Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Putri Tanjung Cinta Bekerja, tapi Orang Lain Bisa Tertekan dalam Bekerja

15 April 2021   18:57 Diperbarui: 15 April 2021   19:02 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putri Tanjung. (KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI)

Dua hari lalu, warganet riuh membaca berita yang diterbitkan Kompas.com. Berita tentang Putri Tanjung, putri dari konglomerat Chairul Tanjung.

Judulnya, Putri Tanjung Mencuci Baju dan Masak Sendiri Saat Kuliah di AS. Kata kerja dari kalimat itulah yang diperbincangkan.

Warganet menyerukan untuk menghentikan romantisasi orang-orang kaya. Sementara pengguna lainnya mengaku dirinya juga melakukan pekerjaan domestik seperti yang dilakukan Putri saat ia kuliah di Eropa, tetapi tak diberitakan.

"No, stop romanticizing the rich. Se-indonesia juga tahu anak klan Tanjung gak mungkin lapar nunggu transferan beasiswa/duit ortu, atau diancam landlord belum bayar biaya sewa seminggu lebih," tulis pengguna di Twitter.

Putri Tanjung menceritakan pengalamannya tersebut kepada Boy William yang diunggah di YouTube. Dari tuturannya, Putri sebenarnya tak terlihat bermaksud untuk merendahkan diri.

"Gue masak, I cooked, gue sama temen-temen gue. Kayak normal. Doing normal things gitu. Itu benar-benar peaceful sih. Gue jadi lebih banyak mikir lagi. Gue kayak bener-bener finding siapa sih gue? Gue tuh gimana sih?"

"I like to work, you know . I love to work dan i want to make an impact, Boy," kata Putri.

Satu hal yang sering terjadi ialah ketika menilai Putri Tanjung, orang-orang telah memantapkan landasan berpikir bahwa ia adalah anak konglomerat yang memiliki kesempatan dan keuntungan berbeda dibanding putra-putri dari kalangan biasa.

Padahal, Putri dalam beberapa wawancaran sering meyakinkan orang bahwa ia melakukan pekerjaannya secara mandiri tanpa banyak dipengaruhi orang tuanya. 

Itu adalah satu argumen dari Putri, jika pun di antara kita masih mencurigai kebenaran dan maksudnya, jangan-jangan kita telah kehilangan nuansa keakraban.

Sebabnya, kisah-kisah orang kaya merupakan cerita yang umum diperdengarkan sejak saya kecil. Sampai sekarang, topik tersebut masih terus awet untuk diulangi kembali. Bagaimana kehidupan mereka, bagaimana mereka menjalani prosesnya hingga sampai ke titik tertinggi.

Putri Tanjung adalah putri konglomerat yang berarti memiliki keistimewaan tersendiri dibanding orang biasa lainnya. Rasanya, tak adil bila menyalahkan bagaimana dia mengaktualisasi dirinya.  

Hidup adalah yang terjadi saat ini. Ada orang miskin berjuang sampai menjadi orang kaya. Tetapi beberapa di antaranya punya tabiat menindas orang karena terlampau ambisius. Mereka ada, tetapi tak kelihatan dan tak mau terlihat demikian. 

Ada pula yang terang-terangan memoles kesalahannya agar tampak wajar dan semakin lengkaplah penderitaan itu. 

Sementara itu, ada orang kaya yang sejak beberapa generasi berlatar belakang hartawan mau mendonasikan sebagian hartanya untuk membantu orang-orang miskin.

Jadi, tak ada korelasi kuat antara jumlah kekayaan seseorang dan kemauan diri untuk bekerja keras, apalagi soal moral sebagaimana disebutkan di atas.

Hal relevan untuk menarik penjelasan dari ini semua adalah kesempatan. Bagaimana menciptakan kesempatan agar semua orang dapat mengakses pendidikan baik untuk dirinya, misalnya. Bagaimana menciptakan kesempatan dan akses mudah kepada orang terhadap perbankan, sebagai contoh lainnya.

Di sisi lain, ada lagi yang mengungkit tentang nilai. Orang-orang termotivasi bekerja karena nilai. Itu yang dia perjuangkan. Orang-orang ini pada dasarnya ingin menunjukkan siapa dirinya.

Putri Tanjung, misalnya, ia memperjuangkan bahwa ia memperoleh kesuksesannya karena kerja keras dirinya dan ingin memberi dampak luas kepada orang banyak.

Ada orang yang bekerja karena ingin menunjukkan keterampilan dirinya dalam menuntaskan target. Penampilan semacam ini adalah cerminan kepribadian seseorang. 

Ini baru satu kondisi mengenai subjek itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan bekerja itu sendiri?

Putri menyatakan ia mencintai pekerjaannya. Sesuatu yang mengagumkan. Namun itu bisa berkebalikan bagi sebagian orang, mereka yang melakukan apa yang tak ia sukai, dan tak melakukan apa yang ia sukai.

Orang Indonesia senang bekerja dalam definisi berbeda. Putri melakukan dalam kerangka work, sementara orang lain harus bekerja dalam kerangka melakukan job di perusahaan orang. 

Itu belum termasuk kondisi lain seperti orang bekerja karena didasarkan tanggung jawabnya menafkahi keluarga.

Pekerjaan ini pun dapat dipandang melalui kaca mata antropologi. Filsuf Hannah Arendt adalah orang yang memiliki pemikiran tentang aktivitas bekerja. 

Untuk menemukan perbedaannya, ia membagi pekerjaan dalam tiga definisi sebagai labor, work, dan action. Ketiganya sama-sama diperlukan untuk kehidupan manusia, tetapi memiliki cara dan kontribusi berbeda untuk mewujudkan kapasitas diri. 

Bagi Arendt, aksi atau tindakan adalah pekerjaan yang membedakan manusia dari hewan dan kehidupan dewa.

Aksi memiliki ciri utama kebebasan dan pluralitas. Dengan kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk memulai sesuatu yang baru. Aksi berakar sejak kelahiran manusia. Karena itu, manusia dipandang seperti pendatang sehingga ia memulai sesuatu yang baru dengan melakukan aksi.

Lalu, aksi memiliki ciri pluralitas untuk menunjukkan bagaimana masing-masing manusia mampu bertindak dengan cara unik dan khas. Aksi seseorang harus mendapat pengakuan atau persetujuan orang lain untuk memenuhi ciri pluralitas itu. 

Meski sama-sama tercipta sebagai manusia, secara antropologi manusia terlahir dengan memiliki keunikan dan perbedaan di antara lainnya.

Apa yang hendak dicapai sebenarnya dari pekerjaan adalah upaya untuk melestarikan kehidupan itu sendiri, keakraban atau hubungan manusia dengan yang lain.

Karena itu, mengutip pemikiran Arendt, kebebasan dan pluralitas adalah kondisi utama yang sekiranya perlu dihadirkan untuk mendorong orang-orang mewujudkan aksi masing-masing.

Sering kali hal-hal demikian tak terlihat di masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat, makna bekerja itu memiliki nilai sebatas ia menghasilkan banyak pundi-pundi atau keuntungan sehingga mengabaikan pentingnya pluralitas dan keunikan untuk melanjutkan kehidupan. 

Dengan kebebasan dan pluralitas, dua hal ini saja terpenuhi, maka saya pikir, orang akan termotivasi untuk melakukan aksi. Mencintai kebebasan adalah wujud dari mencintai pekerjaan.

Tulisan lain tentang Hannah Arendt dapat dibaca di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun