Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Wacana Bank Industri yang Tak Kunjung Reborn, Tantangan Industri Manufaktur Indonesia

9 Maret 2021   20:02 Diperbarui: 10 Maret 2021   02:55 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Cleyder Duque dari Pexels

Salah satu tantangan industri manufaktur adalah masalah pembiayaan. Ketika bicara pembiayaan, pikiran tertuju pada institusi keuangan seperti perbankan atau institusi non-bank lain.

Di negara luar, sebagai contoh, China memiliki China Development Bank yang berdiri pada Maret 1994. Bank ini menyediakan pembiayaan berorientasi pembangunan untuk proyek-proyek pemerintah prioritas nasional seperti infrastruktur, industri dasar, energi dan transportasi.

Kemudian, di Korea Selatan, mereka memiliki Korea Development Bank (KDB). Bank yang berdiri sejak 1954 ini membiayai dan mengelola proyek industri utama untuk meluaskan pengembangan industri dan ekonomi nasional Korea Selatan.

Berbeda di Indonesia, saat ini, jenis bank yang dikenal adalah bank sentral (BI), bank umum dan bank perkreditan rakyat. Indonesia tak memiliki bank khusus yang benar-benar beroperasi untuk pembiayaan industri. Skema pembiayaan masih mengacu pada skema konvensional.

Perbankan umum berhati-hati melakukan pembiayaan industri. Pertimbangannya, hasil industri baru terlihat dalam jangka panjang. Return of investment (RoI) dianggap lebih lama sehingga perbankan lebih memilih pembiayaan kepada sektor ritel. 

Alasan lain, pembiayaan pada sektor ini sangat besar dengan pertimbangan resiko kredit macet. 

Ironisnya, ketika perbankan saat ini kelebihan likuiditas, pengusaha tekstil justru kesulitan mendapatkan pinjaman. 

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi kepada Bisnis mengatakan pihak perbankan mungkin masih sangat berhati-hati dan mencermati keadaan pandemi sekarang.

Sebaliknya, pengusaha sektor riil tentu merasa keberatan dengan skema konvensional, terlebih suku bunga mengikuti BI Rate yang sewaktu-waktu naik--yang akan diikuti bank-bank umum. 

Idealnya, pengusaha sektor riil butuh pembiayaan jangka panjang dengan tingkat bunga rendah. 

Kehadiran bank industri di Indonesia

Indonesia sendiri sebenarnya pernah mencicipi gurih bank industri dan bank pembangunan. Tepatnya, tahun 1951, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN) sebagai Naamloze Venootshap (NV/Perseroan Terbatas). Bank ini khusus dibuat untuk pembiayaan industri.

Pendirian BIN sempat diwarnai perdebatan karena, sebagaimana termuat dalam penjelasan UU Darurat 5/1952 tentang Bank Industri Negara, "bank tersebut di atas tidak dapat disamakan dengan N.V. biasa, melainkan seperti telah terlihat dari namanya adalah salah satu badan negara."

Modal BIN berasal dari pemerintah dan pinjaman obligasi, berbeda dari bank umum yang menerima dana masyarakat. Sembilan tahun kemudian, BIN dilebur ke dalam Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo).

Tujuan Bapindo mendukung pembangunan Indonesia. Sektor yang dibiayai adalah industri manufaktur, infrastruktur, transportasi dan pariwisata. Pembiayaan dilakukan untuk jangka menengah dan jangka panjang.

Namun, pada 1992, pembiayaan industri menemui titik akhir sejak disahkannya UU Perbankan 7/1992. 

Dalam UU tersebut, jenis bank yang dikenal adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat. Tak ada ketentuan bagi bank khusus sehingga merembet pada landasan hukum.

Pascakrisis 1998, Bapindo bersama Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor-Impor Indonesia (Bank Exim) akhirnya melebur menjadi Bank Mandiri. Kekosongan diisi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam bukunya Merajut Asa (2016) menyebutkan perubahan di sektor perbankan mempunyai dampak terhadap Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Meski terdengar sebagai bank pembangunan, keberadaannya menyerupai operasional bank komersial. Dana BPD yang merupakan dana simpanan hanya memungkinan untuk pembiayaan jangka pendek, bukan pembiayaan jangka panjang.

"Krisis perbankan juga termasuk bank khusus untuk pembangunan memang telah menimbulkan luka dalam bagi Indonesia. Efeknya masih terasa hingga saat ini." 

"Namun demikian, tidak seharusnya mis-manajemen perbankan di masa tersebut kemudian dijadikan alasan untuk menghapus keberadaan bank khusus bagi pembiayaan industri dan juga program-program strategis pembangunan," tulis Airlangga Hartarto dalam bukunya.

UU Perindustrian

Tanda baik untuk pembiayaan industri mulai terlihat setelah terbitnya UU 3/2014 tentang Perindustrian. Wacana kehadiran kembali bank industri mengemuka kala itu. UU Perindustrian mengamanatkan pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan industri.

Konsepnya bisa meringankan hambatan manufaktur. Sekjen Kemenperin Anshari Bukhari pada 2014 silam mengatakan bank industri yang ingin dibentuk menawarkan bunga pinjaman lebih rendah dibanding perbankan umum sehingga kebutuhan modal jangka panjang bisa didapat dari dalam negeri.

Menurutnya, ketika kalangan industri kesusahan mendapat pembiayaan dalam negeri, mereka mencarinya ke bank asing.

Dalam Pasal 48 (2) UU 3/2014, lembaga pembiayaan pembangunan industri berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang industri.

Namun, dari periode menteri perindustrian Airlangga Hartarto sampai berganti ke Agus Gumiwang, pembentukan lembaga pembiayaan industri belum terealisasi sampai saat ini. 

Berbicara pembangunan, cakupan pembahasannya sangat luas mulai dari sektor infrastruktur, manufaktur, pertanian, kelautan dan sebagainya sehingga mempengaruhi kelembagan, status dan arah lembaga pembiayaan walau tujuannya tetap sama. Industri pengolahan adalah satu bagian di dalam pembangunan nasional.

Jika menyambung pada pembangunan, maka Indonesia memiliki RUU Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia (LPPI). Melihat gerak pemerintahan Jokowi sekarang, tampak pembangunan infrastruktur adalah fokus utama pada periode pemerintahannya.

Meski demikian, baik sektor infrastruktur maupun industri memiliki isu pembiayaan yang sama: tingkat pengembalian rendah dan butuh pembiayaan berjangka panjang.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Jeprima/Tribunnews)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Jeprima/Tribunnews)

Lembaga Pengelola Investasi (LPI)

Setelah lama tak terdengar kabar wacana bank industri atau LPPI, pemerintah akhirnya memiliki lembaga baru untuk mendukung pembangunan, yaitu Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF). 

Pembicaraan SWF Indonesia muncul sejak kunjungan Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan ke Indonesia pada 2019 silam. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam pelbagai kesempatan memamparkan rencana SWF di Indonesia.

Pembicaraan SWF setali tiga uang dengan keinginan pemerintah untuk mempermudah investasi di Indonesia.

SWF akhirnya terbentuk pada awal tahun 2021. Presiden Joko Widodo pada 16 Februari 2021 mengatakan SWF atau INA mempunyai posisi strategis dalam percepatan pembangunan yang berkelanjutan, meningkatkan dan mengoptimalkan nilai aset negara dalam jangka panjang dalam menyediakan alternatif pembiayaan dalam pembangunan berkelanjutan.

Dalam Perpres PP 74/2020, LPI merupakan Badan Hukum Indonesia sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Modal LPI bersumber dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya.

Penyertaan modal negara dapat berasal dari dana tunai, barang milik negara, piutang negara pada BUMN atau perseroan terbatas, dan/atau saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas.

"BUMN yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung utama pembiayaan pembangunan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara juga semakin terbatas kapasitas pendanaannya."

"Di sisi lain, sumber pendanaan dari lembaga sektor keuangan (kredit perbankan, pasar modal, dan institusi keuangan non-bank) juga tidak mencukupi."

"Terbatasnya kapasitas fiskal Pemerintah dan terbatasnya pendanaan BUMN dan lembaga sektor keuangan tersebut mengindikasikan kapasitas domestik tidak memadai untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan pembangunan guna menunjang pertumbuhan ekonomi," bunyi penjelasan PP 74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 3 Maret 2021 menyebutkan kehadiran LPI adalah langkah strategis untuk pembiayaan infrastruktur transportasi. Ketergantungan pendanaan dari APBN akan berkurang.

"Hadirnya INA ini diharapkan dapat menjadi alternatif biaya bagi pemerintah dalam membangun infrastruktur," kata Budi mengutip Tribunnews.

Ia yakin, melalui LPI pembangunan seperti pelabuhan, bandara, terminal bus dan kereta api hingga LRT serta MRT dapat terealisasi cepat.

Lalu bagaimana dengan sektor manufaktur?

Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel yang pernah menjadi Wakil Ketua Umum Kadin ini mengatakan LPI diharapkan perlu memperhatikan pengembangan investasi industri strategis seperti industri hulu yang selama ini menjadi salah satu titik lemah daya saing industri manufaktur nasional.

Menurutnya, salah satu kendala untuk investasi asing ke Indonesia adalah kurangnya perhatian pada pengembangan industri hulu atau industri strategis. Kebijakan pengelolaan investasi oleh LPI diharapkan bisa menstimulus sektor ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun