Mohon tunggu...
Eka MP
Eka MP Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis - Blogger

Pecandu Teh dan Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Di PintuMu Aku Mengetuk

10 Mei 2021   21:53 Diperbarui: 10 Mei 2021   21:57 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pria itu termenung menatap kolam ikan di halaman belakang rumahnya yang luas. Usianya sudah lewat setengah abad tapi beban tanggung jawabnya belum juga berkurang. Dia teringat kehidupannya saat susah dulu. Mencari uang dengan bekerja serabutan. 

Hingga suatu hari dia mendapat pekerjaan di sebuah toko kelontong milik keluarga terkaya di kampung. Meski bukan pekerjaan impian setidaknya gaji yang diberikan setiap minggu mampu menyambung hidup ibu dan adik-adiknya. Sepeninggal ayah mereka hidup semakin susah. Dulu ibunya buruh cuci yang berkeliling dari rumah ke rumah. Sementara ayahnya buruh bangunan yang mendapat uang saat ada proyek pembangunan saja. 

Seraya menyelesaikan sekolah dia bekerja di toko kelontong itu. Tugasnya termasuk mengantarkan pesanan ke pembeli dengan gerobak. 

Setidaknya tugas itu membuatnya mengenal orang-orang kaya lainnya. Juragan beras, juragan minyak dan para petinggi kampung. 

Betapa nyaman kehidupan orang kaya. Tak perlu bekerja keras, ingin apapun langsung tersedia. 

Keinginan menjadi orang kaya tertanam kuat di hati dan pikirannya. Bekerja keras dan bersekolah hingga dia memiliki modal untuk merantau dan berusaha di kota besar. 

Dari usaha percetakan kecil yang dimulai bersama beberapa kawannya kini dia sudah memiliki banyak usaha besar. Perusahaan yang bergerak di berbagai bidang dari mulai tambang hingga perhotelan. 

Targetnya sudah tercapai, menjadi orang kaya. Ibu dan adik-adiknya pun hidup terjamin tak kurang suatu apapun. Hanya saja ternyata menjadi orang kaya tidak otomatis memberinya hak untuk bersantai dan menikmati hidup. 

Justru tanggung jawabnya semakin berat. Mempertahankan pencapaian bukan hal mudah. Kerja keras sangat dibutuhkan. Selain itu juga harus memahami jalur-jalur yang tepat untuk mendapatkan proyek. 

Uang yang dipertaruhkan untuk proyek kali ini sangat besar. 

Beberapa investor sudah mengejar kepastian izin proyek. Utang bank yang harus dibayar karena salah perhitungan sebuah investasi mengancam meruntuhkan kerajaan bisnisnya. Tak ada pilihan lain, proyek kali ini harus goal. 

Nasib para karyawan juga menjadi taruhan. Jika gagal mereka semua terpaksa di PHK. 

Amplop coklat berat di tangannya akan berpindah kepada seseorang yang bisa memuluskan jalan proyek impiannya. 

Dia mendengar suara mendehem. Wawan, sopirnya sudah berdiri tak jauh darinya menunggu. 

"Wan, serahkan ini kepada anggota dewan yang biasa. Ingat, harus langsung diserahkan kepadanya jangan lewat orang lain."

Wawan mengangguk dan menerima amplop tersebut, kemudian berpamitan. 

***

Di mobil Wawan berkali-kali melirik ke arah amplop berisi uang yang ditaruh di bawah jok kursi. Jumlah uang yang sangat banyak dalam bentuk Rupiah dan Dollar Amerika. 

Ini sudah ketiga kalinya dia mengantarkan amplop serupa. Sebelumnya penerimanya tak pernah menghitung jumlahnya. Karena setelah diterima langsung dimasukkan ke dalam laci.

Pikirannya berkelana ke kampung halaman. Telepon dari adiknya mengabarkan kalau ayahnya harus masuk rumah sakit. Ada obat yang tidak ditanggung BPJS. Uang gajinya sudah habis untuk kebutuhan hidup dan menyekolahkan adik-adik. Belum lagi membayar utang ayahnya kepada rentenir dengan bunga yang mencekik. Rasanya utang tersebut tak juga berkurang meski sudah banyak dicicil. 

Ayahnya terpaksa berutang saat ibunya sakit dan harus bolak balik berobat ke rumah sakit di kota. Semua itu membutuhkan biaya. Belum lagi biaya sekolah Wawan dan adik-adiknya. Setelah ibunya meninggal utang terlanjur bertumpuk. Agar satu-satunya tempat bernaung tak sampai tergadai Wawan berjuang melunasi utang tersebut. 

Dia nyaris putus asa. Kerja keras selama bertahun-tahun tak nampak hasilnya. Sekali lagi pandangannya mengarah ke bawah kursi. Selembar dua lembar hilang mungkin tak akan dicari anggota dewan yang terhormat. Tapi baginya sangat berarti untuk menyelesaikan masalahnya kali ini. Wawan pun sudah menetapkan keputusan. 

***

Amplop dari seorang pengusaha sudah ada ditangannya. Langsung dimasukkan ke dalam laci. Memberi sedikit tips untuk sopir yang mengantarkan tak jadi soal. Sekarang hatinya sudah bisa tenang. Menjadi anggota dewan yang terhormat seperti sekarang membutuhkan banyak dana. Menjaga konstituen agar terus loyal, mempertahankan pencitraan di ranah publik untuk mendongkrak perolehan suara, semua butuh biaya. 

Rumah warisan orang tuanya pun tergadai. Namun kini sudah saatnya menebus kembali apa yang menjadi haknya. 

Lagipula sebentar lagi lebaran. Banyak yang akan datang dan meminta Tunjangan Hari Raya. Termasuk tim sukses dan keluarga besar di kampung. Jangan sampai dia kehilangan loyalitas hanya karena tak mau mengeluarkan sedikit uang. 

Dia tersenyum seraya meraih ponsel dan menekan nomornya. Setelah mendapat sahutan dari seberang dia berkata singkat, "Sudah diterima. Tunggu saja izinnya akan keluar."

Tapi senyum itu tak bertahan lama. Tiba-tiba ruang kerjanya diserbu segerombolan orang yang berteriak-teriak memerintahkan siapapun untuk diam di tempat. 

Sial! Dia menyumpah dalam hati, tak ada waktu menyembunyikan amplopnya. Kini anggota dewan itu hanya bisa terduduk pasrah dan menutup mulut rapat-rapat sampai bertemu pengacaranya. 

***

Wawan baru saja hendak menyalakan mesin mobil saat kaca jendela diketuk orang. Kemudian diketahui orang tersebut adalah penyidik KPK. Dia tertunduk lesu saat digiring pergi. Tak terasa air matanya mengalir terbayang wajah ayah dan adik-adiknya yang mengharapkan datangnya kiriman uang.  Menyesali beberapa lembar uang di sakunya yang tak sempat terkirim ke kampung.

***

Beberapa Bulan Kemudian

Doc Pribadi
Doc Pribadi

Suara Adzan Maghrib berkumandang. Wawan beranjak mengambil wudhu, tiba-tiba pundaknya disentuh dari belakang. Dilihatnya mantan bosnya yang kini tampak semakin kurus. Rambutnya pun sudah semakin banyak yang memutih. 

Di sini mereka setara, tak ada bos atau sopir. Keduanya sama-sama sedang menebus kesalahan masa lalu. 

Berada dalam lembaga pemasyarakatan membawa kesadaran untuk kembali kepada fitrah manusia. Mengikuti semua perintah Rabb-nya dan menjauhi larangan-Nya.

Tak ada kata-kata saat keduanya beriringan ke ruang wudhu. Membasuh bagian demi bagian dengan air mengalir. Mensucikan diri, meluruhkan dosa-dosa. Berharap dengan banyak bersujud pintu tobat akan terbuka.   

Jakarta

Mei 2021

Eka MP

Catatan: Judul dikutip dari puisi karya Chairil Anwar yang berjudul "Doa".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun