Seperti yang telah sedikit digambarkan di atas, permasalahan tata kelola gas bumi nasional adalah mahalnya harga gas untuk konsumen dalam negeri, seperti yang terjadi di Sumatera Utara di mana konsumen industri selaku pengguna akhir membeli gas sebesar US$ 14/MMBTU. Dalam kasus tersebut, sumber gas memang bukan berasal dari sumur gas di daerah Sumatera Utara, namun berasal dari Tangguh/Bontang/Donggi dalam bentuk LNG yang kemudian diproses regasifikasi
di Arun dan ditransportasikan melalui pipa gas ke Medan. Komponen harga terdiri atas harga LNG saat ini lebih tinggi dari harga gas sumur, biaya regasifikasi, transportasi dan distribusi. Komponen tersebut teregulasi dan diatur Pemerintah kecuali untuk biaya regasifikasi dan distribusi (non open access, sepengetahuan saya).
Untuk di daerah Jawa Barat, permasalahan lebih kompleks, gas yang dijual ke suatu trader dijual ke trader-trader lain dalam satu titik terima/serah yang sama atau dalam jarak dekat sebelum dijual ke end-user. Hal ini mengakibatkan terjadi penjualan gas bertingkat di mana end-user yang kemudian menanggung biaya atas margin dari penjualan gas bertingkat tersebut. Beberapa trader memang melakukan pembangunan infrastruktur dan melakukan bisnis jual beli gas namun ada juga beberapa oknum trader yang hanya menumpang pencarian margin di bisnis ini tanpa melakukan pembangunan infrastruktur.
Dari sisi infrastruktur yang notabene untuk pengangkutan gas masih didominasi oleh pembangunan pipa transmisi/distribusi gas terjadi kompetisi antara dua badan usaha yaitu Pertagas dan PGN. Keduanya berkompetisi dalam membangun infrastruktur yang sifatnya bukan komplementer tetapi kompetisi. Sisi positif atas persaingan ini seharusnya positif, misalnya membuat biaya pengangkutan gas menjadi lebih rendah, namun yang menjadi masalah adalah ketika kedua Badan Usaha ini membangun pipa di daerah yang sama yang akibatnya adalah inefisiensi. Apalagi mempertimbangkan Pertagas adalah anak perusahaan Pertamina sebagai BUMN dan PGN pun termasuk BUMN walaupun telah go public yang artinya keduanya menggunakan anggaran negara dalam berinvestasi.
Â
- SOLUSI PERMASALAHAN TATA KELOLA GAS BUMI DI INDONESIA
Atas lika liku carut-marut tersebut, secara makro (karena memerlukan masukan dari ahli dan pelaku bisnis gas untuk detailnya) dari sisi awam dapat diajukan usulan perbaikan tata kelola sebagai berikut:
- Kembali ke pemahaman atas pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945, bahwa kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Pertamina sebagai BUMN kembali mengelola seluruh pelaksanaan supply dan pemenuhan demand atas gas bumi. Namun bila ingin tetap diregulasi maka Pertamina perlu diawasi, terserah apakah akan mempertahankan
SKK MIGAS selagu regulator di sektor hulu atau akan diregulasi oleh Kementerian ESDM. - Infrastruktur strategis seperti pipa transmisi dikuasai oleh BUMN, trader/swasta melakukan bisnis di lingkup retail atau distribusi. Terdapat dua BUMN/Anak Perusahaan BUMN yang bergerak dalam pembangunan infrastruktur yaitu Pertagas sebagai anak usaha Pertamina dan PGN. Diperlukan penetapan dari Pemerintah mengenai pembagian atau penugasan pembangunan infrastruktur kepada dua Badan Usaha ini agar tidak saling berkompetisi. Apakah salah satu akan bergerak di pembangunan transmisi dan yang lain di distribusi atau meleburkan PGN ke dalam Pertamina. Hal ini masih menjadi perdebatan karena masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya, di mana Pertagas pun tidak mau dilebur ke dalam PGN dan PGN pun belum tentu mau dilebur ke Pertamina.
- Regulasi terhadap transparansi biaya dari hulu sampai ke hilir, pasar gas Indonesia masih belum memungkinkan kesiapannya untuk persaingan, harga gas masih perlu diregulasi agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna domestik. Margin di hulu sampai ke hilir diregulasi di mana pasar bisa menerima harga dan Badan Usaha yang melakukan bisnis gas masih bisa memperoleh keuntungan yang wajar.
- Akses infrastruktur (pipa transmisi/distribusi) gas dapat dimanfaatkan bersama untuk efisiensi, agar tidak terjadi tumpang tindih pembangunan infrastruktur dan inefisiensi. Dalam rapat dengan Menko Maritim Desember 2015, hasil studi Pusat Energi UGM awalnya menyatakan bahwa pemanfaatan bersama pipa (open access) menyebabkan harga gas tinggi di luar negeri (studi banding), hal tersebut tentunya tidak sama dengan di Indonesia. Dengan pemberlakuan open access seharusnya biaya pengangkutan gas menjadi lebih rendah karena biaya pengembalian investasi ditanggung bersama oleh pemakai dan biaya pengangkutannya lebih transparan karena ditetapkan oleh BPH Migas selaku regulator hilir.
- Diperlukan ketegasan dari regulator dalam pemberian izin pembangunan infrastruktur dan jual beli gas kepada Badan Usaha. Dalam pembangunan infrastruktur diperlukan sinkronisasi terhadap supply demand gas termasuk potensi pengembangan pasar. Sedangkan dalam pemberian izin jual beli gas, izin diberikan terhadap Badan Usaha yang telah memiliki perikatan dengan produsen maupun konsumennya.
Demikian sharing sementaranya… kalau ada yang kurang benar mohon dibantu agar benar..
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H