Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ingin Lebih Sehat Mental, Mulai dari Mana?

3 Januari 2021   10:08 Diperbarui: 3 Januari 2021   12:33 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjalani hidup lebih sehat mungkin salah satu resolusi paling populer di tahun 2021 ini. Setelah selama satu tahun sebelumnya masyarakat dunia seolah dipaksa untuk memprioritaskan Kesehatan dibanding aspek kehidupan lainnya. 

'Sehat' dan 'kesehatan' dalam perspektif psikologi memiliki makna yang relatif subjektif. Kapan kita bisa menyatakan diri sebagai pribadi yang sehat? Apakah kebahagiaan adalah syarat menjadi sehat? Ataukah ini berkaitan dengan kemampuan kita mengatasi persoalan hidup? Apakah kita perlu memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang sekitar?

Definisi 'sehat mental' ini telah lama dikembangkan oleh banyak ahli melalui perspektif Psikologi. Dari Sigmund Freud yang mendefinisikan sehat sebagai kemampuan untuk bekerja dan mencintai, Abraham Maslow yang melihat pribadi sehat berkorelasi dengan aktualisasi diri, Viktor Frankl yang menyatakan pentingnya seseorang memiliki makna hidup, dan Carl Rogers yang menyorot aspek sehat dari keberfungsian manusia secara utuh. 

Para ahli ini percaya bahwa konsep sehat mental bukan sekedar ketiadaan stress buruk. Lebih luas lagi, sehat mental akan mendorong individu mencapai sesuatu. Semakin sehat seseorang, ia akan lebih banyak memberi, menciptakan, dan fokus pada kontribusi.

Tahun 2020 bagi banyak orang adalah tahun paling penuh dengan perubahan radikal. Jika Anda membaca tulisan ini, Anda adalah penyintas dari stressor luar biasa yang tidak terprediksi sebelumnya. Bentuknya mungkin berbeda bagi tiap orang: homeschooling sambil tetap bekerja, kehilangan pekerjaan, kematian orang-orang terdekat, kesulitan finansial, issue politik dan sosial yang tak kunjung henti. 

Sangat sulit mengukur betapa luasnya penyebab stress yang dialami sebagian besar populasi akibat pandemi ini. Tapi jika Anda mampu bertahan, itu adalah bukti tak terbantahkan bahwa Anda memiliki kekuatan dan sumber daya untuk mengatasi kesulitan.

Lalu apa yang bisa dipersiapkan agar 2021 ini kita bisa bergerak lebih baik dalam upaya menjadi individu yang sehat?

Pertama, ukur kesenjangan

Ketika kurang memiliki keseimbangan hidup, ini artinya ada kesenjangan yang cukup besar pada penempatan energi kita. Sebagian kesenjangan ini mungkin terlihat jelas, seperti ketika kita menghabiskan terlalu banyak waktu pada pekerjaan sehingga kurang memiliki waktu untuk keluarga. Akibatnya, muncul problem emosional yang dirasakan diri sendiri dan orang lain. 

Tetapi mungkin juga ada situasi yang kurang jelas untuk diidentifkasi, padahal keseimbangan hidup kita sebenarnya sedang terganggu. Ini dapat terjadi pada kita yang begitu sibuk dengan rutinitas harian atau rangkaian tugas sehingga aspek penting lain dari kehidupan seolah tidak nampak. 

Terkadang tanpa sadar kita begitu mempercayai gagasan bahwa seseorang harus mencurahkan seluruh energi mereka pada satu bidang agar mencapai kesuksesan. Periksa segera apakah kita merasakan tanda-tanda seperti : letih sepanjang waktu, tidak terhubung dengan orang-orang sekitar, muncul perilaku menghindar, lebih sensitif dan mood cepat berubah, atau motivasi kurang stabil.

Apabila tanda-tanda tersebut muncul, buat catatan untuk mengetahui dengan jelas bagaimana penempatan waktu dan energi kita. Tanyakan pada diri sendiri:

"Berapa jam dalam satu minggu saya habiskan untuk bekerja? Dari sekian jam tersebut, berapa lama waktu di mana saya sungguh-sunguh merasa puas pada pekerjaan saya? Kapan terakhir kali saya mengunjungi keluarga atau teman? 

Berapa banyak energi saya gunakan pada aktivitas yang membawa rasa Bahagia? Seberapa sering saya punya waktu untuk diri sendiri satu minggu ini? kapan terakhir kali saya beribadah dengan tenang? Apakah saya melakukan sesuatu agar sengaja menghindari perasaan tertentu? Jika ya, seberapa sering itu terjadi? Siapa atau apa yang saya rindukan akhir-akhir ini?"

Kedua, buat target perilaku yang melekat dengan rasa senang

Setelah kita mengidentifkasi di area mana kesenjangan hidup yang perlu mendapat perhatian lebih, segera buat target perilaku yang bisa diasosiasikan dengan perasaan positif. 

