Linda mengucapkannya seolah mempertegas kalimat terakhir sebagai ungkapan yang sebenarnya mau di sampaikan. Suasana tidak menentu sejak awal bertemu membuat semuanya buram.Â
Aku mengira dukungannya dahulu adalah sebuah kesungguhan sampai aku yakin bahwa dia satu-satunya orang yang memahami peliknya nasibku sekarang.Â
Tetapi, aku mengetahui bahwa kebenaran sejati harus membuka diri kepada pilihan lain sekalipun itu bertentangan. Seharusnya, aku juga harus ragu ketika Linda saat itu memberikan ekspresi wajah teguh, melepas senyuman seakan semua nyata.
"Linda, aku ngga mau bertele-tele. Kau tahu, hidupku di Medan ga bakal nyaman."
"Tapi yang kau lakukan terlalu nekad."
"Orang Batak kok takut merantau."
"Kau Batak karena marga, tapi darahmu masih terlalu jauh untuk berani."
"Nggak, nggak. Aku nggak mau bahas soal itu. Tekadku sudah bulat, nanti juga akan terbiasa."
"Aku bakal menang perdebatan ini. Kau mau pergi, tapi tidak dapat restu. Lucu kan? Bilanglah kau kuliah di Brawijaya, aku yakin batinmu nggak bakal tenang. Ujung-ujungnya bukan lagi mikir kuliah, tapi capek urus masalah keluarga. Aku tahu sifatmu, percayalah samaku."
Linda membeberkan demikian dengan tepat. Aku memegang harapan kosong, tanpa dukungan selain diri sendiri. Dari sini juga aku harus memilih di antara dua pilihan bertentangan.Â
Linda tersenyum kepadaku, pandanganku sekarang berubah terhadapnya. Aku lelah dan mulai muak jika harus membahas ini lagi.