Indonesia sendiri sebenarnya pernah mencicipi gurih bank industri dan bank pembangunan. Tepatnya, tahun 1951, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN) sebagai Naamloze Venootshap (NV/Perseroan Terbatas). Bank ini khusus dibuat untuk pembiayaan industri.
Pendirian BIN sempat diwarnai perdebatan karena, sebagaimana termuat dalam penjelasan UU Darurat 5/1952Â tentang Bank Industri Negara, "bank tersebut di atas tidak dapat disamakan dengan N.V. biasa, melainkan seperti telah terlihat dari namanya adalah salah satu badan negara."
Modal BIN berasal dari pemerintah dan pinjaman obligasi, berbeda dari bank umum yang menerima dana masyarakat. Sembilan tahun kemudian, BIN dilebur ke dalam Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).
Tujuan Bapindo mendukung pembangunan Indonesia. Sektor yang dibiayai adalah industri manufaktur, infrastruktur, transportasi dan pariwisata. Pembiayaan dilakukan untuk jangka menengah dan jangka panjang.
Namun, pada 1992, pembiayaan industri menemui titik akhir sejak disahkannya UU Perbankan 7/1992.Â
Dalam UU tersebut, jenis bank yang dikenal adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat. Tak ada ketentuan bagi bank khusus sehingga merembet pada landasan hukum.
Pascakrisis 1998, Bapindo bersama Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor-Impor Indonesia (Bank Exim) akhirnya melebur menjadi Bank Mandiri. Kekosongan diisi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam bukunya Merajut Asa (2016) menyebutkan perubahan di sektor perbankan mempunyai dampak terhadap Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Meski terdengar sebagai bank pembangunan, keberadaannya menyerupai operasional bank komersial. Dana BPD yang merupakan dana simpanan hanya memungkinan untuk pembiayaan jangka pendek, bukan pembiayaan jangka panjang.
"Krisis perbankan juga termasuk bank khusus untuk pembangunan memang telah menimbulkan luka dalam bagi Indonesia. Efeknya masih terasa hingga saat ini."Â
"Namun demikian, tidak seharusnya mis-manajemen perbankan di masa tersebut kemudian dijadikan alasan untuk menghapus keberadaan bank khusus bagi pembiayaan industri dan juga program-program strategis pembangunan," tulis Airlangga Hartarto dalam bukunya.