Genre: Horror comedy, RomanceÂ
"Bahkan saat menutup mata. Wajahmu yang tersenyum itu masih menghantui tidurku. Kendati logika mendorongku lari sejauh mungkin. Namun hati ini begitu egois. Ia menginginkanmu lebih dan lebih. Serasa dahaga yang tak terpuaskan. Jika mencintaimu mengubahku menjadi iblis. Maka, biarlah, aku mengikutimu menjadi iblis. For you, infinity and beyond."Â - Juan
Author's POV
"Bisa aja, kan aku kuyang."
"Keluargaku adalah keluarga penyembah setan. Sudah dari turun temurun, kami mewarisi kekuatan hitam ini. Perjanjian dengan iblis bukanlah sesuatu yang bisa terputus begitu saja."
Seminggu sejak hari dimana fakta tentang Lana terkuak, Juan menjalani harinya di kantor penuh dengan perasaan was-was. Walau Lana tak pernah melakukan sesuatu yang mengancam nyawanya, rasa takut itu tidak begitu saja hilang. Di hari pertama dan kedua sejak ia mengetahui rahasia itu, Juan memilih absen dari pekerjaannya. Barulah di hari ketiga, ia memberanikan diri untuk masuk kantor. Itupun karena atasannya terus menghubunginya.
Beberapa rekan kantor mereka telah mengetahui putusnya hubungan mereka berdua. Namun keduanya kompak tutup mulut dan memilih diam. Keadaan kantor sangat canggung untuk mereka berdua. Belum lagi karena mereka berada pada divisi yang sama. Juan sendiri sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya ke atasan. Dan sesuai ketentuan, ia diberi waktu sebulan untuk membereskan pekerjaannya.
Pagi itu, Lana dan rekan divisi keuangan dijadwalkan untuk rapat bulanan sebagai bentuk peninjauan kinerja serta pertanggungjawaban atas laporan keuangan mereka kepada direksi. Lana dan Juan saat itu menjadi orang yang harus menyiapkan berkas-berkas laporan, snack dan minuman serta segala kebutuhan yang lain. Juan sempat menolak ditugaskan dengan Lana, namun karena tak mau dianggap tidak profesional, terpaksa Juan menurut.
"J, bagaimana kabarmu?" Kata Mutia divisi HRD, kamu sudah mengajukan pengunduran diri, apa benar?" tanya Lana sembari meletakan berkas-berkas di atas meja.
"Eh ii..iya, sudah di acc pihak HRD juga." jawab Juan tergagap.
Lana menyadari ketakutan Juan hanya dari cara pria itu menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum kecut. Apa wujudnya sangat aneh? Ataukah lelaki itu sungguh menganggap dirinya sebagai ancaman?
"Juan, apakah kamu sangat takut padaku? Santailah. Aku masih manusia seperti yang kamu lihat. Aku juga tidak akan melakukan hal yang membahayakanmu asal kamu menjaga janjimu. Bukankah ini cukup fair?" ucap Lana dengan senyum yang sangat teduh.
Juan terdiam. Ia tidak berani untuk menjawab pernyataan Lana yang terasa masuk akal. Memang selama ini, Lana selalu bersikap normal padanya. Bahkan tak pernah sekalipun gadis itu melakukan hal yang dapat membahayakannya.Â
Keheningan kembali tercipta. Keduanya kini berfokus pada tugas yang diberikan. Juan menatap keberadaan gadis itu di pojok ruangan. Untuk sesaat Juan kembali terpana. Seolah melupakan fakta yang ada.Â
Lihat saja penampilan Lana saat ini bisa menipu siapa saja yang melihatnya. Kulitnya tidak lagi pucat, bahkan terlihat segar dan sangat cantik. Aura dingin yang gadis itu pancarkan, memberikan nilai plus pada penampilannya. Gadis yang ia kejar dengan susah payah, benarkah harus ia lepaskan? Juan gamang. Segera ia hempaskan pikiran itu dan kembali pada tugasnya.Â
Sesaat setelah persiapan selesai, para staf satu-satu masuk ke dalam ruang rapat. Rapat dimulai dengan pembacaan laporan keuangan serta neraca dan laporan laba rugi perusahaan di kuartal terakhir. Suasana berjalan tenang dan kondusif. Laporan pertanggungjawaban telah diterima dengan baik.Â
Setelah dewan direksi meninggalkan ruang rapat. Ketua divisi keuangan menginterupsi seluruh staf yang tersisa. Ketua divisi mempersilakan seseorang untuk masuk ke ruang rapat. Beliau memperkenalkan seseorang bernama Candra Kusuma sebagai staf baru yang akan menggantikan posisi Juan.
Lana sempat tertegun, sorot matanya menunjukan keraguan. Sama sekali tak ada senyuman di bibir gadis itu. Berbeda dengan Juan yang sudah sumringah mengetahui penggantinya sudah datang.
Ketua divisi menyerahkan tugas pembimbingan Candra kepada Juan. Sementara tugas pengawasan tetap dipegang oleh Lana selaku staf senior di perusahaan. Candra hanya berbeda umur dua tahun lebih muda dari Juan. Kendati masih berkuliah, Candra mampu mendapatkan nilai terbaik pada ujian penerimaan staf magang yang diadakan perusahaan.Â
Juan awalnya senang saja dengan kehadiran Candra sebagai penggantinya. Bukankah artinya pekerjaannya terbantu? Juan membimbing tugas demi tugas tiap harinya kepada Candra. Seperti yang diharapkan, Candra dengan cepat menangkap tugas serta pekerjaan yang harus ia kerjakan.Â
Berbeda dengan Juan yang ceria dan terkadang bersifat kekanakan, Candra adalah sosok yang tenang dengan pembawaan yang elegan. Meskipun terpaut umur dua tahun lebih muda dari Juan, sifatnya yang dewasa sangat berbanding terbalik dengan wajahnya yang bagai remaja belasan tahun. Dengan cepat, Juan dan Candra menjadi teman yang akrab.Â
Namun, beberapa hari ini, Juan menyadari sesuatu. Sebuah intensi yang ditunjukkan juniornya itu kepada Lana. Bagaimanapun Juan adalah lelaki yang jelas dapat membaca intensi lelaki lain yang sedang mengincar wanita kesukaannya.Â
Contohnya saja rapat hari ini. Candra yang berada tiga bangku di samping Lana, tak bisa melepaskan pandangannya kepada gadis itu.Â
"Bang Juan, kak Lana tuh cantik banget ya. Kira-kira udah punya pacar belum ya?" tanya Candra setengah berbisik kepada Juan.Â
Pertanyaan sederhana dari Candra yang mampu mengusik sudut hati Juan. Entah mengapa ia merasakan perasaan kesal. Tak hanya itu, ia merasa iba kepada Candra yang dianggapnya sudah salah memilih target. Rapat berlalu dengan cepat. Sementara fokus Juan, sudah pecah kemana-mana sejak tadi.Â
Karena masih ada yang harus dikerjakan di ruangan rapat. Juan, Candra dan beberapa staf lain pergi mendahului Lana dan para staf senior. Juan sempat melemparkan pandangan ke arah Lana yang tengah sibuk membaca beberapa berkas. Perasaan nostalgia itu kembali menyapanya.Â
Juan termangu. Tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Hingga, Lana menyadari pandangan Juan padanya. Kedua orang itu kini saling bertukar pandang. Lana tersenyum manis kepadanya. Membuat dinding imannya nyaris runtuh. Juan terpesona lagi.Â
Belum lama bernostalgia, logika kembali menghantamnya. Hey, ini Lana, nona kuyang cantik yang bisa saja melepas kepalanya sewaktu-waktu. Juan bergidik ngeri, ia memegang lehernya sendiri. Seraya meninggalkan ruangan rapat. Membuat Lana menatapnya penuh kesedihan.Â
Sepeninggal Juan dari ruangan rapat, Candra kembali mendekatinya. Meminta saran untuk mendapatkan hati Lana. Karena selama ini, Lana sangat dingin padanya. Mereka berdua hanya berbicara masalah pekerjaan, selebihnya nyaris tak ada obrolan. Candra mengatakan semuanya dengan sendu. Membuat perasaan iba itu kembali hadir.Â
"Jangan Lana lah Can, lainnya aja yang penting jangan Lana." ucap Juan singkat.Â
"Tapi gue sukanya sama dia, Kak. Bukan yang lain." jawab Candra tak kalah tegas. Bukan Candra namanya, jika tak bisa mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Dan pria ini sangat serius saat mengatakan menyukai gadis cantik itu.Â
"Gue udah coba mendekati Kak Lana, tapi Kak Lana selalu aja nolak gue. Katanya ada pria lain yang dia suka. Gak masuk akal kan, Kak. Kalau emang ada, fix jadi pria paling beruntung sih." ungkap Candra yang membuat Juan tertegun.
"Bentar. Lelaki yang Lana suka. Dia ada kasih tau ga siapa?" tanya Juan. Juan tergoda. Ia merasakan kebanggaan yang sulit dijelaskan. Sial. Pesona Lana terlalu kuat. Padahal tahu kenyataannya, namun tak juga menyadarkannya.Â
"Engga. Cuman gue ga akan nyerah sih." ujar Candra tak kalah berapi-api.Â
"Gimana kalau dia ga sesuai ekspektasi lu, Can? Gimana kalau dia ternyata, dia ternyata. Ck. Pokoknya jangan Lana lah." kesal Juan sambil berlalu meninggalkan Candra.Â
Juan kesal dengan sifat Candra yang keras kepala. Pokoknya jangan salahkan Juan, jika sesuatu terjadi pada Candra suatu saat nanti. Ia sudah coba memperingatkan.Â
Mendekati istirahat, Juan bergegas pergi ke rooftop kantor. Mencoba menikmati pemandangan sembari memakan bekal makan siangnya. Namun saat ia mencoba melihat ke arah bawah, ia melihat Lana dan Candra yang berjalan beriringan ke arah kedai kopi di dekat kantor mereka.
Lana terlihat tertawa. Juan gamang. Ia tak suka. Perasaan kesal yang coba ia tutupi sendiri sedari tadi, sekarang terlihat jelas. Juan menghela nafas berat.Â
"J, apa kamu gila? Apa kamu segitu gilanya dengan Lana? Kamu tahu kenyataannya tapi kamu masih saja mencintainya. J. Kamu betulan bakal pergi ke neraka." Juan tersenyum tipis, sembari meneguk secangkir espresso kesukaannya.Â
#############
Keesokan harinya. Juan berniat untuk mendekati Lana kembali. Ia takut tapi hatinya terus tertaut dengan Lana. Segala kenangan itu terus menghantuinya. Tawa Lana. Seluruhnya.Â
Namun, saat ingin menyapanya. Langkahnya terhenti. Candra sudah lebih dulu menghampirinya. Ia membawa beberapa vitamin dan sebotol air yang kemudian ia tawarkan kepada Lana. Lana hanya menerimanya sembari mengucapkan terima kasih.Â
"Kak, diminum dulu vitaminnya. Ini vitamin bagus kok. Aku sering pakai. Kakak pucat banget soalnya." ucap Candra.Â
Juan melihat kalender. Apakah ini sudah waktunya?Â
Tepat setelah Candra kembali ke kursinya. Juan datang menghampiri Lana.Â
"Lana. Ini laporan yang kamu minta kemarin." Juan menatap lekat-lekat wajah Lana. Pucat.Â
"Makasih J."
"Apakah ini sudah waktunya?"
"Bagaimana?"
"Apakah ini sudah waktunya kamu mencari makan?" kali ini Juan mengecilkan suaranya. Wajahnya sengaja ia dekatkan kepada Lana.Â
"Itu bukan urusanmu J. Kembalilah bekerja. Aku bisa mengurus diriku sendiri." ujar Lana sembari kembali menatap laptopnya.Â
"Apa yang bisa aku bantu? Katakan saja." Juan bertanya lagi. Dengan raut kesungguhan. Ia kali ini mencoba memberanikan diri berbicara dengan Lana.Â
"Temui aku di rooftop di jam makan siang. Jangan membuat keributan selama bekerja. Mengerti." ucap Lana tegas. Membuat Juan mau tak mau kembali ke kursinya.Â
Lama Juan menanti. Hingga tibalah jam makan siang. Bergegas ia tinggalkan kursi kerjanya. Meninggalkan Candra yang sedari tadi mengajaknya bicara.Â
Di rooftop, angin berhembus cukup kencang. Mengenai rambut panjang Lana yang tergerai. Tetap dilihat berapa kalipun, Lana memang sangat cantik. Ia tersenyum simpul.Â
Lana berbalik menghadap Juan.Â
"Juan ada apa ini? Apa maksud kamu menanyakan apa yang bisa kamu bantu?" tanya Lana. Mencoba mencari jawaban atas tiap pertanyaan yang mengganjalnya sedari tadi.Â
"Aku tidak bisa melihatmu menderita seperti ini. Katakan saja apa yang bisa aku lakukan untukmu?" jawab Juan sambil mendekati gadis itu.Â
"Hahaha. Jangan becanda Juan. Baru beberapa hari lalu, kamu memandangku dengan raut wajah ketakutan dan keengganan. Sekarang kamu bertanya seolah peduli padaku. Sebenarnya apa ini?" Lana memandang netra Juan dengan penuh keraguan. Ia tidak marah. Hanya saja semua ini terlalu mencurigakan. Ia tersenyum sinis.Â
"Maafkan aku. Sepertinya aku membuat kesalahan besar beberapa hari ini. Tapi sepertinya, saat ini aku sudah yakin. Aku ingin bersamamu. Aku ingin menemanimu. Aku tidak bisa melihatmu tertawa karena orang lain. Candra mendekatimu bukan? Aku tak suka. Sudut hatiku tak mau menerimanya. Aku masih mencintaimu." ujar Juan panjang lebar. Ia mendekati Lana sembari menjabat tangannya. Berharap Lana masih mau bersamanya.Â
"Juan. Jangan bercanda. Apa tidak cukup kamu menyakiti hatiku dengan tatapanmu selama ini. Perkataanmu. Lalu sekarang, seolah tak terjadi apa-apa. Kamu berharap semua akan kembali normal? Tidak. Aku kuyang. Aku setan, seperti yang kamu bilang. Jadi mari menganggap begitu." Lana beranjak pergi, namun lengannya sudah lebih dulu ditahan oleh Juan.Â
"Lana aku serius."Â
Lana tak peduli dengan ucapan Juan yang baginya hanya omong kosong. Ia hempaskan tangan Juan ke udara. Sesekali ia hembuskan nafas kasar.Â
"Baiklah. Datanglah ke rumahku nanti malam. Mari kita lihat keteguhanmu."
Lana berucap kemudian pergi meninggalkan Juan dengan harapan. Setidaknya Lana memberinya kesempatan. Ia tahu ia bodoh, tetapi ia tak peduli. Karena ia begitu menginginkan Lana. Sama seperti dahulu.Â
#############
Malamnya Juan datang ke rumah Lana. Sesuai perjanjian, ia datang cukup larut malam. Sekali, dua kali ia ketuk pintu rumahnya. Akhirnya setelah ketukan kelima, pintu terbuka. Lana mempersilakan Juan masuk dan duduk di kursi tamu.Â
"J, langsung saja. Apakah kamu yakin ingin bersamaku? Apa kamu siap menunjukan keteguhan hatimu?" Lana mencoba mengukur keteguhan hati Juan.Â
"Aa.... Ten.. Tu saja. Maksudku apa yang kamu butuhkan?" Juan tampak ragu. Juan kini bagai bocah labil yang bingung dengan pilihannya.Â
"Mari berburu bersamaku." ajak Lana. Ia melangkah menuju pintu dan menutupnya. Kemudian dalam sekejap, ia mengambil posisi berdiri di depan Juan.
Ia membaca beberapa mantra atau apalah itu yang tidak Juan mengerti. Kemudian mengarahkan tangannya ke leher. Dalam beberapa menit, sebuah kilatan cahaya merah menyelimuti leher Lana. Ia mencabut kepala dari tubuhnya dengan begitu mudah. Meninggalkan Juan yang berteriak histeris bagai bayi.Â
"Mama. Tolong. Dia ngelepasin lehernya lagi dong, demi apa? Bapa di surga, tolong anakmu ini." rengek Juan sambil memalingkan kepalanya. Badannya sudah merosot dari kursi sedari tadi. Perlahan ia mundurkan tubuhnya sembari merapalkan doa-doa yang ia bisa.Â
Lana tertawa horor. Seolah menertawakan tingkah konyol Juan saat ini. Usus dan jerohannya menjuntai di udara. Mengikuti kepalanya yang mendekat ke arah Juan.Â
"Jangan membual tentang cinta, J. Yang kamu incar hanyalah lapisan luarku. Jika benar kamu mencintaiku, kamu tidak akan ketakutan setengah mati melihatku seperti ini sekarang. Bagaimana, apakah kamu masih ingin membuat anak denganku?" tanya Lana sembari terus tertawa dengan horor. Membuat Juan bergidik sendiri.Â
"Aku masih tetap mau kok bikin anak sama kamu, tapi janji plis, bikin anaknya jangan pakai wujud begini." jawab Juan spontan yang membuat Lana tertawa terbahak-bahak. Bahkan sampai air matanya turun dari sudut mata. Kepala Lana mulai kembali ke tubuhnya. Kini penampilan Lana sudah kembali normal. Ia mendudukan dirinya di lantai.Â
Juan lega melihatnya.
"Nah gitu kek daritadi." ucap Juan sambil menepuk dadanya lega. Jujur ia masih belum terbiasa dengan wujud Lana yang satu ini.Â
"Aku butuh makan saat ini. Kamu tahu itu kan? Dan yang aku butuhkan bukan sate ayam atau soto daging." ujar Lana seolah ingin mencandai Juan.Â
"Aku bawain anak kambing buat kamu. Apa itu cukup untuk sekarang?"Â
Lana tertegun. Ia tidak tahu bahwa Juan bahkan sudah membawakan mangsa segar untuknya. Juan tanpa banyak bicara langsung ke luar rumah menuju mobilnya. Ia menarik seekor anak kambing ke dalam rumah. Lalu memberikannya kepada Lana.Â
"Sekarang. Ini milik kamu. Aku harap ini cukup untuk malam ini."
Lana memandang Juan dengan berkaca-kaca. Ia terharu. Dalam sekejap, ia melepaskan lagi kepalanya, yang membuat anak kambing lepas dari pegangan di tangan Lana dan berlari ketakutan. Menabrak beberapa perabotan di rumah itu dan menciptakan kegaduhan.Â
"Yah, dia nyopot kepalanya lagi. Ya ampun. Kuatkan hamba ya Tuhan." ucap Juan lirih. Setengah ngeri.Â
Beberapa barang sudah pecah, sebelum akhirnya Juan menangkap anak kambing itu dan memegang ikatan lehernya. Sehingga kini anak kambing itu tidak dapat melarikan diri.
Perlahan kepala Lana mendekat, menancapkan giginya ke leher anak kambing yang kini berteriak memilukan. Lana menghisap habis darah anak kambing, sementara Juan memalingkan kepalanya. Masih tak tega melihat kematian anak kambing itu tepat di depan matanya sendiri.Â
Juan mau muntah mencium bau anyir darah, terlebih oleh bau yang keluar dari usus dan jerohan Lana. Ia berusaha menguatkan diri, sebelum akhirnya berlari keluar rumah dan memuntahkan isi perutnya.Â
Lana kemudian menghampiri Juan dengan wujud manusianya. Memukul pelan punggung Juan, bermaksud membantunya.Â
"Maaf, kamu harus melihat hal menjijikan seperti ini Juan." ucap Lana penuh sesal dan malu. Namun Juan menggelengkan kepalanya sembari menyentuh sisian wajah Lana yang kini terlihat lebih berseri.Â
"For you, to infinity and beyond, Lana." ucap Juan sembari mengecup dahi Lana yang membuat wajah Lana bersemu.Â
Mereka akhirnya masuk ke dalam rumah dan membersihkan kegaduhan yang terjadi akibat ulah anak kambing itu. Tak lupa, Juan menguburkan anak kambing itu.Â
Darah hewan hanya cukup untuk memenuhi energi Lana 2-3 hari, maka Juan bertekad membantu Lana mencarikan darah bayi yang baru lahir. Sungguh pekerjaan yang sulit. Karena tidak setiap hari ada anak bayi lahir di daerah ini.Â
Awalnya Juan takut-takut melakukan aksinya. Satu sudut hatinya menolak, namun sudut hatinya yang lain mengatakan, ia harus melakukannya untuk membantu Lana. Maka dimulailah perjalanan Juan, pergi ke rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya, mencari orang yang bersalin. Memberi uang pada petugas rumah sakit agar dapat membantunya mendapatkan darah persalinan bayi yang masih segar.Â
Terkadang Juan membawakan darah hewan, jika ia tak menemukan darah bayi segar sesuai permintaan Lana. Yang jelas, semakin lama, ia dan Lana semakin dekat dan terhubung. Baginya, Lana adalah bagian dari dirinya kini.Â
Memang semua tak mudah. Tapi bagi Juan, keadaan Lana jauh lebih tidak mudah. Dan ini semua, bukan keinginan Lana pribadi. Ia mencintai Lana, dan akan selalu begitu. Karena itu, sebesar apapun cobaan itu, ia akan mencoba menghadapinya. Bersama Lana.Â
#############
Flashback On
"Kenapa kamu bisa ada disini sih Can?" ucap Lana setelah menarik Candra ke pantry yang sedang sepi.Â
"Ya mau apa lagi. Aku magang lah, Kak. Lagian aku males banget tau liat muka kakak yang galau 24/7 gara-gara cowok itu. Jadi aku ngide aja deh magang disini. Sekalian nge-triggered mantan kakak terkasih itu." jawab Candra dengan santai.Â
"Nge-triggered, maksudnya?" Lana tak mengerti ucapan Candra. Candra bekerja disini saja sudah membuat dia terkejut.Â
"Urusan cowok, Kak. Tugas kakak tuh cuma satu. Bersikap pura-pura gak kenal aku selama di kantor, pokoknya pura-pura dingin lah. Oke! Dah ya, aku balik kerja dulu. Bye, Kak." jawab Candra sambil berlalu meninggalkan Lana.Â
"Hah, ga ngerti lagi. Punya sepupu satu, tapi kelakuannya ajaib banget." ucap Lana sembari membersihkan tangannya di wastafel.
Flashback Off
The End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H