Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan Atas Cuitan Refly Harun, Apakah Menyebut Pejabat Bodoh Kritik, Fitnah, atau Ujaran Kebencian?

17 Februari 2021   12:08 Diperbarui: 17 Februari 2021   13:04 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuitan Refly Harun. (Tangkapan layar Twitter/ReflyHZ) 

Polan, seorang pemuda yang tinggal di Rayong, wilayah pesisir Thailand Selatan, berangkat dari rumah menuju tepi pantai. Segala bekal dan perlengkapan memancing telah disiapkannya dengan harapan dapat menangkap ikan sebanyak mungkin dari tengah laut.

Setibanya di pantai, dia secara tidak sengaja melihat sebuah botol sirup bertutup gabus terombang ambing terseret gulungan ombak. Karena penasaran, dia mengambil botol tersebut dan menemukan secarik kertas di dalamnya. Wajahnya tampak girang mengira kertas tersebut memuat peta harta karun atau petunjuk ke ruang rahasia.

Saat diperiksa, kertas itu ternyata berisi cetakan tangkapan layar cuitan berbahasa Indonesia. Dalam kertas itu, terpampang nama akun Refly Harun @ReflyHZ.

"Kalau saya bilang pejabat itu bodoh dan memang bodoh. Apakah ini kategorinya: kritik, fitnah, hinaan, ujaran kebencian, atau berita bohong?" demikian isi cuitan di dalam kertas tersebut.

Setelah melihat itu, mimik muka si Polan pun berubah menjadi kesal lantaran tidak mengerti sama sekali isi tulisan berbahasa Indonesia. Dia tidak mendapatkan makna apapun dari sana. Karena itu, dia memasukkan kembali kertas itu ke dalam botol dan melemparkannya jauh ke hamparan laut.

Cerita di atas hanya fiktif belaka. Tetapi mengenai isi cuitan Refly Harun, itu fakta. Ia menuliskannya melalui akun Twitter pada tanggal 16 Februari 2021.*

"Kalau saya bilang pejabat itu bodoh dan memang bodoh. Apakah ini kategorinya: kritik, fitnah, hinaan, ujaran kebencian, atau berita bohong?"

Cuitannya mendapat beragam komentar warganet yang membanjiri kolom balasan. Warganet tentu memiliki pengetahuan, latar, konteks, dan situasi terhadap tulisan Refly Harun. Beberapa warganet terlihat geram, sebagian lainnya memberi umpan balik yang biasa-biasa saja.

"Lho Prof kalau sampean bilang pejabat bodoh ya penghinaan lah. Kalau sampean bilang kebijakan A kurang tepat atau justru bilang salah karena bla bla bla dgn argumen dan data yg jelas disertai saran yg menurut sampean tepat itu baru kritik dan saran. Itu baru kritik membangun," balas salah satu pengguna.

Apa yang bisa diketahui dari cuitan Refly Harun di atas? Itu adalah bentuk diskursus atau wacana. Dalam kebahasaan, satuan tertinggi bahasa itu adalah ngalor-ngidul, wacana, lari kian-kemari.

Bahasa adalah simbol pengertian. Karena itu, jangan harap si Polan pemuda Thailand Selatan itu akan bereaksi menanggapi cuitan Refly Harun sebab ia memang tidak mengetahui arti tulisan tersebut apalagi mengetahui siapa itu Refly Harun.

Apakah si Polan bisa disebut sebagai orang bodoh? Tentu saja tidak. Pada saat dia membaca cuitan tersebut, dia tidak memiliki pengetahuan dan referensi apapun terhadap simbol dan kata-kata dari Refly Harun.

Karena itu, pengetahuan adalah prasyarat untuk mendorong terjadinya diskursus.

Masalah yang timbul kemudian, cuitan tersebut mencoba menguji pengetahuan kita terhadap bodoh. Dengan kata lain, kita terlebih dahulu perlu mengetahui apa itu pengetahuan dan pengertian.

KBBI daring mengartikan bodoh sebagai 

1. tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya);
2. tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman);
3 cak terserah (kepadamu). 

Definisi yang dikutip dari KBBI daring pun hanya satu dari sekian cara dalam menemukan makna. Makna kamus adalah makna leksikal. Definisinya berbeda dalam disiplin ilmu yang dikaji dalam studi psikologi, keagamaan dan rumpun ilmu pengetahuan lainnya. Penyelidikan yang berlaku pada disiplin ilmu masing-masing memiliki kerangka, tujuan, metode dan pendekatan berbeda dengan keluaran yang berlainan.

Misalnya, kita mengutip pendapat Notoatmodjo. Ia membagi pengetahuan atas enam tingkatan, antara lain:

1. Tahu (know)
2. Memahami (comprehension)
3. Aplikasi (aplication)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (synthesis)
6. Evaluasi (evaluation)

Pendekatannya berlainan lagi ketika dihadapkan pada studi filsafat fenomenologi, rasio, empiris dan sebagainya. Ini juga masuk dalam kajian bahasa dan analisis wacana. Pada dasarnya, wacana merujuk pada tuturan meski akhirnya digunakan dalam menganalisa teks. Tuturan dan teks adalah bangunan bahasa yang berbeda. Semua ini berakar dari pemikiran Ferdinand de Saussure yang membagi bahasa dalam dua bentuk, langue (bahasa) dan parole (ucapan).

Tetapi sering waktu, bahasa tidak lagi dipandang semata terbatas sebagai ujaran. Teks juga memiliki kekuatan untuk membangun konsep, sistem berpikir dan ide terhadap masyarakat. Muncullah aliran lingustik kritis, salah satu pembawanya adalah Roger Fowler.

Bagi Fowler, wacana itu sudah tersusup ideologi. Kebenarannya menjadi distorsi. Manusia dianggap menglasifikasi dunia yang kompleks dengan menyederhanakan fenomena objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dikelola, Santoso (2008: 8). 

Klasifikasi tersebut kemudian menjadi sesuatu yang alamiah (natural) dalam pandangan masyarakat. Wacana kemudian dipakai sebagai asumsi dan mempercayainya sebagai akal sehat atau pengetahuan umum (common sense), lalu memandangnya sebagai sebuah kebenaran.

Bahasa pun dapat mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide. Maka, sekiranya sangat penting untuk masyarakat memiliki kesadaran berbahasa. Bagi Fowler struktur bahasa yang dipilih menciptakan jaring makna untuk mendorong manusia menuju sebuah perspektif tertentu. Jaring makna ini ditentukan oleh pemberian ideologi atau teori tertentu. Pembaca diajak untuk menemukan susupan ideologi dalam bahasa.

Sekarang, menanggapi cuitan Refly Harun, "kalau saya bilang pejabat itu bodoh dan memang bodoh. Apakah ini kategorinya: kritik, fitnah, hinaan, ujaran kebencian, atau berita bohong?", mengingat perangai, konteks dan situasi saat ini masyarakat membahas ujaran kebencian yang diandaikan dapat berujung pada pelaporan ke pihak Kepolisian, maka itu dapat dimengerti sebagai kritik.

Namun, jika ucapan bodoh yang semata ditujukan untuk menerangkan karakter seseorang dilakukan sebagai rutinitas, tindakan ini sama saja menumpulkan sendiri sistem pengetahuannya dan menyumbat imajinasi. Keterbatasan pengetahuan digunakan untuk mendefinisikan orang lain. Ini akan menjadi paradoks. 

Padahal, pencarian kebenaran tidak mutlak mengandaikan subjek sebagai pusat pengetahuan yang harus terus diselidiki. Tidak heran apabila pelabelan selama ini justru lebih banyak disemarakkan sebagai "pesta", sementara predikat terlewati.

Dapat dipahami bahwa dalam dunia akademis, judgement merupakan sesuatu yang wajar dalam rangka menguji kekokohan argumen, apakah ia kuat atau mudah dipatahkan. Karena itu, kemungkinan yang tepat untuk mempercakapkan suatu topik adalah menyediakan ruang yang didesain menyerupai forum debat akademisi. Bila percakapan ini dilakukan di media sosial, saya malah teringat pada Donald Trump.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun