Jika kematian Yesus di atas merupakan faktual-historis, bagaimana dengan kebangkitan Yesus? Apakah ini merupakan faktual-historis? Di sinilah peliknya.
Belum ditemukan sumber-sumber sejarah otentik mengenai kebangkitan Yesus di luar kekristenan. Satu-satunya sumber mengenai kebangkitan adalah dokumen Perjanjian Baru (PB), yang keempat Injil masuk ke dalamnya. Walau PB bukan dokumen atau buku sejarah, namun teks-teks itu dapat dikaji (satu di antaranya) melalui kritik naratif. Tentu saja teks dibaca dikaitkan dengan kehidupan sosial-politik yang mengitari teks itu.
Dunia sastra saat itu memahami gagasan bahwa orang baik dan bijaksana yang sudah membawa perubahan besar banyak orang akan dibinasakan oleh musuh-musuhnya. Namun Allah tidak akan tinggal diam. Allah akan membangkitan orang yang tidak berdosa itu. Dengan latar belakang itu dapatlah dipahami berita tentang kebangkitan Yesus dalam keempat Injil itu dimaksudkan untuk menyatakan bahwa Yesus adalah korban yang dibenarkan oleh Allah, dibela oleh Allah, dan Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Allah telah menggagalkan kekejian para pembenci Yesus. Berita pokok itulah yang hendak disampaikan atau dideklarasikan oleh para penulis PB. Siapa aktor utama? Allah Sang Aktor. Allah mengalahkan maut dan membenarkan Yesus yang tidak bersalah itu.
Kebangkitan yang dimaksud oleh penulis PB bukanlah menghidupkan jenazah yang sudah mati (resuscitation). Kebangkitan yang resuscitation merupakan menghidupkan (sementara) orang mati seperti yang biasa dilakukan oleh kedokteran dengan alat-kejut jantung. Dalam Injil bisa dibaca mengenai kisah Yesus membangkitkan Lazarus dari kubur.
Persoalan timbul ketika terjadi ketidakpanggahan (inconsistency) penulisan mengenai perjumpaan murid-murid atau pengikut dengan Yesus pasca-kematian. Maksud saya kisah di kitab yang satu berbeda dengan kitab lainnya sehingga ada ketidakpanggahan dan tidak kronologis. Berbeda halnya dengan berita kematian Yesus yang kesemuanya sama yaitu Yesus mati di kayu salib yang memang saat itu merupakan berita umum di luar teks Alkitab.
Para pakar sejarah PB berpendapat terjadinya ketidakpanggahan itu membuktikan tidak adanya konspirasi, tidak ada rekaan, tidak ada kebohongan. PB mengisahkan pengalaman individu-individu yang historis. Suatu pengalaman yang dialami oleh individu-invidu yang merupakan pengalaman sejarah berjumpa dengan Yesus pasca-kematian.
Pada masa itu pengalaman bertemu dengan orang-orang yang sudah mati merupakan hal lazim. Dikisahkan dalam PB Yesus pasca-kematian berjalan ke Emaus menemani dua orang pengikut Yesus. Setibanya di rumah mereka mengajak “orang asing itu” mampir. Ketika akan santap malam mereka baru menyadari bahwa itu Yesus dan kemudian menghilang. Dikisahkan juga para murid berkumpul di ruangan tertutup karena ketakutan diburu oleh para pemuka agama Yahudi yang berkonspirasi dengan tentara Romawi. Tiba-tiba Yesus nongol hadir di tengah-tengah mereka dan menunjukkan bekas luka paku di tangan Yesus. Kisah ini mau menyampaikan bahwa Yesus bangkit (resurrection), bukan seperti jenazah yang dihidupkan (resuscitation). Jika Yesus dihidupkan seperti itu, maka sulit untuk menerima Yesus masuk ke dalam ruangan tertutup tanpa melewati pintu atau tiba-tiba menghilang dari pandangan pengikut-pengikut Yesus. Akan tetapi dikisahkan juga Yesus pasca-kematian bersantap bersama dengan murid-murid di tepian Danau Tiberias. Sudah barang tentu ikan bakar yang lezat adalah menu utamanya.
Kepelikan kisah-kisah di atas merupakan paradoks. Sisi satu Yesus bisa muncul dan menghilang seketika, sisi lainnya Yesus menunjukkan tanda fisikal berupa bekas luka tusukan paku salib dan makan minum bersama dengan para murid. Penulis PB dengan segala keterbatasannya mau menyampaikan secara paradoks bahwa tubuh kebangkitan Yesus adalah rohaniah sekaligus tubuh alamiah.
Teks-teks PB yang memberitakan Yesus yang makan dan minum serta menghilang lagi itu merupakan metafor-metafor yang mau menyampaikan, dan mengundang para pembaca serta pendengarnya untuk mengalami berita bahwa Yesus itu, sekalipun sudah mati disalibkan, dibangkitkan (resurrected), dan terus hadir seutuhnya di antara para murid, yakni mereka yang mempercayai Yesus. Yesus itu tetap peduli dan berbelarasa pada mereka.
Kok metafor? Jangan merendahkan metafor! Ajaran-ajaran Yesus banyak berupa parabel-parabel yang merupakan metafor yang memberdayakan, membebaskan, dan memanusiakan manusia. Alkitab juga penuh dengan metafor. Allah lebih besar daripada Alkitab. Allah bisa berfirman lewat apa saja termasuk metafor-metafor.
Metafor kebangkitan itu bukan dongeng, bukan reka-rekaan, bukan berita bohong, bukan juga fiksi. Metafor merupakan wacana untuk mengungkapkan realitas yang utuh tanpa memisahkan (apalagi memertentangkan!) hal yang subjektif dan objektif. Dalam metafor selalu ada yang kena dan yang tidak kena. Misal, Allah adalah Gunung Batuku. Secara harfiah Allah bukanlah gunung batu. Jadi gunung batu ini tidak kena pada Allah. Namun bagi orang beriman mengalami berlindung di balik gunung batu mereka merasa sangat aman. Jadi gunung batu ini kena pada orang beriman yang berlindung pada Allah.