Mulailah dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai- meskipun awalnya mungkin masih terdengar abstrak, misal: ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman, ingin lebih peduli pada kesehatan diri dengan berolahraga, ingin lebih efektif dalam bekerja. Kemudian, temukan alasan personal mengapa kita harus mencapai hal-hal itu?

Memiliki alasan personal ini penting, sebab tidak sedikit kita melakukan sesuatu dengan motivasi ingin menghindari sesuatu alih-alih mencapai sesuatu yang lebih besar.

Kita mungkin ingin banyak bergaul karena tidak ingin dicap sombong, kita mungkin ingin berolahraga karena tidak ingin gemuk, kita mungkin ingin bekerja lebih efektif karena tidak ingin kehilangan waktu berlibur. 

Kata 'tidak' tersebut mengindikasikan kurangnya alasan personal sehingga akhirnya kita justru dikendalikan oleh hal-hal tidak menyenangkan yang ingin kita hindari.

Meskipun sebagai manusia kita kerap menganggap diri sebagai makhluk rasional, kenyataannya logika tidak mampu selalu memotivasi kita sekuat emosi. Kenapa? Sebab pada dasarnya, kita akan mendekat pada hal-hal yang membawa rasa senang, dan sedapat mungkin menghindar dari perasaan buruk. Jika kita memenuhi diri dengan tujuan yang sebenarnya ingin dihindari, ini yang menjadi penyebab mudahnya kita menyerah pada perubahan perilaku. 

Awalnya kita mungkin merasa hebat ketika membuat keputusan untuk mengubah pola hidup sehat, misalnya. Namun ketika satu waktu kita melanggar pola makan yang sudah diatur, kita akan cepat berpikir bahwa kebebasan untuk makan terasa dirampas. Makan coklat yang seharusnya menyenangkan malah menyebabkan rasa bersalah dan cemas.  Perasaan ini tentu tidak nyaman dan tidak memotivasi, sehingga kita tidak lagi merasa terkoneksi pada keputusan awal untuk diet.

Membuat alasan personal artinya memahami bagaimana melekatkan rasa senang pada perilaku yang ingin dibentuk. Mungkin alasan sesungguhnya kita ingin menurunkan berat badan karena ingin merasa lebih bugar dan kuat ketika melakukan travelling yang juga merupakan hobi kita? Kedua perasaan ini jauh lebih dekat dengan kehidupan pribadi sehingga efek positifnya pun relatif mudah dirasakan.

Ketiga, small wins matter

Terlalu sibuk pada target-target besar seringkali mengalihkan perhatian kita pada area kehidupan lain sifatnya yang lebih 'halus'.  Mencapai skor 8,9,10 tentu menyenangkan, tapi bahkan mencapai 5 pun lebih baik daripada 1 bukan?

Era disruptif banyak mengajarkan kita untuk mencetak sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya karena kompetisi memang didesain sebagai proses yang seakan tidak berujung. Padahal sebenarnya kemenangan-kemenangan kecillah yang memberi makna pada kemenangan besar. Saat wisuda misalnya, kita akan jauh lebih menghargai moment itu karena teringat betapa sulitnya mendapat nilai B pada mata kuliah tertentu untuk lulus.

Perhatian pada hal-hal kecil juga membantu kita membuat target perilaku yang spesifik. Sebagai contoh, "saya ingin lebih bugar tahun ini" mungkin terdengar terlalu ambisius dan sulit diukur. Mengapa tidak menggantinya dengan "saya ingin mengikuti sedikitnya 4 event marathon tahun ini".

Kemudian, pecah lagi target tersebut pada perilaku-perilaku harian yang terukur dan bisa kita 'rayakan' pencapaiannya: ikut kelas online HIIT exercise  tiga kali seminggu, jalan pagi 5km bersama anak bulu kesayangan, atau lari treadmill 30 menit setiap sore. Membuat gambaran jelas perilaku apa yang harus dilakukan setiap hari akan membentuk kita lebih mindful menjalaninya.

Sebagai kesimpulan, konsep 'kesehatan' sebenarnya lebih merepresentasikan kondisi ideal ketimbang sebuah produk akhir. Ini bukan sekedar mencapai status tertentu lalu selesai dengan proses bertumbuh kita sebagai manusia. 

Upaya memenuhi profil kriteria sebagai individu yang sehat memang akan berlangsung tanpa henti selama kita hidup. Namun awal tahun ini bisa kita gunakan sebagai momentum yang tepat untuk memulai perubahan yang terukur dan bergerak ke arah progresif. Bersamaan dengan tekad kita untuk lebih sehat secara fisik, mental, dan spiritual, ayo tantang diri kita untuk melakukan perubahan ini dengan cara-cara yang baru!.

Ega Asnatasia Maharani, - Dosen dan Psikolog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun