Realita biaya hidup di Sumatera memang demikian tinggi. Bahkan, disparitas itu mungkin dapat ditemukan lagi dalam satu provinsi karena jarak jauh antardaerah di lintas barat dan lintas timur.
Beberapa daerah yang mencakup lintas barat antara lain Muara Enim, Lubuk Linggau (Sumatera Selatan); Sarolangun, Muara Bungo (Jambi) terletak jauh dari ibu kota provinsi masing-masing.
Jangan bayangkan akses kota-kota di Sumatera saling terhubung dekat layaknya kota-kota di pulau Jawa. Silakan jelajahi sendiri untuk dapat merasakan suntuknya melewati pulau Sumatera ini.
Tantangan pemilik rumah makan
Viralnya harga makanan di rumah makan Sumatera dapat berefek positif pada perubahan. Ini bisa memberikan kontrol supaya pemilik rumah makan mau menetapkan harga makanan sewajarnya.
Meski pelanggan rumah makan adalah penumpang yang datang dan pergi, ke depannya, ketergantungan semacam ini perlu dihilangkan.Â
Tantangan ke depan akan hadir manakala jalan tol Trans Sumatera saling terhubung antarprovinsi dan beroperasi penuh.
Ketika bus dan truk, misalnya, tidak lagi melintas jalan arteri biasa, maka pemilik rumah makan mau tidak mau harus bersiap menghadapi penurunan jumlah pelanggan.
Peristiwa viral diharapkan dapat diarahkan untuk menunjukan keistimewaan kuliner Sumatera. Jangan sampai, orang akan lebih tahu bahwa rumah makan di pinggir jalan Sumatera mahal, tetapi tidak tahu betapa sedapnya masakan di sana.
Kembali tentang harga. Jika ditanya berapa harga wajar, penulis pribadi sebagai penumpang bus dapat memaklumi harga makanan dipatok di antara Rp15-30 ribu per porsi.
Bila harga tersebut dianggap masih tinggi, menurut hemat penulis, harga itu sudah cukup pantas untuk cita rasa masakan yang istimewa, include supaya pemilik rumah makan mau membayar upah pekerja sesuai upah minimum.
Mahal-tidaknya makanan di rumah makan pinggir jalan, anggaplah perjalanan pulang kampung menggunakan bus adalah perjalanan wisata kuliner.