Pram keluar dari kamar dan duduk bersama bidan Annah, Amir menghampiri dan duduk dipangkuannya. Rasa bahagia nampak diwajahnya. Ucapan terima kasih ditujukan laki-laki itu kepada bidan Annah yang telah membantu persalinan istrinya dengan baik, karena baik istri maupun anaknya dalam kondisi sehat. Bidan Annah hanya tersenyum dan mengatakan kalau sudah menjadi tanggung jawab dan kewajibannya untuk menolong wanita yang melahirkan. Kakak Khaerani itu juga mengucapkan terima kasih kepada Bagas dan Bimo yang turut membantu. Juga menanyakan kenapa mereka bisa berada di rumahnya. Kedua anak dan kemenakan Bu Said tersebut hanya tersenyum dan mengatakan kalau bantuan yang mereka berikan tidak seberapa, karena mereka hanya kebetulan mengantar Amir setelah bermain bola bersama di lapangan desa.
Bidan Annah melihat kearah Bagas. “Saya sepertinya baru melihat adik ini.” Bimo kemudian memperkenalkan Bagas sebagai sepupunya. “Oh pantas. Kalian agak mirip.” Bidan Annah tersenyum. “Oh iya Bimo, ibu mendengar kalau kamu mau menikah dengan bidan Ratna, anak Pak Haji Suryo dari desa tetangga kita. Benar begitu?”
Bimo tidak menduga akan mendapat pertanyaan tersebut. Apalagi didepan Bagas dan Khaerani. Saat itu juga anak laki-laki Bu Said itu merasa suara petir yang menggelegar diluar masuk ke dalam. Bimo terbatuk kecil, ketika semua mata memandang kearah dirinya. “Bu Bidan dapat berita darimana? Saya saja, belum tahu,” kata Bimo kemudian.
“Masa! Bu Said yang bilang begitu waktu ketemu di bank kemarin. Katanya keluarga kamu sudah datang ke keluarga Ratna.” Bimo tersenyum dengan amat terpaksa, tidak tahu harus menjawab apa, matanya sesekali melirik Khaerani yang duduk terdiam sambil memainkan jari-jari tangannya disamping Pram. Sementara terdengar suara tawa tertahan dari Bagas.
“Amir. Ibu ingin ketemu Amir,” kata Mak Lela dari pintu kamar Kharisma. Amir langsung turun dari pangkuan bapaknya dan berlari masuk ke kamar. Pram dan Khaerani mengikutinya dari belakang. Sementara bidan Annah meminta ijin untuk ke belakang, hingga di ruang tengah tinggal Bimo dan Bagas. Bagas tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum! Kamu pasti senang mendengar apa yang baru saja dikatakan bidan itu!” kata Bimo. “Kamu puas Gas!”
“Hei! Jangan marah begitu aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya berpikir, ibumu begitu semangatnya menjodohkan kamu dengan Ratna, sampai megatakannya kalau kamu dan dia akan menikah. Sebentar lagi beritanya pasti akan menyebar ke seluruh antero desa!” Bagas tertawa.
“Menjodohkan apa! Aku sendiri tidak pernah tahu!”
“Percuma kamu katakan itu sama aku Bim. Coba kamu katakan sama ibumu!”
Bimo terdiam.
***