Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Paska: Apakah Yesus Mati dan Bangkit?

25 Maret 2016   06:54 Diperbarui: 27 Maret 2016   11:26 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Film The Passion of Christ, 2004. Gambar: www.imdb.com/title/tt0335345/"][/caption]

Pada Minggu dinihari Maria pergi ke kubur Yesus yang pada Jumat sebelumnya dihukum mati dipaku di kayu salib. Maria sudah tahu bahwa anaknya ini akan bangkit pada hari ketiga sehingga ia buru-buru pergi ke kubur Yesus membawa baju baru untuk Yesus. Yesus menyambut kedatangan Maria dan segera mengenakan baju baru buatan Maria.

“Paskah?” tanya Maria.

“Pas banget, Bu.” Jawab Yesus.

Sejak itu perayaan kebangkitan Yesus yang selalu jatuh pada Minggu disebut hari “Paskah” oleh orang Kristen.

Tidak usah gusar. Cerita di atas tentulah bukan kejadian sebenarnya. Itu adalah guyonan ketika saya masih remaja dan guyonan ini banyak dikenal oleh kalangan remaja Kristen pada masa saya.

Istilah “Paskah” sendiri sebenarnya kurang tepat penulisannya. Mirip orang tempo dulu menulis kata “Eropah”.  Menurut pakar liturgi H. A. van Dop dalam karya-tulisnya “Theologia Paschalis” yang benar adalah Paska, karena kata Paska diambil dari bahasa Yunani Paskha, yang menyerap bahasa Ibrani Pesakh. Huruf kh pada abjad Ibrani sudah pindah tempat di dalam bentuk Yunaninya, sehingga bunyinya dalam bahasa Latin menjadi Pasca (baca: paska). Demikian juga dalam bahasa Spanyol dan Portugis yang melatarbelakangi bunyi kata Indonesianya. Tambahan h menjadi tidak perlu sehingga penulisannya adalah Paska, bukan Paskah. Dalam pada itu kata pasca pada kata pasca-sarjana, pascapanen, dan lain sebagainya diambil dari kata Sanskerta pasca (baca: pasca dengan c seperti kata cocok).

Tidak ada hari raya Kristen yang lebih besar daripada Paska. Jantung iman Kristen terletak pada Paska. Tidak ada Paska berarti tidak ada kekristenan. Itulah sebabnya keempat kitab Injil dalam kitab suci Kristen, Alkitab, kesemuanya memberitakan Paska yaitu kebangkitan (resurrection) Yesus. Bandingkan dengan perayaan Natal. Dari keempat Injil hanya dua Injil yang memberitakan kelahiran Yesus alias Natal. Ini makin menegaskan bahwa jantung iman Kristen adalah Paska, bukan Natal. Namun perayaan Natal selama ini jauh lebih meriah daripada Paska. Barangkali Natal sangat berdekatan dengan malam pergantian tahun sehingga penuh romantika? Entahlah.

Kematian Yesus

Jika Paska adalah perayaan kebangkitan Yesus yang kemudian dikenal dengan Yesus Kristus (atau Almasih, yang diurapi), pertanyaan adalah Yesus bangkit dari apa? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan bangkit dari kematian. Alkitab bukanlah buku sejarah, juga bukan buku yang penulisannya diunduh langsung dari surga. Di dalam Alkitab banyak dijumpai kisah-kisah fiksi bukan-historis. Namun demikian ada juga anasir sejarah yang ditulis lewat subjektivitas penulisnya. Anasir sejarah, bukan sejarah itu sendiri. Misal, Babad Tanah Jawi itu bukan buku sejarah, walau ada anasir sejarah.

Melanjutkan pertanyaan di atas apakah Yesus benar-benar mati? Keempat Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) memberitakan kematian Yesus yang dijatuhi hukuman mati lewat kayu salib. Bukti keempat Injil ini barangkali diragukan oleh sejumlah kalangan, karena ini dianggap propaganda. Jika memang demikian, pertanyaannya apa perlunya jemaat Kristen perdana memberitakan pemimpin rohani mereka yang mati dengan cara sangat memalukan? Tidak ada alasan bagi jemaat Kristen perdana untuk menutup-nutupi, karena hukuman mati terhadap Yesus merupakan fakta sejarah.

Jika sumber keempat Injil masih tetap diragukan, sumber-sumber di luar kekristenan membuktikan bahwa Yesus mati di kayu salib. Pertama, Flavius Josephus, ahli sejarah Yahudi yang hidup pada abad mula-mula, menulis seorang Yahudi yang bijaksana bernama Yesus melakukan banyak hal besar, tetapi kemudian dihukum mati di kayu salib oleh pemerintah (Romawi).

Kedua, sumber-sumber Rabinik Yahudi yang menolak kehadiran Yesus karena para pengikut Yesus melakukan provokasi-provokasi terhadap Yudaisme. Dalam Talmud Babilonia mereka membalas provokasi pengikut Yesus  dengan menulis bahwa menjelang Sabat Paska Yesus orang Nasaret mati digantung.

Ketiga, Mara bar Sarpion, filsuf stoik berkebangsaan Suriah, menulis surat kepada anaknya “apa untungnya orang Yahudi membunuh rajanya yang arif bijaksana?” Seperti diketahui kepala salib Yesus ditulis oleh otoritas Romawi di Yudea (yang sebenarnya bahan olok-olok) dengan INRI (Iēsus Nazarēnus Rēx Iūdaeōrum), Yesus (orang) Nasaret Raja (orang) Yahudi.

Keempat, Cornelius Tacitus, seorang senator dan sejarawan Romawi yang termasyur karena dua karya sejarahnya, Histories dan Annals, antara abad pertama dan kedua menulis “Kristus [Tacitus menggunakan nama Krsitus] telah dihukum mati (supplicio adfectus) dalam masa pemerintahan Tiberius [14-37] di tangan seorang prokurator kita, Pontius Pilatus [26-36], dan tahayul yang paling merusak itu untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, tetapi juga di Roma….” 

Masih ada banyak lagi sumber otentik di luar kekristenan yang menulis mengenai kematian Yesus. Para pakar Yesus-Sejarah tidak ada yang meragukan bahwa Yesus memang dihukum mati secara politik oleh otoritas Romawi di Tanah Yudea. Saya sengaja menggunakan pendapat pakar Yesus-Sejarah mengenai kematian Yesus, karena mereka sangat berobsesi menemukan tulang-belulang Yesus. Saya justru menggunakan kekritisan pemikiran mereka di luar keimanan mengaji (bukan mengkaji, karena huruf k harus luluh jika mendapat awalan me)  secara sains bahwa Yesus itu secara faktual-historis pernah hidup dan mati lewat kayu salib.

Namun demikian mengapa kalangan penganut ideologi tertentu dari abad mula-mula sampai sekarang meragukan kematian Yesus lewat kayu salib? Ideologi itu sejak dulu dipahami bahwa Yesus sebenarnya tidak mati tetapi yang mati adalah orang lain yang serupa dengan Yesus.

Secara historis ideologi mengenai Yesus tidak mati di kayu salib dibuat dan dikembangkan oleh sekte Gnostik pada abad pertama dan kedua. Dalam satu seksi dokumen Nag Hammadi menyatakan bahwa Rasul Petrus melihat ada dua sosok yang terlibat dalam penyaliban: sosok yang satu sedang dipaku oleh para algojo pada tangan dan kakinya, sedang yang satunya lagi berada di atas sebuah pohon, bergembira sambil menertawakan apa yang sedang berlangsung.

Dalam pada itu tradisi “kembaran” Yesus yang mengganti korban salib juga muncul di daerah Edessa, Suriah, yang jemaat Kristen di sana keliru menafsirkan Tomas sebagai “kembaran” (Didimus). Padahal Didimus itu adalah nama lain dari Rasul Tomas. Komunitas di Edessa ini kemudian banyak berkiprah di Tanah Arab.

Secara ringkas pandangan Gnostik terhadap Yesus yang sejati adalah Yesus rohani, Yesus surgawi, sehingga Yesus tidak bisa disalibkan. Akan tetapi karena penyaliban sudah terjadi dan itu faktual, maka sekte Gnostik harus menyimpulkan bahwa yang telah disalibkan itu pastilah orang lain. Orang yang wajahnya serupa dengan rupa atau wajah Yesus, bukan Yesus surgawi, bukan Yesus yang dijunjung mereka. Pandangan sekte Gnostik ini sebenarnya bukan mau menyatakan bahwa secara historis Yesus tidak mati disalibkan. Justru Yesus benar-benar mati disalibkan, kaum Gnostik  perlu mencari seorang “pemain pengganti” demi menyelamatkan keyakinan (tepatnya ideologi) mereka bahwa Yesus yang mereka sembah adalah Yesus surgawi, yang tidak bisa mati disalibkan. Sungguh mengenaskan jika dongeng yang dikembangkan oleh sekte Gnostik yang sejak awal ditolak oleh jemaat Kristen mula-mula, masih dijadikan ideologi sampai masa kini.

Para pakar Yesus-Sejarah (yang belum tentu beragama Kristen) berpendapat kematian Yesus merupakan fakta sejarah objektif. Bagi warga Kristiani kematian Yesus bukan sekadar fakta sejarah objektif, namun melampaui itu yang dihayati sebagai Allah yang berbelarasa. Penghayatan ini diragakan melalui Jumat Agung.

Kebangkitan Yesus

Jika kematian Yesus di atas merupakan faktual-historis, bagaimana dengan kebangkitan Yesus? Apakah ini merupakan faktual-historis? Di sinilah peliknya.

Belum ditemukan sumber-sumber sejarah otentik mengenai kebangkitan Yesus di luar kekristenan. Satu-satunya sumber mengenai kebangkitan adalah dokumen Perjanjian Baru (PB), yang keempat Injil masuk ke dalamnya. Walau PB bukan dokumen atau buku sejarah, namun teks-teks itu dapat dikaji (satu di antaranya) melalui kritik naratif. Tentu saja teks dibaca dikaitkan dengan kehidupan sosial-politik yang mengitari teks itu.

Dunia sastra saat itu memahami gagasan bahwa orang baik dan bijaksana yang sudah membawa perubahan besar banyak orang akan dibinasakan oleh musuh-musuhnya. Namun Allah tidak akan tinggal diam. Allah akan membangkitan orang yang tidak berdosa itu. Dengan latar belakang itu dapatlah dipahami berita tentang kebangkitan Yesus dalam keempat Injil itu dimaksudkan untuk menyatakan  bahwa Yesus adalah korban yang dibenarkan oleh Allah, dibela oleh Allah, dan Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Allah telah menggagalkan kekejian para pembenci Yesus. Berita pokok itulah yang hendak  disampaikan atau dideklarasikan oleh para penulis PB. Siapa aktor utama? Allah Sang Aktor. Allah mengalahkan maut dan membenarkan Yesus yang tidak bersalah itu.

Kebangkitan yang dimaksud oleh penulis PB bukanlah menghidupkan jenazah yang sudah mati (resuscitation). Kebangkitan yang resuscitation merupakan menghidupkan (sementara) orang mati seperti yang biasa dilakukan oleh kedokteran dengan alat-kejut jantung. Dalam Injil bisa dibaca mengenai kisah Yesus membangkitkan Lazarus dari kubur.

Persoalan timbul ketika terjadi ketidakpanggahan (inconsistency) penulisan mengenai perjumpaan murid-murid atau pengikut dengan Yesus pasca-kematian. Maksud saya kisah di kitab yang satu berbeda dengan kitab lainnya sehingga ada ketidakpanggahan dan tidak kronologis. Berbeda halnya dengan berita kematian Yesus yang kesemuanya sama yaitu Yesus mati di kayu salib yang memang saat itu merupakan berita umum di luar teks Alkitab.

Para pakar sejarah PB berpendapat terjadinya ketidakpanggahan itu membuktikan tidak adanya konspirasi, tidak ada rekaan, tidak ada kebohongan.  PB mengisahkan pengalaman individu-individu yang historis. Suatu pengalaman yang dialami oleh individu-invidu yang merupakan pengalaman sejarah berjumpa dengan Yesus pasca-kematian.

