Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mempersiapkan Diri dengan Pandemik Toolbox

27 Maret 2020   14:09 Diperbarui: 27 Maret 2020   15:03 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calm Your Mind | kbncoaching.com

Memasuki bulan ketiga sejak virus corona pertama kali teridentifikasi, saat ini berbagai negara sedang memberlakukan kebijakan darurat. Malaysia dengan kebijakan Movement Control Order (MCO), Arab Saudi me-lockdown 3 kota besarnya, New Zealand mengubah status pembatasan menjadi level-4, sementara di Indonesia saat ini memberikan himbauan physical distancing. Semua bentuk kebijakan itu memiliki tujuan yang sama: kontak minimum antar individu sehingga menekan angka penyebaran virus.

Konsekuensi logis dari kebijakan ini salah satunya adalah menurunnya interaksi antar manusia di lingkungan fisik. Meskipun sosial media dapat memitigasi efek negatif social distancing, namun hal ini terbatas pada populasi tertentu saja. Berada pada area yang sama terus menerus -rumah, kamar kos, atau ruang isolasi- ditambah dengan kekhawatiran menjadi terinfeksi atau menginfeksi dapat menjadi sumber berbagai tekanan psikologis.

Data dari berbagai studi mengenai pengaruh psikologis jangka panjang dari masa karantina ini dapat berbentuk: kebingungan, rasa marah, atau gejala post-traumatic yang dapat bertahan hingga 3 tahun pasca kejadian. Studi mengenai efek psikologis pernah dilakukan di Canada tahun 2003, pada masa karantina wabah SARS selama 10 hari. 

Hasilnya menunjukkan 29% partisipan mengalami post-traumatic stress sementara 31% mengalami depresi. Sebagian besar hal ini disebabkan kurangnya kontak sosial dan fisik dengan orang lain. Studi serupa juga pernah dilakukan di Korea pada tahun 2015 ketika wabah MERS memasuki wilayah tersebut. Kecemasan dan rasa marah adalah gejala paling dominan yang muncul pada 15.000 partisipan selama 2 minggu masa karantina  

Lalu siapa saja kelompok individu yang rentan mengalami masalah psikologis selama dan setelah masa karantina ini?. Paling utama adalah mereka yang memiliki sejarah gangguan psikiatrik seperti: gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan panik, PTSD, gangguan afektif, skizofrenia, fobia. 

Jika seseorang memiliki riwayat kecemasan, perasaan tidak berdaya dan kehilangan kontrol dapat memperburuk kondisi cemasnya. Orang dengan claustrophobic (takut pada ruangan sempit) meningkat resiko stresnya jika kurang memiliki ruang gerak. Begitupun mereka yang pernah memiliki ide bunuh diri sebagai salah satu gejala depresi, juga rentan kembali tertekan dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Menghadapi resiko tersebut, berikut adalah beberapa manajemen stres yang disadur dari 3 modalitas psikologi: Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Acceptance and Commitment Therapy (ACT), dan Mindfulness. Memahami ada berbagai alternatif pendekatan yang berbeda untuk menjaga kesehatan mental dapat menjadi toolbox yang dapat kita siapkan di masa pandemi ini.

1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Prinsip dasar CBT adalah belajar mengidentifikasi pikiran, mengenali efeknya pada perasaan dan perilaku, lalu melakukan pemaknaan ulang. Dengan mengubah cara pikir, kita sekaligus mengubah respon emosi dan perilaku yang mengikutinya. Pikiran yang melandasi kecemasan pada dasarnya bersifat irasional. Mungkin pada awalnya pikiran itu diawali dengan kebenaran, namun kemudian berkembang menjadi cerita penuh kekhawatiran yang tidak akurat namun sangat dipercayai oleh pemiliknya.

Sebagai contoh, pada awalnya kita mengetahui bahwa Covid-19 dapat bertahan hidup pada benda-benda di sekitar yang sering kita sentuh. Informasi ini tentu sesuai dengan data resmi dari WHO. Namun kemudian pikiran kita membesarkan informasi ini menjadi: SEMUA benda yang kita pegang adalah pintu masuk virus. 

Pikiran ini begitu kuat hingga menimbulkan reaksi emosi cemas tinggi, sangat ketakutan, hingga mendorong kita melakukan perlindungan diri yang berlebihan. Kita akhirnya memutuskan pergi berbelanja dengan surgical glove, pergi ke tempat umum menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) medis. Semua ini adalah rantai bagaimana kecemasan berlebih dapat memicu perilaku irasional seseorang.

Secara praktis, CBT mengajarkan kita untuk kembali memperlambat kecepatan pikiran , memisahkan mana pikiran yang meresahkan, dan menggantinya dengan bukti-bukti, data atau sejarah, dan pemikiran rasional. Ini bukan tentang berpikir positif, tetapi bagaimana berpikir akurat.

Apabila pikiran kita dipenuhi kecemasan seperti: bagaimana jika saya ke supermarket lalu tertular? Bagaimana jika toko-toko kehabisan barang? Bagaimana jika ekonomi runtuh?

Setelahnya coba tantang pikiran kita dengan pikiran rasional yang lebih berbasis data: Ya itu adalah kemungkinan, tapi peluang kejadian penularan bukan disana. Data menunjukkan penularan terbesar ada di bentuk kontak dekat dengan penderita. Jikapun melalui benda, saya bisa menghindarinya dengan cara menjaga kebersihan tangan. Sejauh ini toko-toko terbukti mampu mensuplai kebutuhan, selain itu ada berbagai  tempat membeli kebutuhan selain toko yang saya biasa kunjungi. Ekonomi memang sedang tidak baik, tapi dunia pernah mengalami hal seperti ini lalu pulih kembali. 

