Indonesia dan seluruh negara di dunia sedang mengalami krisis kesehatan yang memiliki dampak luar biasa ke semua sektor kehidupan baik pendidikan, sosial, hingga perekonomian. Pandemi yang terjadi akibat virus COVID-19 menimbulkan pengaruh yang begitu besar bagi perekonomian semua bangsa. Semua negara berusaha keras agar keadaan dapat kembali seperti semula dengan mencegah penyebaran virus COVID-19 supaya semua aspek dapat terkendali dan berjalan sebagaimana mestinya.
Masalah yang awalnya hanya terjadi pada sektor kesehatan lama-kelamaan merembet sampai-sampai sektor perekonomian juga terkena imbasnya. Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa pandemi virus corona telah merusak perekonomian dunia lebih buruk dari apa yang telah diperkirakan sebelumnya. IMF memprediksi output perekonomian pada dunia tahun ini akan menyusut hampir 5% atau lebih buruk 2% daripada yang telah diperkirakan pada bulan April 2020. Pada bulan Juli 2020, IMF menyebutkan bahwa dengan adanya penurunan output maka dunia akan kehilangan output ekonomi sebesar US$12 triliun selama dua tahun. Penurunan tersebut diakibatkan oleh turunnya permintaan masyarakat sebagai konsumen karena diberlakukannya berbagai macam protokol kesehatan seperti karantina wilayah dan protokol jaga jarak dengan sesama untuk menghindari penularan virus tersebut.
Turunnya permintaan masyarakat terjadi karena masyarakat mulai mengurangi konsumsi. Masyarakat mulai mengurangi konsumsi karena mereka menabung untuk berjaga-jaga sebab kondisi masa depan tidak dapat diprediksi apakah lebih baik atau justru sebaliknya. Banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat pandemi juga menyebabkan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga meningkatkan pengangguran dan akhirnya menurunkan pemasukan masyarakat. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia menunjukkan angka 2,9 juta karyawan per Mei 2020.
Jumlah penduduk Indonesia yang terpapar COVID-19 sampai saat ini adalah 751.270 jiwa (1 Januari 2021) dengan jumlah pasien sembuh 617.936 jiwa dan pasien meninggal berjumlah 22.329 jiwa. Akibat adanya peristiwa pandemi ini, beberapa perubahan terjadi dalam perekonomian Indonesia, di antaranya:
- Harga barang atau bahan pokok seperti sembako semakin tinggi akan tetapi permintaan konsumen semakin rendah.
- Modal yang telah dikeluarkan perusahaan untuk melakukan proses produksi suatu barang tidak sejalan dengan permintaan konsumen.
- Para pedagang di pasar konvensional merasakan kerugian yang begitu masif akibat munculnya pandemi. Hal tersebut dikarenakan adanya penerapan protokol kesehatan seperti sosial distancing untuk memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19 sehingga masyarakat lebih memilih untuk berbelanja pada online shop.
- Selama masa pandemi, konsumen lebih memilih untuk menghemat pengeluaran daripada membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting.
Berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro APBN 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai angka 5,3%, nilai tukar Rupiah senilai Rp14.400, inflasi sebesar 3,1%, dan suku bunga SPN sebesar 5,4%. Namun, masuknya virus corona ke Indonesia menyebabkan kondisi perekonomian Indonesia mengalami resesi selama masa pandemi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan yang cukup signifikan hingga menunjukkan angka minus 5,32% pada triwulan kedua tahun 2020. Hal tersebutlah yang akhirnya berdampak pada munculnya pengangguran dan kemiskinan serta menyebabkan defisit anggaran.
Defisit anggaran adalah selisih antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara sehingga menunjukkan angka negatif. Dengan kata lain, defisit anggaran ialah suatu kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran negara. Ketika pemerintah berbelanja lebih banyak daripada yang dikumpulkan lewat pajak maka pemerintah akan mengalami defisit anggaran. Defisit anggaran tersebut nantinya dapat dibiayai dengan meminjam kepada sektor swasta atau pemerintah asing.
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya defisit anggaran, yang pertama ialah defisit terjadi karena adanya pembiayaan pembangunan. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan merupakan hal yang lumrah terjadi. Pembangunan harus terus berjalan karena pembangunan bertujuan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pembangunan terkadang juga dijadikan sebagai lahan investasi tetapi jika tidak sebanding, pengeluaran akan lebih besar daripada pemasukan.