Pada masa itu pengalaman bertemu dengan orang-orang yang sudah mati merupakan hal lazim. Dikisahkan dalam PB Yesus pasca-kematian berjalan ke Emaus menemani dua orang pengikut Yesus. Setibanya di rumah mereka mengajak “orang asing itu” mampir. Ketika akan santap malam mereka baru menyadari bahwa itu Yesus dan kemudian menghilang. Dikisahkan juga para murid berkumpul di ruangan tertutup karena ketakutan diburu oleh para pemuka agama Yahudi yang berkonspirasi dengan tentara Romawi. Tiba-tiba Yesus nongol hadir di tengah-tengah mereka dan menunjukkan bekas luka paku di tangan Yesus. Kisah ini mau menyampaikan bahwa Yesus bangkit (resurrection), bukan seperti jenazah yang dihidupkan (resuscitation). Jika Yesus dihidupkan seperti itu, maka sulit untuk menerima Yesus masuk ke dalam ruangan tertutup tanpa melewati pintu atau tiba-tiba menghilang dari pandangan pengikut-pengikut Yesus. Akan tetapi dikisahkan juga Yesus pasca-kematian bersantap bersama dengan murid-murid di tepian Danau Tiberias. Sudah barang tentu ikan bakar yang lezat adalah menu utamanya.

Kepelikan kisah-kisah di atas merupakan paradoks. Sisi satu Yesus bisa muncul dan menghilang seketika, sisi lainnya Yesus menunjukkan tanda fisikal berupa  bekas luka tusukan paku salib dan makan minum bersama dengan para murid. Penulis PB dengan segala keterbatasannya mau menyampaikan secara paradoks bahwa tubuh kebangkitan Yesus adalah rohaniah sekaligus tubuh alamiah.

Teks-teks PB yang memberitakan Yesus yang makan dan minum serta menghilang lagi itu merupakan metafor-metafor yang mau menyampaikan, dan mengundang para pembaca serta pendengarnya untuk mengalami berita bahwa Yesus itu, sekalipun sudah mati disalibkan, dibangkitkan (resurrected), dan terus hadir seutuhnya di antara para murid, yakni mereka yang mempercayai Yesus. Yesus itu tetap peduli dan berbelarasa pada mereka.

Kok metafor? Jangan merendahkan metafor! Ajaran-ajaran Yesus  banyak berupa parabel-parabel yang merupakan metafor yang memberdayakan, membebaskan, dan memanusiakan manusia. Alkitab juga penuh dengan metafor. Allah lebih besar daripada Alkitab. Allah bisa berfirman lewat apa saja termasuk metafor-metafor.

Metafor kebangkitan itu bukan dongeng, bukan reka-rekaan, bukan berita bohong, bukan juga fiksi. Metafor merupakan wacana untuk mengungkapkan realitas yang utuh tanpa memisahkan (apalagi memertentangkan!) hal yang subjektif dan objektif.  Dalam metafor selalu ada yang kena dan yang tidak kena. Misal, Allah adalah Gunung Batuku. Secara harfiah Allah bukanlah gunung batu. Jadi gunung batu ini tidak kena pada Allah. Namun bagi orang beriman mengalami berlindung di balik gunung batu mereka merasa sangat aman. Jadi gunung batu ini kena pada orang beriman yang berlindung pada Allah.

Metafor kebangkitan merupakan wacana yang disampaikan untuk  mengundang pembaca atau pendengar mengalami realitas kehadiran seutuhnya (spiritual sekaligus fisikal) Yesus pasca-kematian di dalam dunia ini tanpa batas ruang dan waktu: di dalam rumah kita, di kantor kita, di istana presiden, di gedung DPR, di kantor kelurahan, di gedung gereja ketika umat menyembah dia, di dalam makanan, nasi, ikan asin, pempek, tempe, tahu, pete, pecel, gudheg, dan lain sebagainya serta minuman air (air kemasan, air sumur, air kendi, air PDAM) yang kita peroleh setiap hari sehingga kita berterimakasih, dan juga di dalam perjuangan orang-orang tertindas yang berseru kepada Yesus.

Meminjam pendapat sohib saya dan teolog mbeling Adji A. Sutama, yang panggah dengan teknik penafsiran kritik naratif, mengatakan bahwa metafor Yesus Gembala yang baik bukan berarti Yesus tidak ada. Demikian juga halnya metafor kebangkitan Yesus bukan berarti tidak ada kebangkitan. Kebangkitan Yesus merupakan peristiwa sejarah yang dilakukan Allah pada diri Yesus, bukan pada diri jemaat di dalam narasi PB. Setelah itu, apakah orang memercayainya atau tidak memercayainya, hal ini merupakan suatu reaksi atau tanggapan iman terhadap peristiwa bersejarah itu.

Selamat memeringati Jumat Agung dan merayakan Paska!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun