Do as I say, not as I do. Because the sh** so deep, you can't run away... Ini adalah kalimat pembuka lagu Walking Contradiction yang dipopulerkan Green Day.Â
Do as I say, not as I do, berarti, lakukan seperti apa yang aku katakan, bukan apa yang aku lakukan.Â
Ungkapan ini populer di Amerika, juga di Indonesia dengan nada "ambil baiknya, buang buruknya". Kalimat yang selalu menggentayangi kepala saya tiap berdiskusi.
Contoh dari penerapan ini, seorang Ayah meminta putranya yang SMA untuk berhenti merokok karena tidak patut dilakukan. Namun, putranya membalas, "Nenek dulu bilang Ayah sering merokok sewaktu SMA dan sampai sekarang Ayah merokok, jadi Ayah jangan menasihati saya."
Mendengar balasan itu, si Ayah membalas, "Laksanakan apa yang aku katakan, bukan perbuatanku."
Balasan si Ayah terdengan menjengkelkan. Dia menasihati apa yang tidak bisa dia patuhi sendiri. Tidak konsisten. Mungkin bahasa kasarnya, munafik atau hipokrit.
Contoh seperti itu sering kita alami, terutama ketika, misalnya, seorang kakak menyampaikan. "Kamu kuliah bagusnya pilih jurusan akuntansi saja karena peluang kerjanya cukup bagus ke depan".
Sialnya, si kakak yang tamatan akuntansi itu sampai sekarang malah menganggur. "Alah, ngaca dulu. Sok nasihati, diri sendiri belum bisa diurus buat kerja," balas si adik.
Argumen balasan semacam ini termasuk tu quoque fallacy atau kekeliruan tu quoque.Â
Ini termasuk variasi dari ad hominem yang sering digunakan semasa perang dingin. Uni Soviet yang dituding melakukan pelanggaran HAM oleh AS melakukan serangan balik dengan berkata bahwa AS dahulunya menggantung mati para kulit hitam. Siapa pelanggar HAM sebenarnya?
Tu quoque berasal dari bahasa Latin yang berarti kurang lebih, "kamu juga".Â
Mengutip laman web logicalfallacie.org, tu quoque adalah kekeliruan yang menjawab kritik dengan kritik atau membalikkan argumen ke orang lain.
Argumen ini menerapkan logika bahwa karena seseorang telah melakukan sesuatu, maka itu membenarkan orang lain melakukan hal yang sama. Dua kesalahan membuat kebenaran.
Contohnya, "Orang Yunani kuno memiliki sejumlah pemikir terbesar. Mereka dahulunya punya budak, jadi kita harus punya budak juga."
Arti lain dari kekeliruan tu quoque adalah kekeliruan logika informal yang bermaksud mendiskreditkan kebenaran argumen lawan dengan menunjukkan kekurangan konsistensi penyampai pesan yang berkaitan dengan klaimnya sendiri.
Formatnya:
- Orang A membuat pernyataan/klaim
- Orang B mengatakan bahwa tindakan orang A atau pernyataan di masa lalunya inkonsisten dengan kebenaran yang dia nyatakan/klaim
- Maka, pernyataan/klaimnya salah
Cara berargumen semacam ini merupakan taktik terbaik untuk bertahan.Â
Namun, tu quoque justru dapat mengalihkan perhatian dari topik yang dibahaskan.
Alih-alih membantah argumen, tetapi yang dilakukan tetap menyerang ketidakkosistenan seseorang antara apa yang diucapkan dan perbuatannya.
Si Ayah tadi, meski dia sewaktu kecil hingga sekarang melakukan kebiasaan merokok, bukan berarti pesan "jangan merokok" yang disampaikannya salah atau tidak valid.
Ia barangkali kecanduan yang membuat pengeluaran banyak dihabiskan untuk membeli rokok. Nasihat itu disampaikannya supaya si anak tidak mengikuti jejak buruknya itu.
Bayangkan bila nasihat jangan merokok itu disampaikan orang yang sama sekali tidak dikenali oleh si anak. Mungkin cara dia membantah argumen bisa berbeda.
Argumen dilawan argumen, bukan menyerang kepribadian. Saya pikir kekeliruan tu quoque bisa mengakibatkan kita tersesat untuk menemukan kebenaran faktual.Â
Di sisi lain, yang menjadi pertimbangan, pengetahuan dan konteks manusia ketika berujar dan bertindak tidak akan pernah sama setiap waktu. Manusia pada satu detik lalu tentu berbeda dengan satu detik sekarang.
Dalam tingkat tertentu, gaya argumen tu quoque meski sesat logika, tetapi dapat dijadikan alat untuk menggali kebenaran dalam rangka menguji kejujuran dan moralitas seseorang.
Misalkan, ikrar janji pernikahan sehidup semati. Belum lagi gombalan seorang cowok kepada pasangannya, aku tidak bisa hidup tanpamu sekarang dan selamanya. Si cewek jatuh hati karenanya, tetapi si cowok dalam beberapa tahun mendatang memutuskan hubungan mereka.Â
Situasi yang paling memutar otak dapat ditemukan dalam kancak politik.
Contohnya, sewaktu kampanye pemilihan, seorang pejabat mengumbar janji manis setinggi langit, yaitu mengurangi orang miskin dengan menaikkan upah minimum dan memberi lapangan kerja seluas-luasnya selama satu tahun. No debat, no kecot.
Nah, akhirnya setelah setahun berjalan, realisasi programnya tidak memperlihatkan hasil signifikan. Persentase penduduk miskin tidak mengalami penurunan berarti, masih sama seperti perolehan dari periode pejabat sebelumnya. Tidak ada bedanya. Janji kosong.
Hal itu diungkit kembali oleh warga kenapa jumlah penduduk miskin kok tidak menurun.
Penguasa itu mengatakan, dirinya sudah memberikan banyak lapangan pekerjaan dan menaikkan upah minimum. Ujug-ujug dia mengatakan produktivitas tenaga kerja harus ditingkatkan. Â
Dia menunjukkan data-data pendukung secara lengkap. Benar ada kenaikan menurut angka-angka yang dirilis.
Ternyata, setelah diamati oleh pengamat, upah minimum memang naik tapi tidak dengan upah riil. Si penguasa memang konsisten atas beberapa proporsi kebenaran, tetapi tidak untuk hal lain.Â
Bedanya, politik itu selalu diandaikan pada komitmen. Keyakinan mendahului kebenaran. Demi keberlanjutan, hubungan penguasa dan rakyat dimasukkan dalam sebuah kontrak sosial, kontrak politik, atau gentlemen's agreement yang lebih rigid.Â
Kekeliruan tu quoque umum terjadi di ruang percakapan media sosial. Ada kebingungan membedakan kritik, fitnah, merendahkan martabat, dan sebagainya.Â
Bagi saya, kritik sehat adalah ia yang dilandaskan oleh keinginan untuk menemukan pengetahuan baru. Jika menutup diri terhadap hal-hal faktual, di situlah akan terus mengulangi kekeliruan entah sampai berapa kali ganti musim.
Si adik tadi misalnya, ketimbang menyalahkan masa lalu kakaknya, dia dapat membuka diri untuk mendengarkan pengalaman kakaknya. Dari situ, ia akan menemukan pelajaran berharga dan detil-detil sebagai perbaikan ke depan.
Atau seperti tadi, membuka kebenaran baru. Bisa jadi si kakak ternyata menganggur lama karena selama ini mengerjakan usaha melalui e-commerce yang tidak pernah diketahui si adik.Â
Dengan kata lain, kita harus mampu merawat akal sehat. Talk is cheap and lies are expensive. I'm a walking contradiction...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H