Faktor penyebab defisit anggaran yang kedua adalah daya beli masyarakat yang rendah. Rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan permintaan konsumen berkurang sehingga perekonomian akan terhambat. Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikan subsidi supaya harga barang lebih terjangkau dan masyarakat dengan penghasilan rendah mampu memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Akan tetapi, pada jangka panjang, pemberian subsidi dapat menyebabkan terjadinya defisit anggaran sebab subsidi dilakukan dengan mengabil kas negara sehingga pengeluaran akan semakin besar.
Penyebab terjadinya defisit anggaran yang ketiga yaitu lemahnya nilai tukar mata uang. Apabila terjadi depresiasi mata uang Rupiah maka utang Indonesia juga akan semakin besar. Hal tersebut dapat terjadi karena saat suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, pinjaman tersebut dihitung menggunakan valuta asing sedangkan saat melakukan pembayaran, pinjaman tersebut dihitung menggunakan mata uang negara peminjam. Oleh sebab itu, saat terjadi depresiasi mata uang negara peminjam maka utang luar negeri akan meningkat.
Faktor yang keempat adalah terjadinya inflasi yang tidak terduga. Beban biaya atas program pemerintah akan ikut naik jika terjadi inflasi, padahal anggaran atas program-program tersebut telah ditetapkan sebelum terjadinya inflasi. Mau tidak mau, pemerintah harus merevisi APBN dan harus mengeluarkan kas yang lebih besar untuk membiayai program tersebut.
Faktor yang terakhir ialah realisasi penerimaan negara yang tidak sesuai dengan target. Pada saat pemerintah membuat APBN, pemerintah tentu sudah membuat rencana sumber keuangan negara. Akan tetapi, tidak jarang penerimaan negara tidak mencapai target yang telah ditetapkan sehingga pemerintah harus melakukan pemotongan budget untuk program-program tertentu yang akhirnya membuat program tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pemerintah juga harus menutup kekurangan tersebut.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020 diproyeksikan akan mengalami defisit sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76% terhadap PDB (sama seperti defisit RAPBN tahun 2020). Rasio defisit APBN dan defisit keseimbangan primer tahun 2020 merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Berikut adalah grafik yang menunjukkan defisit anggaran Indonesia dari tahun ke tahun.
Dari tahun ke tahun, defisit anggaran negara Indonesia semakin besar. Meskipun sempat mengecil pada tahun 2018 hingga tahun 2019, defisit anggaran kembali membesar pada tahun 2020. Grafik tersebut mengalami tren yang menurun, jadi dapat diprediksikan bahwa kemungkinan besar defisit anggaran Indonesia pada tahun berikutnya akan semakin besar.
Pandemi COVID-19 tiba-tiba hadir dan membawa dampak yang menyebabkan efek domino. APBN 2020 yang telah disusun sebelumnya oleh pemerintah sudah tidak relevan lagi dan memerlukan adanya revisi. Dengan disahkannya Perpu No. 1 Tahun 2020, pemerintah merelaksasi batas defisit 3% dari PDB selama tiga tahun. Perpu tersebut akhirnya disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 yang berlaku hingga Tahun Anggaran 2022. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, "Ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan, bantuan sosial, serta stimulus ekonomi khususnya melalui pengalokasian stimulus fiskal yang besarnya hampir mencapai 4,5% dari PDB". (Selasa 18 Agustus 2020).
Berbekal Perpu No. 1 Tahun 2020 itulah, pada bulan April tahun 2020, pemerintah melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan. Pada revisi yang pertama, defisit APBN ditingkatkan dari yang sebelumnya 1.76% terhadap PDB (Rp307 triliun) menjadi 5,07% terhadap PDB (Rp853 triliun). Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan dari dampak COVID-19.
Pada bulan Juni 2020, pemerintah kembali mengeluarkan revisi kedua APBN melalui Perpres No. 72 Tahun 2020. Pada revisi kedua ini, pemerintah kembali melebarkan batas defisit APBN hingga menyentuh angka 6,34% dari PDB. Tingginya angka defisit ini disebabkan oleh menurunnya penerimaan negara dari sisi pajak, bea cukai, dan PNBP, serta meningkatnya belanja yang dibutuhkan untuk penanganan COVID-19. Pelebaran defisit seperti yang dilakukan pemerintah diperlukan karena pendapatan negara, khususnya dari pajak, mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal tersebut juga dilakukan untuk tindakan antisipasi karena ketidakpastian pemulihan perekonomian global dalam beberapa tahun ke depan.
Defisit anggaran merupakan hal yang umum dijumpai di negara berkembang. Terdapat beberapa cara untuk membiayai defisit anggaran baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran.
1. Sisi Penerimaan
- Melakukan pinjaman pada bank dalam negeri. Cara ini akan mendorong terjadinya penciptaan uang sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat akan meningkat. Akan tetapi jika penawaran tersebut tidak diimbangi dengan penambahan jumlah kuantitas barang maka dapat memicu terjadinya inflasi.
- Melakukan penerbitan obligasi. Penjualan obligasi akan menyerap uang dari masyarakat dan menambah penerimaan negara. Penyerapan uang tersebut akan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga berdampak pada penurunan harga.
- Melakukan pinjaman ke luar negeri. Pinjaman tersebut digunakan untuk proyek-proyek yang produktif dan efisien seperti pembangunan sarana dan prasarana ekonomi lalu pembayaran cicilannya dapat diambilkan dari pajak.
- Meningkatkan penerimaan pajak. Penerimaan pajak yang lebih besar tentunya akan menambah penerimaan negara. Pajak tersebut bisa didapat melalui pajak langsung dan tidak langsung.
- Melakukan pencetakan uang. Hal ini dapat membiayai defisit anggaran negara tetapi juga dapat menyebabkan inflasi.
Negara terkadang lebih memilih melakukan pinjaman ke luar negeri untuk membiayai defisit karena dengan meminjam ke luar negeri, penerimaan pajak dapat diutamakan untuk keperluan yang lebih produktif. Selain itu, pemungutan pajak yang terlalu tinggi juga memberatkan masyarakat dengan pendapatan rendah. Dengan melakukan pinjaman ke luar negeri, pembangunan sarana dan prasarana yang mempunyai dampak positif bagi tumbuhnya investasi swasta akan berakibat pada peningkatan penerimaan pajak.
2. Sisi Pengeluaran
- Pengurangan subsidi. Dilakukan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah terhadap subsidi pada barang-barang tertentu.
- Pengurangan pengeluaran rutin ataupun pembangunan. Melakukan penghematan pada pengeluaran yang bersifat rutin maupun pengeluaran pada pembangungan.
- Mengutamakan program yang lebih menguntungkan. Dengan cara ini, pemerintah dapat mengurangi pengeluaran karena untuk sementara tidak perlu membiayai program-program yang nantinya merugikan pemerintah. Pemerintah juga bisa mendapat pemasukan secara cepat karena mengutamakan program yang lebih efektif, efisien, dan menguntungkan.
Cara-cara tersebutlah yang dapat digunakan pemerintah dalam menanggulangi atau membiayai defisit anggaran. Setiap sistem pemerintahan pasti memiliki ciri khas masing-masing sehingga memiliki cara yang berbeda pula dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Pada masa sekarang, terdapat beberapa strategi pembiayaan yang disiapkan pemerintah untuk menutup defisit anggaran yang membengkak akibat COVID-19. Pertama, pemerintah dapat melakukan pembiayaan melalui sumber internal pemerintah (non utang), seperti pos dana abadi, pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL), dan dana yang bersumber dari Badan Layanan Umum (BLU). Cara selanjutnya adalah pemerintah dapat melakukan pembiayaan defisit anggaran melalui penarikan pinjaman yang merupakan program dari berbagai lembaga bilateral dan multilateral dengan bunga yang relatif lebih rendah. Pemerintah juga dapat menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) pada pasar domestik. Strategi lainnya dalam membiayai defisit anggaran adalah dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) dan meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Hal tersebut lah yang sekarang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menutup defisit anggaran tahun ini.
Pemerintah juga telah menyusun RAPBN 2021 yang diarahkan untuk memperkuat upaya pemulihan ekonomi sejalan dengan penguatan penanganan kesehatan akibat pandemi COVID-19. Selain itu, RAPBN 2021 juga bertujuan untuk mendorong reformasi struktural di berbagai bidang dalam rangka meningkatkan produktivitas, inovasi, dan daya saing ekonomi Indonesia.
Defisit anggaran sejatinya adalah hal yang telah ada sejak lama di Indonesia. Solusi dalam mengatasi hal tersebutlah yang tengah dicari oleh pemerintah. Hendaknya, sebagai warga negara Indonesia, kita ikut berpartisipasi dalam memecahkan masalah bersama yang tengah kita hadapi. Seluruh aspek harus bekerja sama dalam memperbaiki kondisi saat ini. Meskipun defisit anggaran bukanlah satu-satunya problema yang terjadi di Indonesia, setidaknya kita bisa berusaha membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H