Bayangkan bila nasihat jangan merokok itu disampaikan orang yang sama sekali tidak dikenali oleh si anak. Mungkin cara dia membantah argumen bisa berbeda.
Argumen dilawan argumen, bukan menyerang kepribadian. Saya pikir kekeliruan tu quoque bisa mengakibatkan kita tersesat untuk menemukan kebenaran faktual.Â
Di sisi lain, yang menjadi pertimbangan, pengetahuan dan konteks manusia ketika berujar dan bertindak tidak akan pernah sama setiap waktu. Manusia pada satu detik lalu tentu berbeda dengan satu detik sekarang.
Dalam tingkat tertentu, gaya argumen tu quoque meski sesat logika, tetapi dapat dijadikan alat untuk menggali kebenaran dalam rangka menguji kejujuran dan moralitas seseorang.
Misalkan, ikrar janji pernikahan sehidup semati. Belum lagi gombalan seorang cowok kepada pasangannya, aku tidak bisa hidup tanpamu sekarang dan selamanya. Si cewek jatuh hati karenanya, tetapi si cowok dalam beberapa tahun mendatang memutuskan hubungan mereka.Â
Situasi yang paling memutar otak dapat ditemukan dalam kancak politik.
Contohnya, sewaktu kampanye pemilihan, seorang pejabat mengumbar janji manis setinggi langit, yaitu mengurangi orang miskin dengan menaikkan upah minimum dan memberi lapangan kerja seluas-luasnya selama satu tahun. No debat, no kecot.
Nah, akhirnya setelah setahun berjalan, realisasi programnya tidak memperlihatkan hasil signifikan. Persentase penduduk miskin tidak mengalami penurunan berarti, masih sama seperti perolehan dari periode pejabat sebelumnya. Tidak ada bedanya. Janji kosong.
Hal itu diungkit kembali oleh warga kenapa jumlah penduduk miskin kok tidak menurun.
Penguasa itu mengatakan, dirinya sudah memberikan banyak lapangan pekerjaan dan menaikkan upah minimum. Ujug-ujug dia mengatakan produktivitas tenaga kerja harus ditingkatkan. Â
Dia menunjukkan data-data pendukung secara lengkap. Benar ada kenaikan menurut angka-angka yang dirilis.