Nasib Paris Saint-Germain boleh dikatakan serupa dengan Dadang Subur. Paris dianggap sebagai perwakilan dari "liga petani" sehingga tak tepat disejajarkan dengan klub elit Eropa dari Liga Inggris, Liga Italia, dan Liga Spanyol.
Biar Paris berhasil menembus final, sebagian besar pecinta sepak bola tetap ragu untuk menjagokan mereka.Â
Ada beberapa alasan mengapa Paris dikritik. Manajemen membesar Paris mengandalkan kekayaan dan membeli pemain berkelas bergaji selangit seperti Cavani, Neymar, Mbappe dan lain-lain. Cara demikian dianggap melenceng dari sejarah dan filosofi sepak bola.Â
Alasan lain, Paris bermain di Ligue 1 Prancis yang dicemooh sebagai "liga petani".
Liga petani adalah ejekan untuk mendeskripsikan bahwa Ligue 1 Prancis adalah kompetisi para petani yang bekerja di siang hari lalu bermain bola di malam hari, menyadur Goal.com.Â
Jadi, klub Prancis seperti PSG, Lyon dan Marseille dipandang tak terampil dalam permainan sepak bola dibandingkan klub besar lainnya. Kondisi itu yang membuat Paris dominan di kancah domestik, tetapi suram di kompetisi Eropa.
Keberhasilan Paris tembus final Liga Champions membuktikan bahwa kualitas klub ibu kota Prancis tersebut tak boleh diremehkan dan tak boleh menganggap Ligue 1 sebagai liga petani.
Sayangnya, penampilan Paris melawan Munchen terlihat sebagai bentuk peruntungan semata atas euforia terhadap mereka.Â
Seperti Dadang Subur, Paris kala itu harus mengakui ketangguhan klub Jerman Bayern Munchen. Paris kalah 1-0 dari Munchen yang memang sudah teruji lama.Â
Munchen terlihat menyerupai Irene yang sudah lama membangun reputasi di kancah internasional. Munchen adalah tim langganan masuk final dan 5 kali menjuarai Liga Champions.
Dengan pengalaman makan garam tersebut, mereka dapat tampil mendominasi jalannya pertandingan. Alhasil, lawan beberapa kali dipaksa untuk menarik diri memasang posisi bertahan.