Setelah lewat beberapa hari, aku sampai pada pemikiran bahwa keputusanku terburu-buru. Teman-teman kelasku telah mempersiapkan kelanjutan hidup mereka dengan tetap tinggal di kota Medan.
Jumlah mereka yang diterima melalui jalur undangan adalah 15 orang. Semua memilih kampus di Medan, dan tujuan paling utama adalah Universitas Sumatera Utara.
Masih ada yang sukar diungkapkan. Semangatku begitu bergelora untuk beranjak dari sekolah ke perguruan tinggi. Aku mempunyai satu kesempatan sama seperti mereka menempuh perkuliahan.
Universitas Brawijaya merupakan kampus ternama, tetapi namanya hanya samar-samar saat seseorang mencoba mengingatnya.Â
Tidak seorangpun siswa mengetahui persis lokasi kampus tersebut, bahkan para guru terkejut mengetahui salah satu siswa sekolahnya bakal berkuliah di sana.Â
Ketidaktahuan para guru pada akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli. Mereka terbiasa menghadapi kejutan setiap tahun di antara ratusan siswa yang belum tentu akan mengingat mereka kelak di kemudian hari.
Jika aku ingin membatalkannya, maka ada satu kesempatan lagi. Ujian tulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri membuka pendaftaran sampai akhir bulan.Â
Hari-hari tersisa cukup panjang sebelum sampai pelaksanaannya, yang menambah pikiranku terganggu untuk menentukan.
Aku hanya bersandar pada keinginan, di belakang itu semua, tentu terbesit banyak keraguan.Â
Bapak tidak menyetujui, dan berdasarkan kecemasannya, tidak ada kepastian ke mana aku akan berakhir sebagai sarjana Sastra Prancis.
Bagiku, hal tersebut sudah menjadi pandangan umum. Orangtua merasa memahami apa yang menjadi pilihan terbaik bagi anak-anaknya.Â
Namun, semua menjadi pertaruhan besar karena kampus sebesar apapun tidak selalu menjadi jaminan di masa depan.Â
Apa yang terjadi selanjutnya merupakan proses, sejak awal melakukan pertimbangan untuk mengukur sejauh mana kemauan dan kemampuan mahasiswa dalam melewati masa perkuliahannya.
Aku mengerti bahwa kemungkinannya sangat tidak pasti, apalagi tekad anak muda seperti diriku kerap kali berbahaya karena mengabaikan hal yang dianggap merintangi.
Linda memahami kegelisahan diriku meski dia tidak mengalami kegalauan dalam memilih kampus yang dituju.Â
Dia memiliki banyak nasihat untuk meyakinkan bahwa aku sudah melakukan langkah tepat.
Dari sudut pandangnya sebagai pengajar, Linda mengerti bahwa kesuksesan di masa depan merupakan hal yang mudah didapatkan selama orang-orang memiliki kepercayaan diri.
Setelah menyelesaikan pekerjaan di sekolah, aku meminta waktunya untuk bertemu. KFC Adam Malik, tempat yang selalu menjadi persinggahan kami. Hawa pusat kota dengan deru kendaraan padat merayap tetapi tidak menularkan banyak polusi ke gerai ini.
Aku menceritakan bagaimana sikap Bapak menolak keinginanku. Linda hanya memberi tatapan biasa. "Lalu, mau mundur?" tanyanya.
"Aku udah bilang, aku pilih berangkat ke sana. Terus Bapak nggak mau. Uang kuliah, silakan cari sendiri. Semua jadi kacau."
"Memang pilihanmu ngga mudah dipahami orang banyak. Kalaupun aku sebelumnya bilang setuju dan mendukung, tapi itu bukan berarti akan ada hal baik di sana. Aku lebih senang kau kuliah di sini, itu sangat sangat sangat jauh lebih baik."
Linda mengucapkannya seolah mempertegas kalimat terakhir sebagai ungkapan yang sebenarnya mau di sampaikan. Suasana tidak menentu sejak awal bertemu membuat semuanya buram.Â
Aku mengira dukungannya dahulu adalah sebuah kesungguhan sampai aku yakin bahwa dia satu-satunya orang yang memahami peliknya nasibku sekarang.Â
Tetapi, aku mengetahui bahwa kebenaran sejati harus membuka diri kepada pilihan lain sekalipun itu bertentangan. Seharusnya, aku juga harus ragu ketika Linda saat itu memberikan ekspresi wajah teguh, melepas senyuman seakan semua nyata.
"Linda, aku ngga mau bertele-tele. Kau tahu, hidupku di Medan ga bakal nyaman."
"Tapi yang kau lakukan terlalu nekad."
"Orang Batak kok takut merantau."
"Kau Batak karena marga, tapi darahmu masih terlalu jauh untuk berani."
"Nggak, nggak. Aku nggak mau bahas soal itu. Tekadku sudah bulat, nanti juga akan terbiasa."
"Aku bakal menang perdebatan ini. Kau mau pergi, tapi tidak dapat restu. Lucu kan? Bilanglah kau kuliah di Brawijaya, aku yakin batinmu nggak bakal tenang. Ujung-ujungnya bukan lagi mikir kuliah, tapi capek urus masalah keluarga. Aku tahu sifatmu, percayalah samaku."
Linda membeberkan demikian dengan tepat. Aku memegang harapan kosong, tanpa dukungan selain diri sendiri. Dari sini juga aku harus memilih di antara dua pilihan bertentangan.Â
Linda tersenyum kepadaku, pandanganku sekarang berubah terhadapnya. Aku lelah dan mulai muak jika harus membahas ini lagi.
"Aku pikir ada yang salah," ucapku.
"Kenapa begitu?" Linda membalas.
"Aku bakal gagal. Orang-orang bilang begitu. Jangan tanya gimana perasaanku."
"Dengar, Ari sayang. Semua masalah pasti ada jalan keluar. Bapak bilang begitu karena dia sayang denganmu. Aku juga mau kau tetap di sini. Masih ada ujian tertulis, kan, jadi cobalah kau ambil..."
"Stop..." Aku melantangkannya dengan keras.Â
Linda pun spontan bereaksi.
"Kenapa marah? Aku cuma kasih jalan keluar dengan baik-baik. Apa..." Â
"Aku bilang udah, stop!"
Kali kedua, aku mengingatkan Linda dan berakibat pada terganggunya orang-orang di sekitar.Â
"Kalau cuma itu yang bisa kau bilang, aku juga tahu. Tapi bukan itu, bukan..."Â
Linda yang tidak tahan kemudian memalingkan wajahnya sesaat aku begitu marah.Â
Aku melanjutkan lagi dengan tatapan agak tajam, sementara dia tetap terdiam.
Dalam tekanan ini, tindakan pertama yang muncul adalah kemarahan. Aku meluapkan kekesalan yang tidak tertahan.Â
Akan tetapi yang satu hal sangat membuatku kesal ialah aku menyadari bahwa saat ini aku mempunyai alasan untuk tidak mau mendengarkan Linda.Â
"Aku nggak tahu kenapa kau langsung marah. Tapi, it's okay, aku terima," kata Linda bergegas sambil bersiap beranjak dari kursinya.Â
Pelanggan lain masih memperhatikan kami, lalu tidak lama setelah itu mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Mereka menganggap kami telah bergaduh tentang persoalan pribadi.
Lahir sesuatu yang tidak diinginkan. Ini adalah pengingkaran terhadap apa yang selama ini aku simpan dengan baik, dalam sanubari tersimpan rasa cintaku kepadanya.Â
Namun, dia memberiku tanda baru bahwa dia dengan segala kebohongannya yang baik hati itu telah membuatku terlihat bodoh atas pilihanku.Â
Dia seharusnya tidak memberikan tuduhan tentangku, tidak menantang keberanianku selagi mendekap di tengah kebimbangan ini.
Dari sini, aku hanya memperhatikan Linda berlari dengan terisak tangis.Â
Aku tampak tidak mempedulikannya. Sesuatu yang baru telah dimulai bagaimana orang-orang terdekatku dapat merasa ngeri dan tidak nyaman sehingga mereka harus menanggung hati yang teramat sakit.
---
Sebelumnya, Bab 4 Perdebatan dengan Bapak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H