Dunia pernah mengalami penderitaan hebat ketika wabah hitam atau black death terjadi pada abad ke-14. Wabah dengan penyakit pes menularkan kematian dari gigitan tikus ataupun pasien yang sudah terinfeksi.
Korban terbanyak ditemukan di dataran Eropa yang secara signifikan menurunkan populasi. Kematian mencapai 75 juta orang, sekitar dua pertiga hingga tiga perempat populasi.
Wabah diketahui melanda sebagian warga di negara Asia dan Timur Tengah yang menambah perkiraan korban jauh lebih besar secara keseluruhan.
Wabah hitam kembali berlanjut pada abad ke-17. Inggris adalah salah satu negara yang pada periode tersebut menerima keganasan penyakit ini.
Kematian yang sangat cepat dengan tanda-tanda mengerikan pada tubuh korban. Memar hitam di permukaan kulit, demam, muntah, dan kejang-kejang.
Bau tak sedap menyengat dari korban terinfeksi. Kengerian semakin membesar karena banyak orang tak mengetahui apa yang sebenarnya mereka hadapi yang menyebabkan penularan terjadi dengan cepat dari satu orang ke orang lain.
Orang-orang meyakini bahwa datangnya wabah hitam adalah hukuman dari Tuhan untuk dosa-dosa manusia sehingga mereka harus bertobat.
Namun beberapa orang meyakini wabah berasal dari udara yang beracun.Â
Mereka yang mampu membeli pomander yang diisi rempah-rempah atau membawa bunga yang harum. Kota dibersihkan dari sampah untuk menghilangkan bau menyengat.
Wabah di Inggris terkonsentrasi di kota London. Historic UKÂ mengatakan, para bangsawan dan Raja Charles II sempat melarikan diri dari Ibu Kota ke perkebunan mereka.Â
Orang-orang miskin dan tak berpendidikan dibiarkan berjuang sendirian menghadapi musuh paling menakutkan. Wabah hitam tak menguntungkan bagi mereka yang tak berpunya.
Meski demikian, penyelamatan datang dari desa. Kisah heroik dan pengorbanan paling berharga sejarah hidup manusia ditemukan di wilayah perbukitan yang jauh dari pusat perekonomian.
Sebenarnya, wilayah pedesaan relatif aman dari kasus terinfeksi. Namun wabah hitam akhirnya tiba pada akhir Agustus 1665 di Eyam desa di Derbyshire dengan jumlah penduduk sebanyak 800 orang.
Wabah datang melalui perantara kain dari London ke penjahit desa bernama Alexander Hadfield. Asistennya, George Viccars, menemukan kain tersebut penuh dengan kutu tikus. Ia meninggal beberapa hari kemudian dengan penguburannya pada 7 September 1665.
Pada hari-hari berikutnya, penyakit pes merenggut kembali nyawa warga Eyam. Dalam delapan hari, Elizabeth Hancock dari Riley Farm menguburkan suaminya dan keenam anaknya. Nama mereka tercatat pada batu memorial di desa tersebut.
Khawatir penyakit menyebar ke luar perbatasan Eyam, pendeta William Mompesson meminta umatnya untuk tetap tinggal di desa dan menutup diri dari dunia luar.
Selama wabah, ia dan istri Katherine membantu memberi makan dan merawat mereka yang menderita. Wabah Hitam benar-benar memberikan keputusasaan dan ketakutan yang membuat mereka memohon besar pertolongan kepada Tuhan.
William memberikan khotbahnya di tempat yang terbuka. Ia tetap menjaga jarak kepada mereka yang sakit. Pekerjaan penuh resiko ditempuh keduanya.
Hampir setiap hari ia mengadakan kebaktian untuk korban yang dikuburkan di ladang dekat tempat mereka tinggal dan meninggal.
Sang istri, Katherine jatuh sakit. Kepada William, ia mengatakan mencium sesuatu yang bau dari badannya. Kabar yang mengejutkan William sebab korban pes umumnya merasakan mencium hal yang sama.Â
Setelah berbulan-bulan merawat orang-orang yang sakit dan sekarat, di musim panas, Katherine menghembuskan napas terakhir dalam pelukan suaminya.
Penduduk Eyam beniat untuk mencegah wabah meluas ke desa tetangga. Mereka membuat kesepakatan untuk mendirikan Cordon Sanitaire atau zona karantina.
Garis itu mengelilingi batas desa dan penduduk Eyam tak diizinkan untuk melewatinya. Tanda-tanda dipasang di sepanjang garis untuk memperingatkan orang luar agar tak masuk ke desa Eyam.
Karantina pun sama beratnya. Penduduk Eyam bukan desa mandiri sehingga mereka harus menerima pasokan makanan dan obat-obatan dari luar.
Mereka memikirkan bagaimana caranya mendapatkan pasokan tanpa harus keluar dari desa. Kebutuhan pangan disediakan desa tetangga. Transaksi akan dilakukan di sumur Mompesson, perbatasan desa.
Dalam pertukaran tersebut, warga Eyam menaruh uang mereka dalam sumur Mompesson di perbatasan desa atau panci berisi air atu cuka dengan tujuan mensterilkan koin. Cara ini memungkinkan penyakit tak menular ke orang luar melalui perantara koin.
Jadi, tindakan karantina dapat dipertahankan sampai puncak penyakit pada musim panas 1666.
Gereja dikunci untuk menghindari umat berkumpul dan berdesakan di bangku. Kebaktian dipindahkan ke luar ruangan.
Pada bulan November 1666, wabah dinyatakan berakhir di Eyam setelah tak ada lagi kematian selama beberapa minggu, mengutip Derby Telegraph.
Selama 14 bulan sejak kemunculan penyakit pes, tercatat 260 penduduk Eyam meninggal. Meski secara jumlah terbilang kecil, secara persentase kematian di sana lebih tinggi dari London.
Penduduk Eyam menjadi pahlawan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari serangan mengerikan wabah hitam. Tak ada kasus ditemukan pada desa-desa di sekitarnya. Tindakan mereka untuk mengisolasi diri berpengaruh signifikan untuk mencegah kematian-kematian dalam periode kelam di Eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H