Â
Pernah enggak sih kamu merasa, "Aduh, coba dulu gue belajar hal ini, hidup pasti lebih gampang sekarang?"Â
Saya sering. Bahkan terlalu sering, kalau boleh jujur.Â
Tapi ada satu momen yang benar-benar bikin saya berpikir, "Kenapa ya, dulu di kampus enggak ada yang ngajarin ilmu ini?"
Izinkan saya cerita.
Kejadian yang Tak Akan Saya Lupa
Hari itu sore yang cerah. Matahari masih hangat-hangatnya, dan saya sedang asyik bermain dengan Ina, putri saya yang waktu itu baru berusia lima tahun. Kami ngobrol-ngobrol santai, sampai akhirnya saya tanya, "Ina mau jadi apa kalau udah besar nanti?"
Dengan mantap, dia menjawab, "Ina mau jadi pelukis aja. Enggak mau jadi dokter hewan kayak Bapak."
Saya agak kaget, tapi penasaran. "Kenapa? Kan keren jadi dokter hewan."
Dia mengerucutkan bibirnya. "Enggak mau! Soalnya kalau jadi dokter hewan digigitin anjing terus!"
Ah, iya. Dia pasti ingat kejadian waktu itu.
Bayangkan ini: seekor anjing Kintamani dewasa, matanya nyalang seperti petir, tiba-tiba menyerang saya dari belakang. Giginya yang tajam menancap kuat di paha belakang saya, dan semuanya terjadi di depan mata Ina kecil.Â
Ina tiba-tiba menangis dengan kencang, sementara saya... yah, masih berjuang menahan sakit.
Kejadian itu bermula dari niat baik. Saya sedang membantu mengobati anak-anak anjing milik paman saya yang terkena virus parvo. Tapi si Kintamani alpha, Chase, jelas tidak suka. Dia pikir saya menyakiti anjing-anjing kecil yang lucu itu. Walaupun mereka bukan anak-anaknya, namun insting untuk melindungi kelompoknya membuatnya langsung menyerang "si pengganggu", yaitu saya.
Dan begitulah, saya pulang dengan luka gigitan, sekaligus perasaan bersalah karena membuat anak saya trauma.
Risiko di Balik Profesi
Kalau dipikir-pikir, ini bukan kali pertama saya digigit. Atau dicakar. Atau---percaya atau tidak---ditendang sapi!
"Dokter hewan kok bisa digigit anjing?" Itu pertanyaan klasik yang sering saya dengar. Teman saya pernah bilang sambil tertawa, "Harusnya pasien nurut dong, masa enggak ada ilmunya?"
Serius, semua pekerjaan ada risikonya.Â
Tukang listrik? Bisa kesetrum.Â
Chef? Tangan keciprat minyak panas.Â
Dokter hewan? Ya... digigit, dicakar, bahkan ditendang sapi!
Kejadian di kandang sapi masih terpatri jelas di kepala saya. Saat itu saya sedang mengambil sampel darah seekor sapi Bali betina seberat 300 kg. Tiba-tiba, dia melompat dan tendangan kaki depannya telak mengenai saya. Hampir saja saya jadi daging giling akibat diinjak-injak sapi Bali.
Sakitnya?Â
Jangan tanya. Yang jelas, pengalaman ini bikin saya berpikir:Â
"Ada enggak ya cara supaya hewan-hewan ini lebih jinak? Supaya kami, dokter hewan, enggak selalu jadi korban?"
Mengenal Ilmu Kuno Persian Magnetism
Dan di sinilah semuanya menjadi menarik. Pernah dengar tentang Persian Magnetism?
Ilmu ini konon berasal dari Persia kuno. Bangsa Persia dikenal pintar menjinakkan hewan liar. Mereka bahkan bisa membuat elang dan macan tutul patuh seperti hewan peliharaan!Â
Caranya?Â
Cukup dengan tatapan dan sentuhan.
Selain membantu pada saat berburu, memelihara hewan buas juga menunjukkan tingginya status sosial seseorang di masa itu.
Sekarang pikirkan ini: kalau hewan buas seperti macan tutul bisa dijinakkan hanya dengan tatapan atau sentuhan, gimana kalau yang dihadapi cuma anjing atau kucing?Â
Atau... calon mertua galak? (Ups.)
Saya sering berpikir, seandainya ilmu ini jadi bagian kurikulum Fakultas Kedokteran Hewan, hidup para dokter hewan pemula bakal jauh lebih mudah.Â
Bayangkan lulus kuliah dengan kemampuan membaca bahasa tubuh hewan, membuat mereka nyaman, bahkan menenangkan mereka hanya dengan gestur sederhana.
Enggak ada lagi drama digigit pasien atau ditendang sapi. Enggak ada lagi cerita dokter yang trauma dengan pasiennya sendiri.Â
Bahkan mungkin, dokter hewan fresh graduate bakal lebih percaya diri menghadapi pasien pertama mereka.
Kesimpulan
Tentu, tanpa ilmu ini pun dokter hewan bisa menangani pasien mereka. Semua kembali ke pengalaman dan jam terbang. Tapi, bukankah lebih baik jika ada cara yang lebih aman dan efisien?
Jadi, jika kamu mahasiswa, apa pun jurusanmu, selalu ada baiknya belajar ilmu di luar yang diajarkan di kelas. Ilmu kuno, modern, atau bahkan hanya keterampilan sehari-hari, semuanya bisa membantu di saat-saat yang tidak terduga.
Dan untuk rekan-rekan dokter hewan, ingatlah, keselamatan diri adalah prioritas utama. Karena lucunya, mau menolong pasien tapi malah jadi korban itu... ya, ironi banget, kan?
Bagaimana denganmu?Â
Punya cerita seru tentang risiko pekerjaan yang pernah kalian alami?
Saya siap mendengarkan---dan kalau perlu, tertawa bareng!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H