Namun, jika kita berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang sering kali terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh misalnya tentu lebih langka dibandingkan di Thailand. Jadi keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam(Ardiman A. Karim, 2007:31) Dalil yang dipakai adalah:
"Dan sesungguhnya akan Kami uji Kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang bersabar"
Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalilnya:
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)"
Dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah. Bila diberikan dua lembah, ia akan meminta tiga lembah dan seterusnya sampai ia masuk kubur.
Dengan demikian, pandangan madzhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi penyebab munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan madzhab mainstream ini dengan ekonomi konvensional?
Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas keinginannya. Kemudia manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga mengabaikannya. Dalam bahasa Al-Qur'annya, pilihan dilakukan dengan "mempertuhankan hawa nafsunya." Tetapi dalam ekonomi Islami, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya-termasuk ekonomi-selalu dipandu oleh Allah lewat Al-Quran dan Sunnah.
Tokoh-tokoh madzhab ini diantaranya: M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mayoritas bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Yang memiliki dukungan dana dan akses ke berbagai Negara sehingga penyebaran pemikirannya dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Mereka adalah para doktor di bidang ekonomi yang belajar (da nada juga yang mengajar) di Universitas-unversitas Barat. Oleh karena itu, madzhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah(Ardiman A. Karim, 2007:32).
Umer Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islam bukan berarti memusnahkan semua hasil analisis yang baik dan sangat berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.
Mengambil hal-hal yang baik dan bermanfaat yang dihasilkan oleh bangsa dan budaya non-Islam sama sekali tidak diharamkan. Nabi bersabda bahwa hikmah atau ilmu itu bagi umat Islam adalah ibarat barang yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka umat Muslimah yang paling berhak mengambilnya. Catatan sejarah umat Muslim memperkuat hal ini. Para ulama dan ilmuan Muslim banyak meminjam ilmu dari peradaban lain seperti Yunani, India, Persia, China, dan lain-lain. Yang bermanfaat diambil, yang tidak bermanfaat dibuang, sehingga terjadi transformasi ilmu dengan diterangi cahaya Islam(Ardiman A. Karim, 2007:33).
Perbedaan madzhab ini dengan ekonomi konvensional adalah dalam penyelesaian masalah ekonomi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah kelangkaan ini menyebabkan(Nur Rianto Al Arif & Euis Amalia, 2010:29) manusia harus melakukan pilihan.Â