Garis itu mengelilingi batas desa dan penduduk Eyam tak diizinkan untuk melewatinya. Tanda-tanda dipasang di sepanjang garis untuk memperingatkan orang luar agar tak masuk ke desa Eyam.
Karantina pun sama beratnya. Penduduk Eyam bukan desa mandiri sehingga mereka harus menerima pasokan makanan dan obat-obatan dari luar.
Mereka memikirkan bagaimana caranya mendapatkan pasokan tanpa harus keluar dari desa. Kebutuhan pangan disediakan desa tetangga. Transaksi akan dilakukan di sumur Mompesson, perbatasan desa.
Dalam pertukaran tersebut, warga Eyam menaruh uang mereka dalam sumur Mompesson di perbatasan desa atau panci berisi air atu cuka dengan tujuan mensterilkan koin. Cara ini memungkinkan penyakit tak menular ke orang luar melalui perantara koin.
Jadi, tindakan karantina dapat dipertahankan sampai puncak penyakit pada musim panas 1666.
Gereja dikunci untuk menghindari umat berkumpul dan berdesakan di bangku. Kebaktian dipindahkan ke luar ruangan.
Pada bulan November 1666, wabah dinyatakan berakhir di Eyam setelah tak ada lagi kematian selama beberapa minggu, mengutip Derby Telegraph.
Selama 14 bulan sejak kemunculan penyakit pes, tercatat 260 penduduk Eyam meninggal. Meski secara jumlah terbilang kecil, secara persentase kematian di sana lebih tinggi dari London.
Penduduk Eyam menjadi pahlawan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari serangan mengerikan wabah hitam. Tak ada kasus ditemukan pada desa-desa di sekitarnya. Tindakan mereka untuk mengisolasi diri berpengaruh signifikan untuk mencegah kematian-kematian dalam periode kelam di Eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H