2. Acceptance and Commitment Therapy (ACT)

Prinsip dasar terapi ini adalah belajar menerima pikiran dan emosi, apapun bentuknya. Alih-alih menantang pikiran seperti pada CBT, melalui ACT kita merespon pikiran dengan menyadari kehadiarnnya, memperhatikannya, lalu membiarkannya pergi sehingga pikiran itu tidak menjadi penghalang bagi perilaku yang kita munculkan setelahnya. 

Kita belajar untuk menerima bahwa pikiran hanyalah pikiran, dia tidak mempengaruhi apa yang menjadi tujuan hidup. Seringkali kita merasa stres justru ketika berusaha “mengusir” pikira negatif dengan sekuat tenaga. Energi yang kita berikan untuk “mengusir” itu sebenarnya energi yang sama dengan “mengundang” pikiran tersebut.

Ketika kita merasa pikiran sangat penuh dengan kekhawatiran, kita bisa berlatih menyapanya alih-alih terseret arus pikiran tersebut “Oh halo Cemas, kamu datang ya hari ini… kamu boleh ada di pikiranku saat ini sesuai keinginanmu. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil alih apa yang akan kulakukan dalam hidupku hari ini.”

Kita bisa berlatih mengucapkan ini sambal tetap melakukan tugas-tugas harian yang TIDAK berkaitan dengan pikiran negatif tersebut, misalnya memasak, menghubungi teman via text, membersihkan rumah. Tetap terhubung dengan kegiatan-kegiatan harian itu sambil mempersilakan apapun pikiran yang hadir, akan membantu kita berlatih memisahkan mana pikiran yang melemahkan dan mana perilaku yang menjadi prioritas.

3. Mindfulness

Salah satu kelemahan pikiran manusia adalah menyesali keputusan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan sehingga melupakan apa yang dimiliki saat ini. Melalui mindfulness kita belajar untuk hidup di moment-to-moment, tidak menghakimi, dan berlatih mengalihkan perhatian pada nafas atau kepekaan lima indera. 

Perbedaan mendasar Mindfulness dengan ACT ada pada praktiknya yang tidak menggunakan metafora. Pada ACT kita bisa menggunakan perumpamaan, misalnya membayangkan pikiran seperti sekelompok awan yang datang dan pergi dalam diri kita. Sementara melalui pendekatan mindfulness, setelah kita menyadari adanya pikiran-perasaan tertentu, kita memberi ruang untuknya, lalu perlahan mengambalikan perhatian pada nafas dan sensasi yang diterima indera.

Kita bisa memberi ruang dengan mengatakan, “terima kasih Cemas sudah mendatangiku hari ini… Aku bersyukur kamu hadir…” lalu kembalikan perhatian pada nafas yang kita tarik dan hembuskan, pada suara-suara di sekitar, pada kaki yang menapak, atau pada sensasi di jari-jari tangan. Dengan berlatih mindfulness, kita memberi ruang pada diri sendiri untuk memilih apa respon perilaku yang akan kita lakukan setelahnya, alih-alih bersikap reaktif karena cara kita merespon tanpa sadar sudah terprogram di bawah sadar sebelumnya.

Sebagai contoh, ketika menerima informasi di group whatsapp yang menurut kita penting, secara reaktif kita merasa harus menyebarkan informasi itu sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan efek berantainya. Padahal bisa jadi informasi tersebut berbahaya bagi sekelompok orang. 

Perilaku ini bisa jadi didorong kekhawatiran akan terjadinya hal buruk esok hari jika kita tidak menyebarkannya. Dengan mindfulness kita akan belajar memberi ruang memahami informasi tersebut, menyadari dampaknya pada kita, lalu membuat keputusan aktif apakah akan tetap meneruskannya atau tidak?

4. Self-Care

Self-care atau peduli pada diri sendiri bukan bagian dari modalitas psikologi, namun seringkali menjadi hal yang pertama kali perlu dilakukan terutama pada kondisi penuh tekanan. Bentuk kepedulian kepada diri sendiri bisa luas pilihannya: olahraga, makan sehat, istirahat cukup, mendengarkan musik, menonton film, berjalan dengan kaki telanjang di pagi hari, menghubungi keluarga jauh secara rutin, bersepeda. Intinya sama: menemukan jangkar kehidupan supaya mental kita tetap stabil.

Menemukan ritme baru di tengah situasi tidak pasti tentu bukan  hal yang mudah. Kita semua memiliki karakteristik kepribadian khas yang ikut menentukan bagaimana kita akan merespon kejadian. Bagi orang yang cenderung extrovert, mungkin lebih sulit mengisolasi diri dibandingkan orang dengan kepribadian introvert. Dengan rutin melakukan praktik self-care, kita akan lebih mudah menemukan  keseimbangan di antara keterbatasan-keterbatasan itu.

Tentu tidak ada satu pendekatan yang paling sesuai untuk semua orang atau semua situasi. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah mencoba teknik-teknik yang berbeda ini, berlatih selama beberapa waktu, dan lihat mana yang paling sesuai untuk kita. Bahkan dengan hanya mencoba berlatih saja, kita dapat mengembalikan rasa berdaya dan rasa mampu menolong diri sendiri yang mudah sekali hilang di situasi krisis seperti saat ini.

Ega Asnatasia Maharani- Psikolog, Dosen FKIP UAD Yogyakarta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun