Rini pun melepaskan tangannya lalu segera duduk untuk beristirahat. Sedangkan Johan masih menahan kesakitan.
"wkwk makanya kamu jangan sembarangan sama Rini.. Iya gak Rin" ucap Dwi sambil tertawa meledek Jo yang masih merasa kesakitan.
Mereka semua tertawa dan bersiap-siap untuk membangun tenda, membuat api unggun dan menyiapkan beberapa makanan untuk sekedar cemilan. Mereka diingatkan oleh Kang Adi, pendaki dari Bandung itu untuk beristirahat cukup, karena esok hari harus akan melakukan Summit pada jam 3 pagi.
Rini sangat tidak sabar untuk segera sampai di puncak gunung, ini adalah impiannya sejak lama.
((Rini pov))
Hari kian larut malam, gigilnya kabut kian menjadi-jadi. Aku merasa sangat senang, bisa berpetualangan bersama teman-temanku. Kelak dingin ini yang akan membuatku rindu akan hutan belantara. Aku masih duduk dengan mantel tebal dan kupluk kesayanganku ini, yang mampu untuk menghangatkan tubuhku.
Sambil memandang ke arah teman-temanku yang sedaritadi menghangatkan tubuhnya dengan api unggun, dan melihat Jo membuat makanan untuk makan malam. Dia terlihat dewasa, pintar, berbeda dengan cowok kebanyakan. Nyala api unggun semburat di wajahnya, gemerlap bintang pun tak kalah untuk berusaha bersinar di wajahnya, senyumnya terlihat begitu manis. Tak kalah dengan manisnya lengkung bulan sabit dilangit. Aahhhh! Kenapa aku ini!
Aku masih ingin menikmati malam seperti ini lebih lama lagi. Meskipun kadang kala semilir angin terlalu menusuk, memaksaku untuk tidak lama berada disini. Aku sibuk memandang langit, dengan sesekali memandang indahnya senyuman, entah itu senyuman dari bulan sabit ataupun senyuman manis Jo. Aku larut dalam keindahan ciptaan Tuhan, aku memejamkan mata sambil bernafas panjang. Aku merasakan sesuatu yang sangat nyaman disini, namun lagi-lagi angin mencabikku sesukanya.
Rini....
Aku mendengar suara yang menenangkan, bukan suara semilir angina maupun jangkrik. Jo! Iyaa itu suara Jo. Aku membuka mataku dan berbalik badan.
"Rini... sedang apa sendirian?" tanya Jo keheranan.