Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan Atas Cuitan Refly Harun, Apakah Menyebut Pejabat Bodoh Kritik, Fitnah, atau Ujaran Kebencian?

17 Februari 2021   12:08 Diperbarui: 17 Februari 2021   13:04 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuitan Refly Harun. (Tangkapan layar Twitter/ReflyHZ) 

Bagi Fowler, wacana itu sudah tersusup ideologi. Kebenarannya menjadi distorsi. Manusia dianggap menglasifikasi dunia yang kompleks dengan menyederhanakan fenomena objektif dan membuatnya menjadi sesuatu yang dapat dikelola, Santoso (2008: 8). 

Klasifikasi tersebut kemudian menjadi sesuatu yang alamiah (natural) dalam pandangan masyarakat. Wacana kemudian dipakai sebagai asumsi dan mempercayainya sebagai akal sehat atau pengetahuan umum (common sense), lalu memandangnya sebagai sebuah kebenaran.

Bahasa pun dapat mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide. Maka, sekiranya sangat penting untuk masyarakat memiliki kesadaran berbahasa. Bagi Fowler struktur bahasa yang dipilih menciptakan jaring makna untuk mendorong manusia menuju sebuah perspektif tertentu. Jaring makna ini ditentukan oleh pemberian ideologi atau teori tertentu. Pembaca diajak untuk menemukan susupan ideologi dalam bahasa.

Sekarang, menanggapi cuitan Refly Harun, "kalau saya bilang pejabat itu bodoh dan memang bodoh. Apakah ini kategorinya: kritik, fitnah, hinaan, ujaran kebencian, atau berita bohong?", mengingat perangai, konteks dan situasi saat ini masyarakat membahas ujaran kebencian yang diandaikan dapat berujung pada pelaporan ke pihak Kepolisian, maka itu dapat dimengerti sebagai kritik.

Namun, jika ucapan bodoh yang semata ditujukan untuk menerangkan karakter seseorang dilakukan sebagai rutinitas, tindakan ini sama saja menumpulkan sendiri sistem pengetahuannya dan menyumbat imajinasi. Keterbatasan pengetahuan digunakan untuk mendefinisikan orang lain. Ini akan menjadi paradoks. 

Padahal, pencarian kebenaran tidak mutlak mengandaikan subjek sebagai pusat pengetahuan yang harus terus diselidiki. Tidak heran apabila pelabelan selama ini justru lebih banyak disemarakkan sebagai "pesta", sementara predikat terlewati.

Dapat dipahami bahwa dalam dunia akademis, judgement merupakan sesuatu yang wajar dalam rangka menguji kekokohan argumen, apakah ia kuat atau mudah dipatahkan. Karena itu, kemungkinan yang tepat untuk mempercakapkan suatu topik adalah menyediakan ruang yang didesain menyerupai forum debat akademisi. Bila percakapan ini dilakukan di media sosial, saya malah teringat pada Donald Trump.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun