mengacu kepada a pendulum swing theory Emest Gellner yang memotret adanya pergeseran loncatan-loncatan akan terus berjalan dari satu titik paradigma ke titik paradigm yang lain, bisa dikatakan bahwa BMI merupakan satu titik atau tahap tertentu yang keberadaanya adalah bukan suatu kebetulan dan tidak lepas dari kemestian untuk dilewati oleh loncatan-loncatan paradigm perbankan sebelum dan sesudahnya. 

Jika perbankan yang ada sebelum Bank Syariah telah(M Nur Yasin, 2009:127) mengindikasikan dominasi paradigm modern, dan Bank Syariah menggunakan paradigm syariah, bukan tidak mungkin bahwa perbankan yang muncul setelah Bank Syariah adalah perbankan yang dijiwai paradigma pasca-posmodernisme yang indikasi dan karakternya belum bisa diprediksi saat ini. Dalam konteks inilah kehadiran BMI tak lepas dari Mainstream diskursus posmodernisme (M Nur Yasin, 2009:128).

2. Tokoh-tokoh Madzhab Mainstream.
Madzhab Mainstream berbeda pendapat dengan Madzhab Baqir. Madzhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia berada pada titik ekuilibrium. 

Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering kali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam(Ardiman A. Karim, 2007:31) Dalil yang dipakai adalah:

"Dan sesungguhnya akan Kami uji Kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang bersabar"

Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalilnya:

"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)"

Dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.

Dengan demikian, pandangan madzhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan madzhab mainstream ini dengan ekonomi konvensional?

Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudia manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa Al-Qur'annya, pilihan dilakukan dengan "mempertuhankan hawa nafsunya." Tetapi dalam ekonomi Islami, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya-termasuk ekonomi-selalu dipandu oleh Allah lewat Al-Quran dan Sunnah.

Tokoh-tokoh madzhab ini diantaranya: M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Yang memiliki dukungan dana dan akses ke berbagai Negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka adalah para doktor di bidang ekonomi yang belajar (da nada juga yang mengajar) di Universitas-unversitas Barat. Oleh karena itu, madzhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah(Ardiman A. Karim, 2007:32).

Umer Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.

Mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidak diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah atau ilmu itu bagi umat Islam adalah ibarat barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat Muslimah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuan Muslim banyak meminjam ilmu dari peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, China, dan lain-lain. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi transformasi ilmu dengan diterangi cahaya Islam(Ardiman A. Karim, 2007:33).

Perbedaan madzhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan(Nur Rianto Al Arif & Euis Amalia, 2010:29) manusia harus melakukan pilihan. 

Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing tidak peduli apakah itu bertentangan dengan norma serta nilai agama ataukah tidak. 

Dengan kata lain pilihan dilakukan berdasarkan tuntutan nafsu semata (homo economicus. adapun dalam ekonomi Islam penentuan pilihan tidak bisa tanpa aturan, sebab semua sendi kehidupan kita telah diatur oleh Al-Qur'an dan sunnah. Sehingga kita sebagai manusia ekonomi Islam (Homo Islamicus) harus selalu patuh pada aturan-aturan syariah yang ada(Nur Rianto Al Arif & Euis Amalia, 2010:30)

3. Pemikiran Madzhab Mainstream.
Madzhab Mainstream ini berbeda pendapat bahkan berbeda pemikiran juga dengan Madzhab pertama (Madzhab Istishaduna), mereka justru setuju dengan ekonomi konvensional bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas di hadapan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Perbedaanya hanya dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Masalah kelangkaan sumber daya menyebabkan manusia harus melakukan pilihan.

Menurut pemikiran ekonomi Islam dari Madzhab Mainstream inilah yang paling banyak memberikan warna dalam wacana ekonomi Islam sekarang karena kebanyakan tokohnya dari Islamic Development Bank (IDB) yang telah dibahas diatas tadi, dan  yang memilki fasilitas dan dan dan jaringan kerja sama dengan berbagai lembaga Internasional.

Selain itu, karena mayoritas tokoh Madzhab Mainstream ini adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika dan Eropa, maka mereka mampu menjelaskan fenomena ekonomi dalam bentuk model-model ekonomi yang canggih dengan pendekatan ekonometrika. Mereka sukses menjelaskan ekonomi Islam dengan wajah " ilmu ekonomi" sehingga mudah dipelajari dan enak dicerna bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi(Havis Aravik, 2017:10)


Daftar pustaka
Al Arif, M. Nur Rianto & Amalia, Euis. 2010. Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi. Jl. Tambra Raya No.23 Rawamangun-Jakarta: Kencana
 Karim, Adiwarman A. 2007. Ekonomi Mikro Islami. Jl. Pelepah Hijau IV TN.1.1 No. 14-15, Kelapa Gading Permai, Jakarta 14240: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Yasin, M. Nur. 2009. Hukum Ekonomi Islam. Jalan Gajayana 50 Malang 65144: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI)
Aravik, Havis. 2017. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer. : Jl. Kebayunan RT 003 RW 019 No. 1 Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos, Depok 16457: Kencana  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun