Apabila tanda-tanda tersebut muncul, buat catatan untuk mengetahui dengan jelas bagaimana penempatan waktu dan energi kita. Tanyakan pada diri sendiri:
"Berapa jam dalam satu minggu saya habiskan untuk bekerja? Dari sekian jam tersebut, berapa lama waktu di mana saya sungguh-sunguh merasa puas pada pekerjaan saya? Kapan terakhir kali saya mengunjungi keluarga atau teman?Â
Berapa banyak energi saya gunakan pada aktivitas yang membawa rasa Bahagia? Seberapa sering saya punya waktu untuk diri sendiri satu minggu ini? kapan terakhir kali saya beribadah dengan tenang? Apakah saya melakukan sesuatu agar sengaja menghindari perasaan tertentu? Jika ya, seberapa sering itu terjadi? Siapa atau apa yang saya rindukan akhir-akhir ini?"
Kedua, buat target perilaku yang melekat dengan rasa senang
Setelah kita mengidentifkasi di area mana kesenjangan hidup yang perlu mendapat perhatian lebih, segera buat target perilaku yang bisa diasosiasikan dengan perasaan positif.Â
Mulailah dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai- meskipun awalnya mungkin masih terdengar abstrak, misal: ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman, ingin lebih peduli pada kesehatan diri dengan berolahraga, ingin lebih efektif dalam bekerja. Kemudian, temukan alasan personal mengapa kita harus mencapai hal-hal itu?
Memiliki alasan personal ini penting, sebab tidak sedikit kita melakukan sesuatu dengan motivasi ingin menghindari sesuatu alih-alih mencapai sesuatu yang lebih besar.
Kita mungkin ingin banyak bergaul karena tidak ingin dicap sombong, kita mungkin ingin berolahraga karena tidak ingin gemuk, kita mungkin ingin bekerja lebih efektif karena tidak ingin kehilangan waktu berlibur.Â
Kata 'tidak' tersebut mengindikasikan kurangnya alasan personal sehingga akhirnya kita justru dikendalikan oleh hal-hal tidak menyenangkan yang ingin kita hindari.
Meskipun sebagai manusia kita kerap menganggap diri sebagai makhluk rasional, kenyataannya logika tidak mampu selalu memotivasi kita sekuat emosi. Kenapa? Sebab pada dasarnya, kita akan mendekat pada hal-hal yang membawa rasa senang, dan sedapat mungkin menghindar dari perasaan buruk. Jika kita memenuhi diri dengan tujuan yang sebenarnya ingin dihindari, ini yang menjadi penyebab mudahnya kita menyerah pada perubahan perilaku.Â
Awalnya kita mungkin merasa hebat ketika membuat keputusan untuk mengubah pola hidup sehat, misalnya. Namun ketika satu waktu kita melanggar pola makan yang sudah diatur, kita akan cepat berpikir bahwa kebebasan untuk makan terasa dirampas. Makan coklat yang seharusnya menyenangkan malah menyebabkan rasa bersalah dan cemas. Â Perasaan ini tentu tidak nyaman dan tidak memotivasi, sehingga kita tidak lagi merasa terkoneksi pada keputusan awal untuk diet.