Beberapa investor sudah mengejar kepastian izin proyek. Utang bank yang harus dibayar karena salah perhitungan sebuah investasi mengancam meruntuhkan kerajaan bisnisnya. Tak ada pilihan lain, proyek kali ini harus goal.Â
Nasib para karyawan juga menjadi taruhan. Jika gagal mereka semua terpaksa di PHK.Â
Amplop coklat berat di tangannya akan berpindah kepada seseorang yang bisa memuluskan jalan proyek impiannya.Â
Dia mendengar suara mendehem. Wawan, sopirnya sudah berdiri tak jauh darinya menunggu.Â
"Wan, serahkan ini kepada anggota dewan yang biasa. Ingat, harus langsung diserahkan kepadanya jangan lewat orang lain."
Wawan mengangguk dan menerima amplop tersebut, kemudian berpamitan.Â
***
Di mobil Wawan berkali-kali melirik ke arah amplop berisi uang yang ditaruh di bawah jok kursi. Jumlah uang yang sangat banyak dalam bentuk Rupiah dan Dollar Amerika.Â
Ini sudah ketiga kalinya dia mengantarkan amplop serupa. Sebelumnya penerimanya tak pernah menghitung jumlahnya. Karena setelah diterima langsung dimasukkan ke dalam laci.
Pikirannya berkelana ke kampung halaman. Telepon dari adiknya mengabarkan kalau ayahnya harus masuk rumah sakit. Ada obat yang tidak ditanggung BPJS. Uang gajinya sudah habis untuk kebutuhan hidup dan menyekolahkan adik-adik. Belum lagi membayar utang ayahnya kepada rentenir dengan bunga yang mencekik. Rasanya utang tersebut tak juga berkurang meski sudah banyak dicicil.Â
Ayahnya terpaksa berutang saat ibunya sakit dan harus bolak balik berobat ke rumah sakit di kota. Semua itu membutuhkan biaya. Belum lagi biaya sekolah Wawan dan adik-adiknya. Setelah ibunya meninggal utang terlanjur bertumpuk. Agar satu-satunya tempat bernaung tak sampai tergadai Wawan berjuang melunasi utang tersebut.Â