“Bu Lek,” kata Amir lirih.
“Ya, kenapa Mir?” Khaerani membopong Amir dan meletakannya dipangkuannya kemudian mengusap rambutnya dengan lembut. Bagas dan Bimo nampak memperhatikannya.
“Bu Lek, nanti malam, Amir tidur sama Bu Lek atau sama simbah kakung yah?”
“Iya, nanti malam Amir tidur sama Bu Lek. Tapi kenapa Amir jadi sedih begini?”
“Amir takut, Bu Lek.”
“Takut apa?”
“Takut, kalau nanti adik Amir lahir, bapak dan ibu tidak sayang lagi sama Amir!”
Khaerani tersenyum, kemudian memeluk kemenakannya tersebut dengan erat. “Siapa yang bilang begitu? Bapak sama ibu pasti sayang Amir juga adik Amir. Ketika adik Amir nanti lahir, bapak sama ibu mungkin akan lebih perhatian sama adik Amir, tapi bukan berarti mereka tidak sayang lagi sama Amir. Adik bayi, kan masih kecil, belum bisa apa-apa. Belum bisa mandi sendiri, minum sendiri, makan sendiri, ganti baju sendiri dan juga belum bisa ngomong inginnya apa, jadi harus dibantu sama bapak dan ibu. Kalau Amir, kan sudah besar, sudah bisa ngomong kepinginnya apa, sudah bisa melakukan semuanya sendiri.” Amir nampak terdiam mendengarkan.
“Betul, apa yang dikatakan Bu Lek Rani itu, Mir,” kata Bagas tiba-tiba sambil bangkit dan duduk disamping Khaerani dan membelai kepala Amir. Khaerani sontak terkejut dengan Bagas yang duduk sangat dekat dengan dirinya hingga lengan mereka bersentuhan, apalagi saat itu Bimo juga memperhatikannya. “Itu menandakan Amir sudah gede,” kata Bagas kemudian, tidak mempedulikan reaksi keterkejutan Khaerani juga sepupunya. “Bapak dan ibu pasti sayang sama Amir, walaupun Amir sudah gede dan punya adik kecil. Contohnya Mas Bimo, dia punya adik perempuan, Mbak Mutiara, Amir kenal kan?” Amir mengangguk. “Sampai sekarang, bapak dan ibunya Mas Bimo masih sayang sama Mas Bimo. Betul kan, Bim?”
“Iya, betul apa yang dikatakan Mas Bagas Mir. Mana ada orang tua yang tidak sayang sama anaknya sendiri,” kata Bimo.